Bullying atau perundungan telah menjadi salah satu masalah kronis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini karena perundungan tidak hanya mengancam korban di pendidikan prasekolah atau pendidikan dasar, tetapi juga hingga ke pendidikan pascasarjana. Perundungan ini sudah mengakar sehingga membutuhkan penanganan serius untuk mengakhiri aksi kekerasan di lingkungan pendidikan formal.
Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan guna mengatasi masalah tersebut, terutama dari sisi hukum dengan peraturan dan undang-undang yang mengatur perlindungan anak dan penanganan kasus bullying secara umum, yang antara lain: UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016; UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku bullying yang dilakukan melalui media elektronik atau media sosial; atau, Permendikbud No. 82 Tahun 2015, yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah.
Aspek perundangan-undangan ini penting untuk memberikan rasa aman, perlindungan, pencegahan, membangkitkan kesadaran tentang urgensi antibullying, hingga memberikan hukuman yang tegas dan jelas bagi pelaku. Sayangnya, ada satu celah yang luput, yaitu hingga saat ini belum ada undang-undang spesifik yang secara langsung menghukum orang tua dari anak yang melakukan tindakan bullying.
Bullying Bersumber dari Rumah
Orang tua atau keluarga memiliki peran sentral dalam aksi bullying. Ada banyak riset yang mengaitkan pelaku bully dengan latar belakang keluarga. Misalnya, buku berjudul “The Bully in the Family: Family Influences on Bullying” oleh James R. Holmes dan Heather A. Holmes-Lonergan (2004) yang menegaskan bahwa sumber bullying adalah dari keluarga. Alasannya antara lain: keluarga adalah agen sosialisasi utama, keluarga menjadi lingkungan pertama di mana anak-anak belajar perilaku melalui interaksi dengan orang tua dan saudara, anak senantiasa mengadopsi perilaku orang tua, hubungan persaingan antarsaudara dapat menormalkan bullying, dan paparan kekerasan domestik dapat memperkuat gagasan bahwa agresi adalah cara yang sah untuk menyelesaikan konflik.
Sejumlah hasil riset terbaru juga menegaskan hal serupa. Misalnya, penelitian berjudul “Parents, family characteristics and bullying behavior: A systematic review” oleh Annalaura Nocentini dkk (2020) yang mengeksplorasi hubungan antara orang tua, karakteristik keluarga, dan perilaku bullying pada anak-anak. Riset ini merekomendasikan pendekatan komprehensif yang melibatkan orang tua dan keluarga dalam upaya pencegahan dan penanganan bullying. Seterusnya, jika ditelusur, sangat banyak hasil riset dengan temuan sejenis.
Alasan Orang Tua Perlu Dihukum
Beberapa negara sudah menetapkan hukuman atau sanksi bagi orang tua pelaku bullying. Di Asia, ada Jepang dan Korea Selatan, yang memiliki hukum yang memungkinkan sanksi terhadap orang tua jika anak mereka terlibat dalam bullying yang menyebabkan dampak serius. Pengadilan dapat memutuskan sanksi jika orang tua dianggap lalai dalam mengawasi atau mencegah tindakan bullying. Aturan serupa terdapat di beberapa negara bagian di AS, seperti New Jersey, California dan Texas.
Menghukum orang tua ketika anak-anak mereka terlibat dalam bullying bisa menjadi topik yang kontroversial, karena sebagaian masyarakat kita terbiasa dengan fallacy standar ganda: jika anak berhasil, itu karena didikan orang tua; jika anak rusak, itu karena kesalahannya sendiri. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang masuk akal untuk mewacanakan menghukum orang tua dari anak pembully.
Sebagai produsen dari sebuah produk, orang tua bertanggung jawab penuh untuk membimbing dan mendisiplinkan anak-anak mereka. Ketika anak-anak terlibat dalam bullying, hal itu bisa mencerminkan kurangnya pengawasan atau intervensi yang memadai dari orang tua. Pertama, menargetkan orang tua dapat menyadarkan pentingnya peran mereka dalam membentuk perilaku anak-anak.
Kedua, menghukum orang tua bisa berfungsi sebagai tindakan pencegahan bagi keluarga lain, untuk mengambil langkah proaktif dalam mencegah anak-anak mereka menjadi pelaku bullying. Mengetahui adanya konsekuensi juga akan memotivasi orang tua untuk lebih waspada dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka.
Ketiga, hukuman dapat mendorong orang tua untuk lebih aktif terlibat dalam pendidikan dan manajemen perilaku anak mereka. Keterlibatan ini dapat membantu dalam mengidentifikasi dan menangani masalah perundungan lebih awal.
Keempat, anak-anak yang melakukan bullying, berdasarkan riset di atas, besar kemungkinan berasal dari lingkungan yang menormalisasi kekekerasan (psikologis, verbal, nonverbal, spiritual). Menghukum orang tua dapat sekaligus menyoroti masalah sistemik dalam keluarga, sehingga dapat mendorong perbaikan yang lebih sistemik. Memperbaiki keluarga berarti memperkuat pondasi dari struktur sosial.
Kelima, memastikan bahwa orang tua dari pelaku bertanggung jawab bisa menjadi bagian dari dukungan bagi korban bullying. Tindakan ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi korban dan memberikan daya dorong dalam menangani dan mencegah bullying.
Karena ancaman hukuman juga menyasar orang tua, tanggung jawab sosial terhadap bullying akan meningkat. Kesadaran kolektif terhadap keseriusan aksi bullying juga akan meningkat. Pendekatan ini bisa menjadi bagian dari strategi komprehensif untuk menangani akar penyebab bullying dan memastikan lingkungan yang lebih aman bagi semua siswa.
Hukuman yang dirancang dengan adil dan bijaksana dapat mendorong orang tua untuk lebih proaktif dalam mengawasi dan membimbing perilaku anak-anak mereka, sekaligus memberikan dampak preventif bagi keluarga lain. Pendekatan ini tentu saja bukan hanya soal menegakkan sanksi, tetapi lebih kepada menciptakan kesadaran dan tanggung jawab kolektif dalam upaya membangun lingkungan yang aman bagi semua siswa.
Editor: Soleh