Jika mungkin acara diskusi mahasiswa tentang pemakzulan presiden disebarkan pada grup komunitas melalui Whatsapp atau grup kampus, hal ini akan biasa-biasa saja. Saat pelatihan di pergerakan mahasiswa dulu, ide-ide revolusi dan heroik lain adalah hal yang mungkin sudah makanan setiap diskusi. Sekali lagi, kita biasa saja.
Namun, sejak era pandemi di mana acara ruang tidak lagi menjadi batasan untuk berkumpul, diskusi segala isu tidak terikat ruang, (bahkan) waktu, karena bisa disaksikan rekamannya. Zoom dan segala media yang dipakai untuk pertemuan virtual pun menjadi ruang baru, di mana seluruh dunia bisa bertemu, beradu, dan diskusi.
Pemakzulan Presiden?
Pemakzulan pemimpin (presiden) mau tidak mau adalah hal yang sensitif. Pembicaraan tentang ini tidak pernah menjadi masalah saat terbatas oleh ruang. Hanya ruangan tersebutlah yang berpendapat, beradu gagasan. Lalu, saat ruang menjadi tiada, isu pemakzulan presiden adalah hal yang sangat sensitif untuk dieksplor pada virtual, di mana ruang tidak lagi menjadi batasan untuk menerima informasi acara tersebut.
Itulah mengapa acara (awalnya) diskusi mahasiswa biasa, menjadi luar biasa. Bahkan bergulir jauh di kalangan akademisi, termasuk Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).
Ya, di ruang kelas, apalagi di jurusan yang concern terhadap tata negara, saya yakin materi pemakzulan presiden justru adalah hal yang wajib dipelajari. Ya, ruang kelas tersebutlah yang menjadi batas, mengapa isu pemakzulan menjadi hal yang dimaklumi.
Sakit Hati?
Saya tidak mengerti persis mengapa Mahutama berinisiatif mendiskusikan hal ini secara webinar. Dugaan saya tidak terlepas dari rasa ‘sakit hati’ karena terdapat oknum yang mencatut nama Muhammadiyah Klaten, untuk mengancam diskusi pemakzulan presiden oleh mahasiswa beberapa waktu lalu.
Sebagai warga Muhammadiyah, jelas saya pun sakit hati. Bahkan, saya harap polisi harus benar-benar mengusut hal ini, karena menyangkut nama baik persyarikatan.
Tapi tidak dengan menyelenggarakan hal (bertema) serupa.
Saya benar-benar tidak mengetahui urgensi pembahasan pemakzulan di tengah Corona. Ya, kita bahkan mungkin semua rakyat menyadari kekurangan pemerintah pada penanganan Corona; terlambat, menyepelekan, mementingkan ekonomi daripada kesehatan, dan segala hal lainnya.
Tapi, bagi saya tetap saja ini tidak bisa disalahkan pada pemerintah semata. Bukan seolah menjadi sebuah moral hazard yang perlu disikapi dengan isu pemakzulan, seperti isu korupsi dan sebagainya. Justru peran serta sebagai masyarakat yang peduli terhadap hal ini perlu didahulukan.
Atas dasar itu, saya termasuk orang yang sangat ingin pemerintah kuat dan stabil saat masa pandemi. Berbeda dengan 1998, di mana Suharto benar-benar bottle neck untuk perubahan masa itu.
Karena semaju apapun negara di dunia saat ini, semua kepayahan. Pemerintah yang kuat dan tegas lah yang justru pertama-tama memenangkan pertarungan dengan Corona.
Tapi bukan berarti saya ingin kembali otoritarianisme, tidak! Tapi, jika masa korona ditambah dengan pemerintah yang lemah dan unstrusted, lalu isunya terus dihembus-hembuskan panas, pertarungan melawan pandemi ini menjadi sangat payah. Kita akan benar-benar kalah, total! Siapapun pemimpinnya nanti.
Mengapa Kecewa?
Itulah mengapa saya kecewa dengan (tanpa urgensi apapun) diskusi ini justru diangkat. Muhammadiyah sudah membantu mengurangi beban pemerintah saat menghadapi Corona, dan banyak rakyat yang mengapresiasi hal tersebut.
Karena bagaimanapun, Muhammadiyahlah ormas yang memiliki infrastuktur besar (rumah sakit dan tenaga medis) untuk membantu negara dalam memerangi pandemi ini.
Saya tidak ingin mendikte motif pribadi dari pembicara atau siapapun yang terpampang pada poster tersebut. Hal itu biarkan pada pembaca saja.
Sekali lagi, pemerintah kuat dan stabil akan sangat membantu untuk memenangi perang melawan pandemi Corona. Buktinya, negara-negara demokrasi kepayahan dalam melawan hal ini, karena pemerintah tidak biasa ‘terlalu dianggap kuat’ untuk memaksa rakyat. Tapi, ini bukan berarti (sekali lagi) menganjurkan otoritarianisme.
Lalu, apakah kita harus melupakan kasus-kasus dan kelalaiannya? Tentu tidak! Tapi masyarakat akan mencatat dan menghukum mereka pula di pergantian kekuasaan mendatang. Itulah esensi negara demokrasi seperti kita.
Tapi, selama masih bergelut dengan pandemi ini, tidak ada alasan untuk tidak mendukung pemerintah.
Jika kita tidak setuju dengan kebijakan semacam new normal, sudahlah semampu kita tetap menjaga lingkungan. Toh, orang Indonesia sudah terbiasa tidak mencari celah dari peraturan. Dan, presiden bukan satu-satunya yang bisa berperan.
Jika ada kader persyarikatan yang jadi kepala daerah, toh dia bisa kita dukung untuk berperan. Jika dia berhasil, saya yakin semuanya pun akan mengapresiasi, dan mungkin pemerintah pusat akan ikut kebijakan tersebut. Abadi perjuangan!