Sebagai seorang muslim yang taat, menjadi sebuah keharusan untuk senantiasa berpedoman pada Al Quran dan Hadist dalam keseharian, terlebih dalam hal kepemimpinan. Maka indikator kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang berkiblat pada Rasulullah.
Kepemimpinan ala Rasulullah sudah terbukti berhasil dalam sejarah kenabian Rasulullah Saw. Seperti yang dikemukakan oleh Micheal H. Hart dalam bukunya The 100 a Ranking of The Influential Persons in History, bahwa Nabi Muhammad Saw sebagai seorang pemimpin yang paling berhasil dan berpengaruh sepanjang sejarah. Model kepemimpinan yang disandarkan kepada Rasulullah ini yang kemudian dikenal dengan istilah kepemimpinan profetik.
Apa Itu Kepemimpinan Profetik?
Istilah profetik ini merupakan serapan dari kata prophet, dan karena digunakan sebagai kata sifat maka kata prophet berubah menjadi prophetic. Sehingga mempunyai arti nabi dan kenabian dan dimaknai sebagai pemberi kabar atau risalah kebenaran bagi umat manusia.
Dalam makna yang lebih luas profetik adalah bagaimana kita berusaha untuk menanamkan sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif. Mengutip konsep dari Kuntowijoyo tentang kepemimpinan profetik yang berdasarkan pada Al Quran surat Ali Imran 100, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan dengan misi humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Kepemimpinan profetik sudah tampak ketika Rasul mulai dakwah di Mekkah hingga hijrah ke Madinah. Dakwah Islam di Mekkah mendapat banyak tantangan dari kaum Quraisy yang tidak menerima kehadiran Nabi Muhammad Saw. Semakin tertekannya dakwah Rasulullah di Mekkah ditambah dengan wafatnya Khadijah dan Pamannya, Abu Thalib. Setelah itu kemudian turun perintah hijrah untuk Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah melalui Surat Al Baqarah ayat 218. Terdapat juga sebuah peristiwa yaitu Bai’atul Aqabah. Bai’atul Aqabah atau Perjanjian Aqabah adalah perjanjian yang sangat berpengaruh dalam proses dakwah Islam oleh Nabi Muhammad Saw.
Dari sejarah di atas, kita mengetahui bahwa Rasulullah adalah pemimpin yang menjadi teladan utama bagi umatnya. Islam berjaya di tangan tokoh-tokoh yang kemampuannya tidak perlu dipertanyakan lagi, seperti Umar bin Khattab yang sebelumnya adalah orang yang keras dan kejam menjadi kepala negara yang susah untuk ditandingi. Ada juga Khalid bin Walid yang menjadi pemimpin perang dari yang tadinya adalah preman kampung. Indonesia memerlukan pemimpin yang memegang prinsip bahwa jabatan adalah tanggung jawab di dunia dan akhirat, sehingga para pemimpin ini bekerja dengan hati dan pikiran tidak hanya mengandalkan nafsu dibalik jabatan yang ia emban.
Dalam lingkup lebih kecil dari negara, misalnya organisasi ataupun persyarikatan pun kepemimpinan memiliki peran yang penting untuk mencapai tujuan. Seorang pemimpin dalam sebuah organisasi wajib mempunyai kompetensi untuk dapat menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin harus mampu memberikan pengaruh, motivasi dan evaluasi pada anggotanya. Maka yang dibutuhkan adalah pemimpin dengan jiwa leader bukan pemimpin dengan sosok bos.
Kepemimpinan Profetik Menurut Kuntowijoyo
Membahas tentang kepemimpinan profetik, agaknya kita perlu mengetahui secara cermat tentang istilah profetik sebagai penyeimbang kata kepemimpinan. Seperti dijelaskan di atas, bahwa profetik mempunyai makna pemberi kabar, risalah kebenaran umat manusia. Al-Quran menjelaskan pandangan tentang profetik melalui Q.S Ali Imran 110 yakni;
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Menurut Kuntowijoyo, ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut, yaitu konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik. Pertama, umat manusia akan menjadi umat terbaik apabila mampu melaksanakan “pengabdian kemanusiaan” bagi umat manusia atau civil society. Kedua, mengemban misi kemanusia, berarti berbuat untuk untuk manusia dalam bentuk aktivisme sosial. Ketiga, kesadaran ilahiah yaitu bentuk keterpanggilan etis untuk kemanusiaan yang dilandasi spirit teologis. Keempat, etika profetik, ini berlaku umum, yaitu menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah (transendensi).
Implementasi aspek profetik dalam kepemimpinan profetik mengedepankan etika dengan tiga prinsip dasar. Humanisasi, yaitu memanusiakan manusia. Ini didasarkan pada fakta bahwa semakin maju teknologi manusia hanya dijadikan sebagai alat. Liberasi, merupakan upaya mengatasi perilaku dehumanisasi atau anti-kemanusiaan. Mengandung spirit pembebasan terhadap manusia. Transendensi, adalah kesadaran vertikal manusia yang melampaui akal kemanusiaan. Dalam arti lain kita kenal dengan Hablumminallah. Maka, kepemimpinan profetik dapat kita pahami sebagai kemampuan pengendalian diri dan memengaruhi orang lain dengan tulus untuk tujuan bersama sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, dengan spirit STAF (sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah).
Kepemimpinan Transformatif Rasulullah Saw
Rasulullah Saw adalah pembawa transformasi dari zaman jahiliyah menjadi zaman penuh dengan iman, ilmu dan terang benderang. Rasulullah membawa masyarakat yang buta akan ilmu dan iman menjadi masyarakat yang terdidik. Kepemimpinannya diterima oleh seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang etnis, budaya, ras, dan agama. Rasulullah Saw adalah sosok pemimpin yang berjaya membawa perubahan yang telah terbukti menghasilkan revolusi yang bermakna cara hidup dan pemikiran bangsa Arab.
Empat sifat Rasulullah Saw yang kita ketahui, yang menjadikannya panitan pemimpin yakni sidiq (jujur), tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas). Semua sikap dan sifat Rasulullah Saw tersebut dapat dikatakan sebagai model kepemimpinan transformasional.
Sesuai dengan teori kepemimpinan transformasional dijelaskan sikap seorang pemimpin yang mampu memengaruhi dan mengerahkan anggotanya dengan cara efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang sudah ditetapkan.
Rasulullah adalah pemimpin yang dekat dengan umatnya, hal ini dapat terlihat dengan sikapnya yang selalu mengadakan musyawarah ketika ada suaru persoalan yang terjadi atau menimpa umatnya. Dalam bermusyawarah pun, Rasulullah selalu menggunakan bahwasa yang santun, tidak mengatakan sesuatu tanpa dasar dan diluar kebenaran serta sesuai dengan apa yang Allah wahyukan. Selain itu, sebagai seorang pemimpin Rasulullah menerima pendapat dari para sahabat dan umatnya. Maka dari itu sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah menjadikannya pantas disebut sebagai pemimpin yang transformatif.
Editor: Soleh