Perihal kemiskinan merupakan tema klasik yang menjadi diskursus negara Indonesia karena begitu tinggi tingkat kemiskinan. Seolah-olah soal kemiskinan merupakan realitas absolut di negara ini, bahkan mungkin di banyak negara juga demikian.
Apa penyebab paling pokok dari kemiskinan? Hal ini menjadi pertanyaan penting dari mereka yang berupaya memahami, menelaah, dan mencari solusi untuk mengentaskan kemiskinan.
Mari kita lihat terlebih dahulu konsep negara dalam melihat persoalan ini melalui BPS (Badan Pusat Statistik). Dalam mengukur tingkat kemiskinan, BPS memakai konsep yaitu kemiskinan dinilai melalui kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Konsep sebagai basis tindakan memiliki pengaruh signifikan pada individu dalam menyikapi sesuatu, dalam hal ini negara secara tidak langsung turut andil dalam memberikan pengaruh pada masyarakat yang mencakup manusia sebagai individu yang berpikir.
Konsep sebagai Basis Cara Berpikir dan Tindakan
Menurut Theodor W. Adorno berpikir artinya aktivitas mengolah konsep atau dengan kata lain menguasai keanekaragaman dan sengkarut fenomena di luar kesadaran. Kemudian serentak dengan itu, meletakkan mereka di kurungan yang sama sampai membentuk persamaan, sebuah proses abstraksi (Goenawan, 2002).
Konsep yang telah dikelola melalui aktivitas berpikir akan menjadi sebuah perspektif seseorang di dalam bertindak. Begitu pula dengan kemiskinan, bila negara memiliki konsep bahwa miskin itu soal kekurangan materi, maka memungkinkan menjadi basis pengetahuan seseorang atau masyarakat pada umumnya dalam bertindak.
Secara logika sederhananya, bila tidak ingin dikategorikan kekurangan harta (miskin), dengan pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar atau jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, maka seseorang perlu memiliki pengeluaran setara atau lebih dengan standar yang diberikan negera, karena itu bisa ia tidak dikategorikan miskin (kaya).
Padahal seorang muslim, sebagai bagian dari mayoritas penduduk, mengerti bahwa bukan demikian konsep kemiskinan yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
Pandangan Al-Qur’an Soal Kemiskinan
Apakah Allah dalam Al-Qur’an menjelaskan perihal kemiskinan?”, bagi mereka yang cukup intens berinteraksi dengan Al-Qur’an tentu menjawab ada dan secara faktual demikian. Istilah seperti فقراء, فقير, مساكين, مسكين yang keseluruhan mengandung konotasi makna ketidakmampuan seseorang dalam mencukupi kebutuhan pokok.
Apabila sedikit diputar logika pertanyaannya, “Jika ada, apakah Allah memang menghendaki kemiskinan terjadi atau dengan kata lain tidak mencukupi rezeki hamba-Nya sehingga terjebak pada kemiskinan.?”, beberapa dari kita mungkin sedikit bingung, menghindar untuk menjawab karena khawatir, takut, dsb.
Sekiranya pertanyaan itu masuk akal secara konsekuensi logis dari pertanyaan awal. Jika menilik ayat-ayat Al-Qur’an, tidak akan ditemukan redaksi bahwasanya Allah tidak mencukupi rezeki hamba-Nya. Hal ini bisa kita lihat dalam surat al-Fajr [18]: 15-16 yang berbunyi:
فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ
Artinya: Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”
وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ
Artinya: Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.”
Kedua ayat tersebut secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa Allah tidak mengabaikan rezeki setiap hamba-Nya. Namun hal tersebut sering kali bias oleh pandangan manusia sendiri dengan beragam kepentingan di belakangnya.
Hal ini pula sangat terkait erat dengan keimanan. Apabila iman telah lenyap, maka seseorang tidak akan mampu bersikap rela terhadap apapun yang diberikan Allah, baik sedikit ataupun banyak. Itulah awal kemiskinan terjadi.
Kemiskinan Bukan Melulu Soal Materi
Negara dengan konsep kemiskinan yang materialistik menjadikan juga merambah luas dalam persepsi masyarakatnya. Padahal sebagai seorang muslim, idealnya mengetahui bahwa sebab dari kemiskinan bukan soal faktor materi, tetapi cara berpikir atau paradigma di dalam melihat sesuatu.
Jika negara dan masyarakat memandang bahwa kemiskinan adalah soal materi, maka menurut Al-Qur’an tidak demikian, bahwa kemiskinan disebabkan seseorang tidak pernah mau memberi apa-apa yang diberikan Allah pada-Nya, secara implisit ia tidak pernah merasa cukup dengan pemberian-Nya.
Misalnya, terdapat dua orang, si A dan si B. Keduanya secara materi memiliki kuantitas yang berbeda satu dengan lainnya. Jika ditilik dalam jumlah materi, maka si A adalah orang miskin dan si B sebaliknya. Suatu saat keduanya berjalan dan menemui seorang fakir miskin meminta sedekah.
Pada saat itu, si A membawa uang 10.000 dan si B 1.000.000, namun keduanya tidak sama dalam memberikan respon. Si A dengan senang hati memberikan setengah dari jumlah uangnya, sedangkan si B hanya acuh tak acuh.
Hakikatnya, dalam kasus ini si A adalah orang kaya dan si B orang miskin. Hal ini karena kembali pada definisi bahwa miskin artinya ketika seseorang tidak mau memberikan apa-apa yang dimiliki. Si A kendati hanya memiliki nominal sebesar 10.000 rela membagikannya dan dengan sendirinya ia kaya disebabkan mau memberi.
***
Allah sama sekali tidak menghendaki hamba-Nya menjadi miskin, tidak ada satupun di dalam Al-Qur’an keterangan demikian. Justru yang ada adalah perintah untuk memberi, baik berupa zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dsb. Hal itu secara tidak langsung mewajibkan seseorang untuk paling tidak mampu sehingga dapat melakukan hal demikian.
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
Artinya: Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”
Hadits ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053(https://almanhaj.or.id)
Inilah pentingnya keimanan dalam keadaan apapun, baik kaya ataupun miskin. Hamka, dalam tafsirnya Al-Azhar tentang surat al-Fajr: 15-16 menerangkan bahwa seorang kaya dengan harta berlimpah namun lupa diri dan sombong, tidak tahu hendak ke mana harta yang banyak tersebut dibelanjakan dengan seorang miskin yang tidak memiliki rumah bahkan rela melacurkan diri, keduanya di mata Allah nilanya sama. Keduanya tidak memiliki keimanan dalam hatinya untuk menerima cobaan rezeki melimpah atau terbatas.
Kemiskinan tidak melulu soal materi, tetapi cara berpikir. Bagaimanapun seseorang dipandang miskin, bila ia mampu memberikan sesuatu pada orang lain, dengan sendirinya ia adalah kaya. Sebaliknya, bila pun seseorang dianggap kaya, namun kikir, secara tidak langsung ia miskin. Hal ini sudah barang tentu dapat terjadi pada mereka yang masih teguh dengan keimanannya.
Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Yahya FR