Perspektif

Kemiripan Social Distancing Akibat Covid-19 dengan Fitnah Dajjal

3 Mins read

Dalam situasi pandemi global Covid-19 saat ini, pemerintah mengimbau agar melakukan social distancing atau menjaga jarak dengan orang lain. Tindakan social distancing dirasa efektif untuk mencegah penularan virus Corona agar tidak semakin meluas. Peristiwa Covid-19 ini terdapat hikmah besar, di mana peristiwa ini menjadi contoh bahaya yang muncul dari manusia, yaitu fitnah Dajjal yang menjadi pandemik terburuk kerusakan akhlak dan rohani manusia di akhir zaman.

Sama dengan pandemik Covid-19, bahaya fitnah Dajjal dapat kita cegah dengan tindakan social distancing sesuai dengan Nabi Muhammad SAW ajarkan, alasan inilah Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk membaca, menghafal, serta memahami Al-Qur’an surah al-Kahfi.

Di dalam surah al-Kahfi terdapat banyak contoh peristiwa yang berhubungan dengan suluk beluk Dajjalisme, salah satunya adalah kisah social distance “Ashabul Kahfi” yang cukup sederhana untuk kita jadikan contoh dalam upaya mencegah pengaruh buruk kejahatan manusia atau fitnah Dajjal.

Ashabul Kahfi merupakan sebuah kisah tujuh pemuda dengan seekor anjing yang menghindar dari kezaliman penguasa lalu mereka tertidur selama kurang lebih 309 tahun di sebuah gua. Peristiwa ini terjadi pada masa Kaisar Decyanus, sekitar tahun 250 Masehi. Decyanus bersama Nero dikenal sebagai Kaisar Romawi yang sering menyiksa kaum Nasrani.

Pada masa pemerintahannya, ia memberlakukan undang-undang hukum yang berisi pemaksaan terhadap semua orang yang berada di bawah kekuasaannya untuk melakukan pengorbanan terhadap dewa-dewa Romawi. Bagi mereka yang tidak mematuhinya akan dibunuh. Akhirnya pemuda al-Kahfi mengasingkan diri ke suatu gua dan tertidur sampai tiga abad lamanya. Setelah mereka terbangun dari tidur panjangnya, pemuda Ashabul Kahfi mendapati keadaan negeri telah berubah total, di mana kezaliman menjadi adil, kerusuhan menjadi kedamaian, dan keadaan segala aspek kehidupan mereka telah berubah.

Baca Juga  50 Tahun Pidato 'Sekularisasi' Nurcholish Madjid: Pembaruan atau Keterburu-buruan?
***

Kisah Ashabul Kahfi jika bukan berasal dari sumber kitab suci Al-Qur’an, tentunya banyak orang yang menyangkal atau tidak percaya sama sekali terkait cerita ajaib itu. Karena hal tersebut jauh daripada akal rasio manusia. Rasanya mustahil ada manusia yang tetap hidup dengan tertidur, tidak makan, dan tidak minum selama tiga abad sembilan tahun. Namun itulah kuasa Allah SWT.

Jika kita cocokologikan kejadian kisah Ashabul Kahfi dengan lebih luas, kita dapat memahami sifat bahaya manusia yang menyimpang dari ajaran agama dan relevansinya terhadap pencegahan pada kasus Covid-19. Covid-19 sama bahayanya seperti fitnah Dajjal dan cara pencegahannya adalah melakukan social distancing atau membatasi diri dari manusia.

Sebenarnya konsep Dajjalisme memang membutuhkan pemahaman yang lebih rumit dan bertingkatan. menurut hemat penulis, penulis hanya akan merepresentasikan dari yang paling sederhana. fitnah Dajjal dapat berarti suatu peristiwa sulit yang akan terjadi pada setiap manusia. Bukan hanya manusia yang beragama Islam, melainkan seluruh manusia yang hidup di muka bumi akan merasakan fitnahnya.

Dengan adanya kesulitan untuk memahami pandemik fitnah Dajjal bahkan yang terjangkit cenderung tidak menyadarinya. Saking dahsyatnya fitnah ini, Nabi SAW dan semua orang yang memahaminya akan kesulitan ketika menyampaikan secara ekplisit apa dan seperti apa fitnah Dajjal itu. Oleh karena itu, Nabi SAW hanya mewanti-wanti umatnya supaya membaca dan menghafal surah al-Kahfi, yang mana himbauan ini salah satunya bertujuan mengarahkan umatnya agar terhidar dari segala suluk beluk fitnah kehidupan dunia dan membatasi diri dari manusia (social distancing).

***

Memang Nabi SAW tidak menjelaskan secara spesifik kenapa beliau memerintahkan umatnya untuk menghafal surah al-Kahfi. Namun bisa kita dapati dalam hadis yang berhubungan dengan anjuran untuk membatasi diri dari manusia, sebagaimana Raslullah SAW bersabda yang artinya , “Sesungguhnya menjelang hari kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam yang gelap gulita, Pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir di sore hari, di sore hari seseorang dalam keadaan beriman dan menjadi kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan pada saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka patahkanlah busur-busur panah kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian, dan pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu, jika ada diantara salah satu diantara kalian dimasukinya (fitnah) maka jadilah seperti salah seorang anak adam yang paling baik (Habil)”. (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Baca Juga  Sudut Pandang Ahli Tahqiq Terhadap Nabi dan Rasul

Inilah masa ketika memilih diam lebih baik padahal kemungkaran dan kerusakan sangat nyata. Kemudian timbul pertanyaan, bukankah kita berdosa apabila membiarkan kemungkaran padahal kita mampu mencegahnya dengan kekuatan dan lisan kita? Hal tersebut tidak berlaku di zaman fitnah, tindakan yang kita maksudkan untuk amar ma’ruf nahi munkar justru semakin mengobarkan bara kemungkaran dan mematikan yang ma’ruf .

Maka, sungguh, ini masa-masa yang sangat sulit. Perlu ilmu, keteguhan hati, dan kesabaran dalam melaluinya, jika saya membahasakan masa ini adalah era post truth.

Social distancing sebagaimana peristiwa Ashabul Kahfi lebih ditujukan untuk anak muda. Di mana, kondisinya masih sangat memungkinkan untuk meninggalkan beberapa aspek kehidupan, seperti menghindari pergaulan bebas, meninggalkan tradisi-tradisi menyimpang, tidak ikut dalam tren gaya hidup baru yang tidak sehat, serta meninggalkan lingkungan bahkan keluarga.

***

Jika melihat dengan kacamata tasawuf, maka bertasawuf di usia muda menjadi cukup penting supaya memahami siapa Dajjal dan siapa dirinya sendiri, karena dengan menjauh dengan manusia akan terlihat siapa sebenarnya manusia. Semoga dengan social distancing dapat terhindar dari pandemic Covid-19 serta panyakit akhlak yang buruk. Semoga dapat dipahami dengan segala kekurangannya. Wallahu ‘alam bissowaf.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds