Hubungan antar Umat Beragama
Hubungan antar agama memiliki dimensi pluralitas. Situasi ini dapat diperhatikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Permasalahan yang berkaitan dengannya membutuhkan solusi dari seluruh komponen masyarakat agar dimensi pluralitas berjalan seimbang dan harmonis.
Pemahaman terhadap masalah hubungan antar agama membutuhkan perhatian serius karena dimensi agama itu tidak hanya terkait dengan ajaran teologis, tetapi juga terkait dengan faktor sosial lain yang saling mempengaruhi.
Relasi antar umat beragama dalam masyarakat majemuk selalu mengalami pasang surut dan tidak selalu harmonis. Setiap doktrin atau ajaran agama mengajarkan tentang kerukunan, kedamaian, saling menghormati, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, dan seperangkat nilai-nilai luhur lainnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya, realisasi perdamaian dan keharmonisan belum semua berjalan baik (Syafar dan Mujahid Damopol, 2019).
Di Indonesia, kasus Poso misalnya, memperlihatkan konflik signifikan yang melibatkan dimensi umat beragama. Permasalahan ini menjadi bukti bahwa agama menjadi kompleks ketika bertemu dengan kenyataan di masyarakat.
Agama menjadi faktor dan konteks yang menghadapi persoalan transisi demokrasi baik di tengah atau tengah daerah.
Selain itu, kondisi politik juga mempengaruhi ketegangan masyarakat. Yang kemudian, menimbulkan konflik etnis dan agama dengan muatan politik. Begitu pula, munculnya relasi kuasa dari masing-masing otoritas sosial-keagamaan bertransformasi dalam bentuk saluran ideologis, institusi, sistem, dan jaringan sosial lainnya.
Dalam kaitan ini, hubungan antar agama menjadi inti dari isu-isu yang banyak digunakan oleh individu dan kelompok dalam hal apapun untuk menunjukkan keberadaan kekuasaan dan eksistensi dalam masyarakat.
Peran Pendidikan dalam Harmonisasi Kerukunan Umat Beragama
Di samping isu di atas, dalam konteks sosial, pendidikan berperan penting dalam wacana hubungan antar agama. Lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga jenjang pendidikan tinggi, memiliki kewenangan membangun paradigma, pembiasaan, penyiapan perangkat sosial, dan tahap implementasi di masyarakat.
Aspek-aspek ini dalam konteks lembaga pendidikan, dapat memfasilitasi terbangunnya model atau cara bersosialisasi secara plural dalam lingkungan sosial. Lembaga pendidikan dapat menciptakan nilai-nilai positif bagi kehidupan antar umat beragama.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi landasan untuk menjembatani kehidupan umat beragama sehingga dapat mencapai titik temu di antara pluralitas agama yang ada.Â
Pancasila juga sebagai nilai utama dalam berbagai kebijakan yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Pandangan ini menguatkan bahwa isu-isu yang terkait dengan pluralitas agama dalam Pendidikan, telah diakui secara hokum. Sehingga, pendidikan harus memiliki posisi yang jelas dan tepat.
Pendidikan dapat mengubah secara bertahap kerjasama menjadi pembiasaan kerukunan sehingga berdampak positif pada kehidupan masyarakat. Kebersamaan dan kerjasama yang dibangun tidak hanya dirasakan di lingkungan sekolah. Tetapi juga terbangun di beberapa komunitas.
Seperti kerjasama antara guru, siswa, dan orang tua yang pada saat hari libur keagamaan tidak hanya tampak di sekolah dan masyarakat. Tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Masing-masing dapat menjaga harmonisasi seperti saling mengunjungi lain, saling membantu, dan bentuk kerjasama sosial lainnya. Hal yang sungguh menarik apabila semua warga sekolah melakukan pembiasaan ini menjadi perilaku sehari-hari.
Sekolah menjadi pendorong harmonisasi antar umat beragama. Harmonisasi ini dianggap tepat apabila gerakan kerukunan melibatkan seluruh komponen warga sekolah. Begitu pula, dorongan ini akan lebih kuat apabila pemerintah memberikan kebijakan yang mendorong sekolah untuk penguatan kerukunan.
Pendekatan Penguatan Kerukunan Umat Beragama di Sekolah
Terdapat hasil penelitian yang menarik untuk dikaji. Temuannya dapat dijadikan model bagi sekolah lain. Syafar dan Mujahid Damopol (2019) meneliti harmonisasi agama di salah satu SD di Gorontalo. Sekolah tersebut mengembangkan dan menerapkan konsep harmonisasi dan pluralisme agama yang ada dalam satu lingkungan sekolah.
Harmonisasi agama di sekolah berdasarkan penelitian tersebut dapat dipahami dari beberapa pendekatan.
Pertama, kerukunan umat beragama mengacu pada tindakan kerjasama yang melibatkan agama lain. Kerukunan umat beragama bukanlah suatu kegiatan yang mengganggu baik pada teologis maupun normatifitas agama. Melainkan kegiatan keagamaan di bidang praksis atau hubungan sosial.
Kerukunan di sekolah dapat dilihat dari tradisi merayakan hari besar keagamaan yang diadakan di sekolah, seperti Idul Fitri atau Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru Imlek.
Jika salah satu umat beragama merayakan hari raya, pemeluk lain juga membantu mempersiapkan acara tersebut. Bahkan, memberikan materi dan bantuan seperti membawa makanan atau yang lainnya. Kegiatan seperti ini dapat dilakukan di lingkungan sekolah dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Kedua, kerukunan sosial merupakan bentuk kerjasama yang melibatkan seluruh komponen agama untuk melaksanakan agenda-agenda sosial seperti membantu korban bencana alam, peduli lingkungan, dan aksi sosial kemanusiaan lainnya.
Kerukunan sosial juga menjadi perwujudan nilai-nilai ajaran agama yang diekspresikan dalam kehidupan nyata. Sehingga, pesan dan ajaran agama dapat dilihat dan dirasakan beserta manfaatnya.
Contohnya adalah kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan seluruh warga sekolah dalam berbagai aksi sosial seperti Islam, Kristen, dan Budha yang bekerjasama dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Seperti membantu masyarakat yang mengalami kebakaran, banjir, tanah longsor, panti asuhan, dan panti jompo.
***
Ketiga, kerukunan budaya adalah kerjasama antar umat beragama melalui pendekatan budaya yang menjadi titik temu agama-agama dalam satu konteks.
Pendekatan ini memandang bahwa budaya menjadi jembatan yang dapat mempertemukan perbedaan masing-masing agama. Kegiatan yang mencerminkan kerukunan budaya dipraktikkan oleh sekolah ini dapat dilihat pada saat perayaan Tahun Baru Islam atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Yang dalam tradisi masyarakat Gorontalo, sering dirayakan melalui parade keliling kota dan biasanya dihiasi dengan hidangan kue tradisional.
Meskipun tradisi ini merupakan kegiatan bagi umat Islam, siswa Kristen dan Buddha juga terlibat dalam kegiatan. Partisipasi atau keterlibatan tersebut tidak didasarkan pada paksaan tetapi atas dasar keinginan dan kesepakatan agama lain untuk ikut serta.
Kolaborasi dengan pendekatan ini memiliki hubungan makna bahwa nilai-nilai budaya terintegrasi dengan tradisi keagamaan bukanlah pemisah ikatan sosial-manusia. Melainkan sumber untuk membangun nilai-nilai sosial-manusia.
Ketiga pendekatan di atas menjadi alternatif dalam memperhatikan keragaman potensi sosial-keagamaan yang berbeda dan menghindari konflik atas nama agama.
Meski begitu, tiga pendekatan di atas memiliki tiga titik sekaligus yaitu titik pemisah, pertemuan, poin perselisihan. Titik pemisahnya terletak pada perbedaan menurut Abdullah (1999) berada di wilayah doktrin, simbol, dan ritual yang dilakukan oleh masing-masing agama yang memang tidak dapat diseragamkan. Apabila diseragamkan, agama akan kehilangan nilai fundamentalnya.
Editor: Yahya FR