Perspektif

Kepentingan di balik Cara Berpakaian

4 Mins read

Pakaian adalah bukti peradaban manusia sebagai makhluk berbudaya. Melalui pakaian, manusia mampu mengidentifikasi suatu hal yang bersifat etis dan estetis, mengkaji soal segmentasi budaya, adat istiadat, maupun agama, serta menentukan norma-norma yang berlaku untuk masyarakat. Begitu juga konsep moral, bahwa cara berpakaian adalah cerminan maupun bagian dari aktualisasi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Persoalan cara berpakaian selalu menjadi topik yang menarik. Kita tahu bahwasannya cara berpakaian seseoarang maupun masyarakat tidak jarang menjadi bahan skeptis publik. Dari sini, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa pakaian adalah media komunikasi publik.

Maka sebenarnya cara berpakaian merupakan praktek sosial masyarakat yang tentunya mengandung unsur kepentingan tertentu. Perihal tersebut, bisa dilihat dari aktivitas regulatif yang ditinjau dari nilai, titik kepercayaan, cara pandang, serta paradigma yang memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat.

Ketika cara berpakaian adalah cerminan dari praktek sosial tertentu. Maka, sejatinya pakaian adalah adalah bagian dari wacana. Foucault (1997) mengatakan bahwa untuk menganalisis wacana utamanya bukan soal meninjau pemakaian bahasa, maupun seraingkaian kata atau proposisi teks, melainkan praktek sosial yang sebenarnya merupakan bagian dari buah produksi gagasan dan konsep yang sifatnya ideologis.

Jadi ketika ada perdebatan-perdebatan mengenai cara berpakaian seseorang maupun masyarakat, maka sebenarnya yang dibahas bukanlah pakainnya, melainkan konteks latar belakang bagi si pemakai.

Wacana: Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan

Sebelum kita mengkaji bagaimana wacana itu dibentuk melalui cara berpakaian seseorang, terdapat perihal penting yang menjelaskan tentang apa itu wacana. Foucault (1997) menjelaskan bahwa wacana selalu berkaitan dengan pengetahuan dan kekuakasaan.

Konteks pengetahuan yang dimaksud adalah bahwasannya wacana selalu dititkberatkan pada asal usul gagasan atau ide yang sedang diproduksi. Sedangkan dalam konteks kekuasaan lebih kepada bagaimana sebuah ide itu digulirkan yang tentunya tersusun secara sistematis.

Baca Juga  Muhammadiyah: Matahari yang Kian Redup?

Kekuasaan selalu teraktualisasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan memiliki efek kuasa. Untuk mencapai kekuasaan, tidak muluk-muluk menjadi penguasa negara (raja, presiden, pejabat), cukup merumuskan strategi tentang bagaimana cara mempengaruhi objek masyarakat agar menjadi pengikut bagi si pembuat wacana tersebut.

Biasanya, cara untuk menggulirkan suatu wacana adalah memanfaatkan realitas yang terjadi di masyarakat, seperti ketidakdilan, kemiskinan, deskriminasi, dan penindasan. Agen wacana ini akan membuat relaitas baru untuk mempengaruhi masyarakatnya agar menjadi pengikutnya.

Contoh yang bisa kita ambil adalah masa pemerintahan Orde Baru dan saya mengambil objek PKI karena memang di situlah asal muasal wacana itu dibentuk. Pada masa Orde Baru, pemerintah menetapkan PKI sebagai partai terlarang.

Opini yang dibangun adalah bahwa PKI merupakan partai anti Tuhan serta melakukan perbuatan-perbuatan yang keji, sehingga yang timbul di benak masyarakat adalah bahwa PKI merupakan partai yang menakutkan (mungkin sampai saat ini). Hal tersebut tentu mengingat bagaimana saat itu PKI sangat mendominasi perpolitikan nasional di era pemerintahan Orde Lama.

Begitu juga di masa reformasi kali ini yang seakan-akan adalah masa keemasan sebagai bentuk kebebasan akibat dari belenggu pemerintahan Orde Baru. Tentu saja opini yang dibangun menjustifikasi pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan sebagai sumber penyakit demokrasi yang harus dibasmi.

Realitas-realitas kelam Orde Baru diangkat secara masif agar masyarakat mengetahui bahwasannya masa-masa Pemerintahan Orde Baru itu tidak menggenakan. Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa framing itu penting dalam pengguliran sebuah wacana.

***

Lalu bagaimana soal pakaian sebagai praktek wacana? Ketika ada perdebatan-perdebatan soal cara berpakaian seseorang, maka sesungguhnya di situ sedang terjadi pengguliran wacana. Bahkan, sebelum menjadi perdebatan, cara berpakaian seseorang adalah cerminan dari wacana tertentu. Timbulnya perdebatan-perdebatan tersebut biasanya motif pengguliran wacananya sangat terlihat. sehingga menjadi pertentangan yang dialektis bagi agen wacana yang tidak sepemahaman dengan wacana yang sedang digulirkan.

Baca Juga  Kuatkan Ideologi, UMY, PCIM Jerman, dan PCIM Hungaria Gelar Baitul Arqom Internasional

Sebagai contoh, tentu tentang maraknya cara wanita berpakaian syar’i hingga menjadi pertentangan bagi sebagian masyarakat. Saya mengambil contoh “wanita” karena kebetulan salah satu polemik itu muncul selain dari pada kata “syar’i”, (kalaupun saya dianggap patriarkis juga tidak masalah).

Pertama, kita bisa merumuskan suatu pertanyaan seperti mengapa wanita memakai pakaian syar’i? Atau bisa juga, mengapa wanita harus berpakaian syar’i?

Kita bisa membuat jawaban asumtif atas peryanyaan tersebut dengan melihat maraknya pemerkosaan, tindak asusila, maupun pelecehan yang terjadi para perempuan. Sehingga untuk menekan problematika tersebut, diperlukan upaya-upaya antisipatif seperti menutupi bagian-bagian tubuh perempuan yang rawan akan tindakan kejahatan. Dengan begitu, marwah akan keperempuananya tetap terjaga sebagaimana mestinya.

Jawaban di atas tentu akan ditentang oleh para aktivis feminis liberal yang mengatakan bahwa tindak kejahatan terhadap perempuan disebabkan oleh seorang laki-laki yang berotak mesum. Sanggahan tersebut tentu disanggah balik pula oleh para pemakai pakaian syar’i yang mengatakan bahwa menutup aurat adalah upaya untuk mencegah laki-laki agar tidak berpikiran mesum. Sanggah saling menyanggah lagi sampai opini atas salah satu reprentasi wacana tersebut dapat meyakinkan masyarakat.

Lalu kita rumuskan satu pertanyaan lagi, mengapa harus pakaian syar’i? Terus terang saja pertanyaan tersebut adalah bagian dari skeptis tentang wacana apa yang dibawa oleh pemakai pakain syar’i. Kita bisa menarik konteks mengapa kata “syar’i” itu muncul karena kata tersebut adalah kata pengganti dari simbol (semantik) wacana yang sedang digulirkan.

***

Masifikasi atas kata “syar’i” saya pikir adalah buah perlawanan atas wacana yang menyudutkan bagi sebagian masyarakat Islam. Seperti rencana pelarangan cadar bagi perempuan, penyeruan kata “toleransi” yang berlebihan, serta pernyataan dari petinggi Partai Solidaritas Indonesia yang menolak Perda Syariah. Begitu juga bagi mereka yang alergi terhadap kata “syar’i” yang dianggap sebagai makna muculnya bibit radikalisme dan aksi terorisme.

Baca Juga  Pelajaran Qurban: Perbaiki Cara Mendidik Anak

Saya pun berani mengambil kesimpulan bahwa siapa saja yang menggalakkan pakaian syar’i ini adalah golongan Islam konservatif, dan tentu saja yang menentangnya adalah kelompok-kelompok yang tidak menyukai golongan Islam konservatif seperti golongan liberal, sekuler, maupun moderat berkecenderungan.

Ini murni soal perlawanan wacana sebagai suatu bentuk alat untuk mencapai kekuasaan yang lebih luas. Maka hegemoni sangat diperlukan dalam menggulirkan sebuah wacana.

Soal cara berpakaian, saya tak pernah berkomentar apapun meskipun kadang terbesit dalam pemikiran saya ketika melihat orang berpakaian mencirikhaskan suatu ideologi tertentu. Namun juga tak menjadi penting bagi saya soal perdebatan-perdebatan wacana yang tidak produktif, tidak mencerahkan, dan tidak mencerdaskan.

Kalau sudah seperti ini, ingin rasanya saya mengajak masyarakat untuk mendengarkan lagu-lagu dari bang haji Rhoma Irama. Ben do tentrem utek lan atine!

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds