Kisah ini terkait kesadaran pendidikan di Kerinci Hilir. Saat itu, akhir Ramadan awal 1930-an. Seorang remaja berjalan kaki menuju dusunnya di Pulau Sangkar. Jarak tempuh lebih dari 10 kilometer. Si remaja adalah siswa Thawalib Padang Panjang yang memanfaatkan libur Ramadan. Dia pulang dari memberi ceramah di masjid di Dusun Lempur yang banyak penduduknya masih saudara si siswa. Para jamaah ternyata menyukai ceramah siswa Thawalib ini.
Karena letih dia berteduh di bawah sebatang pohon rindang. Sambil melepas lelah dia menghitung pemberian jamaah untuknya sebagai ustadz muda. Subhaanallah, ada banyak uang dan ada beberapa ringgit emas. Ini membuat sang siswa kembali semangat. Biaya sekolahnya untuk satu tahun ke depan aman sudah. Sang siswa bernama Zainuddin. Iya, beliau adalah Upoak-ku. Penggalan cerita tentang Upoak ini mencerminkan banyak hal. Salah satunya adalah tentang kesadaran pendidikan di dusunku yang sudah tinggi sejak zaman dahulu.
Kesadaran Pendidikan di Kerinci
Kesadaran pendidikan di Kerinci, khususnya dusunku ini terkait dengan kemakmuran. Cerita tentang si Zainuddin adalah pengecualian. Secara umum penduduk berada dalam kondisi makmur. Tentu dengan ukuran pada masa itu. Sawah yang subur dan ladang yang luas menjadi penyebabnya. Memasuki era 1920-an ekonomi masyarakat didukung karet alam dan kopi. Salah satu indikator kemakmuran adalah banyaknya penduduk bergelar haji.
Berbagai tokoh lama era ini dan sekitarnya yang banyak disebut para informan bergelar haji. Beberapa orang menunaikan ibadah haji lebih satu kali. Sebagian dari mereka berhaji dengan membawa anak-anak mereka. Kemakmuran yang diiringi tingginya kesadaran pendidikan menghantarkan anak-anak muda dusunku tersebar ke berbagai penjuru pada berbagai periode dalam rangka menuntut ilmu.
Kesadaran pendidikan di dusunku bisa dilacak sejak era 1920-an. Pada era ini generasi pertama anak-anak muda berangkat ke Padang Panjang dan sekitarnya. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan khususnya pendidikan agama di Nusantara pada masa itu. Zainuddin, Chatib, Abbas, Yahya, Azhari, dan Ahmad, adalah teman-teman seangkatan. Mereka wisuda pada tahun 1934.
Di sana mereka berinteraksi dengan banyak teman yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Di antaranya adalah HAMKA dan AR Sutan Mansur yang belakangan menjadi tokoh Muhammadiyah sekaligus tokoh nasional. Teman mereka lainnya adalah Zarkasyi yang dikenal luas sebagai salah satu pendiri Pondok Modern Gontor. Gontor di Ponorogo ini belakangan mengalahkan pamor Thawalib. Sedangkan Zainuddin dan kawan-kawan pulang kampung. Mereka meneruskan tradisi keluarga menjadi petani sambil menjadi buya. Mereka menyebarkan faham agama pembaharuan di kampung halaman kami dan di Kerinci pada umumnya.
Pendidikan di Kerinci 1930-an
Kecenderungan ke Padang Panjang ini dilanjutkan generasi berikutnya pada era 1930-an akhir. Mereka berjumlah lebih banyak dan meliputi anak-anak perempuan. Siti Ruma, misalnya, menamatkan Sekolah Rakyat di dusunku dan berangkat pada 1938. Bersama 40 temannya mereka menyarter oto pergi sekolah ke Padang Panjang. Teman Siti Ruma antara lain kakak Haji Nabeh, Haibah, Haji Saliha, Saiyah, dan Siti Iya induk Hur. Dalam jumlah yang lebih besar adalah remaja laki-laki. Siti Ruma paling kecil. Ternyata ia belum bisa diterima sekolah secara resmi karena belum cukup umur. Dirinya pun menjadi siswa percobaan.
Sedangkan pada tahun berikutnya Siti Nurma tidak diizinkan keluarga kembali ke Padang Panjang. Kekhawatiran akan datangnya penjajah Jepang sudah mulai terasa. Kata Siti Ruma, ”Aku melanjutkan sekolah di Madrasah Irsyaadunnaaas Muhammadiyah. Sekolah ini berdiri di dusun kita dan dibina oleh para alumni Thawalib angkatan sebelumnya.”
Sebagaimana para pendahulu generasi kedua ini juga berinteraksi dengan teman-teman yang juga berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Syarif Yakin, belakangan menjadi suami Siti Ruma, saat kelas empat memiliki teman akrab yang berasal dari Aceh. Teman akrabnya ini di belakang hari dikenal sebagai tokoh politik yang memimpin Gerakan Aceh Merdeka. Sedangkan Syarif Yakin belakangan pada era 1950-an akhir menjadi salah satu komandan lapangan PRRI pada periode penuh gejolak di Sumatera Tengah kala itu. Mereka melawan pemerintahan pusat di bawah Soekarno yang semakin bermesraan dengan PKI.
Selama beberapa tahun Syarif dan kawan-kawan bergerilya di Sumatera bagian Tengah. Wilayah perlawanannya meliputi Kerinci, Merangin, bahkan sampai ke kawasan Sungai Ipuh yang berada di bagian utara Provinsi Bengkulu.
Masa Pendudukan Jepang dan Agresi Miter Belanda
Anak-anak muda dusunku lainnya melanjutkan sekolah di Kerinci saja. Mereka masuk sekolah agama di Pulau Tengah dan Tanjung Pauh. Bagi yang ingin sekolah umum, di Sungai Penuh pada masa itu sudah berdiri SMP Muhammadiyah. Damhuri Gusti masuk Sekolah Rakyat di Pulau Sangkar pada tahun 1939 dan tamat tahun 1942. Sekolah Rakyat pada masa ini sudah berlnagsung enam tahun. Beliau masih ingat teman seangkatannya yaitu Mat Zen, Alipiah, Tabrani, Zainun, Mat Pondok, Wahab Pondok, Yahya Pondok, Shak Pondok, dan anak perempuan yaitu Induk Bustanuddin, Hukmiyah, dan Hapiah bini Taher.
Damhuri sempat sekolah agama tingkat Ibtidaiyah di Pulau Tengah. Pada 1945, setamat dari kelas enam Damhuri bersama banyak anak Pulau Sangkar lainnya melanjutkan pendidikan masuk SMP di Sungai Penuh.
Pada era 1940-an ini pendidikan dasar di dusunku sudah berjalan lancar. Tentu dengan segala keterbatasan. Daniyah Saleh, dan Zainal, misalnya, menyelesaikan sekolah pada masa pendudukan Jepang. Tidak ada selop apalagi sepatu. Baju yang dipakai setiap hari adalah kain marikan hitam. Baju bagus hanya sehelai untuk tiga-empat tahun. Setelah hari raya baju baru disimpan.
Zainal ingat saat baru sekolah dia dibelikan sandal jepit oleh orang tuanya. Tetapi sandal jepit itu lebih banyak menganggur daripada dipakai. Pada hari raya pertama si sandal boleh menginjak tanah. Tetapi pada tiga hari berikutnya si sandal hanya boleh dipakai di rumah, bolak balik dari ruang depan ke ruang belakang. Maka kadang Zainal sakit hati. Lanjut beliau ”Awak masih mau memakainya, ternyata sudah disimpan oleh Indok di dalam lemari. Kata Indok, hari Raya Haji besok pula memakainya. laa ilaaha illallaah….”
Masa agresi Belanda menjadi masa peralihan sekolah dasar bagi anak-anak di dusunku. Mereka yang yang sudah kelas 6 SD terlantar karena agresi Belanda pada 1949. Ketika Belanda pergi pada 1950 mereka bisa melanjutkan sekolah dan tamat pada tahun 1951. Sejak itu pendidikan dasar berjalan lancar di Pulau Sangkar.
SD yang menempati lokasi di Pondok Gedang pasca agresi berpindah lokasi di Desa Baru Pulau Sangkar. SD ini masih berdinding pelupuh dan anak-anak bersekolah pada pagi hari. Bustami Ilyas menjadi murid baru SD ini pada 1950. Sementara itu Mirza Yahya masuk pada 1952. Teman sekelas Mirza adalah Fauzi, Rauzah dan Hum. Bustami menamatkan SD-nya pada tahun 1957. Cerita Bustami kepada penulis selanjutnya, ”Guru kami adalah pak Haji Mukhtar yang berasal dari Sungai Penuh. Kepala sekolah pak Najamuddin. Sedangkan pak Harahap mengajar sebelum aku masuk sekolah ini.”
Setelah menamatkan SD di desa sendiri pada era 1950-an hampir semua anak muda Pulau Sangkar, termasuk perempuan, melanjutkan sekolah. Di samping Sungai Penuh dan sekitarnya, tujuan sekolah mereka adalah Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Jakarta, dan Jogja. Pada 1951 Bukhari Syafii melanjutkan sekolah ke SMP di Sungai Penuh. Bersamanya ada Lukman Amran, Akmal Abbas, Atmam Zainuddin, dan Jalaluddin Azhari.
Generasi berikutnya yang masuk SMP di Sungai Penuh adalah Fauzi Sulaiman, Fahmi Abbas, Kasman Zainuddin, Bustami Ilyas, Daruktoni, Asma, dan Induk Harada. Selanjutnya pada 1957 menyusul generasi Mirza Yahya bersama Sauh, Hamdan, Safrida, dan Wirdah. Mereka sekolah di SMP-1, SMP Muhammadiyah, SMP Islam, dan SMP Putra Bakti. Sungai Penuh. Beberapa anak muda lainnya yaitu Mansur, Hisab, Ratna, Rifai, dan Taniy melanjutkan pendidikan ke sekolah agama di Tanjung Pauh.
Melanjutkan Pendidikan ke Luar Kerinci
Sebagian remaja dusunku menyelesaikan SMP di luar Kerinci. Akmal Abbas dan Anis melanjutkan kelas 3 mereka di SMP Muhammadiyah Padang pada 1953. Teman Akmal lainnya Zainuddin Latif lanjut ke SMP Muhammadiyah Bukittingg. Sementara itu beberapa orang melanjutkan sekolah di Padang Panjang yaitu Jalaluddin, Mat Rusdi, Zakiah, dan Munir Yunus.
Beberapa anak muda Pulau Sangkar menyeberang ke Pulau Jawa. Mereka sekolah di Jakarta, Jogja, dan Solo. Bustami Ilyas setelah putus SMP di Sungai Penuh karena meletusnya PRRI pada 1959 melanjutkan SMP-nya di Jakarta. Sebelumnya, Ibnu Hajar dan Tabrani Daud adalah dua remaja kecil yang menyelesaikan SMP di Jogja. Sekolah di Jawa rupanya tidak asing lagi bagi anak-anak muda Pulau Sangkar pada era 1950-an ini.
Mereka yang tidak ke luar melanjutkan sekolah di Pulau Sangkar. Ada dua madrasah setingkat SMP disini, satu milik Perti dan satu lagi milik Muhammadiyah. Madrasah milik Muhammadiyah diberi nama SMPI. Sekolah ini merupakan pengganti madrasah Irsyaadunnas milik Muhammadiyah sebelumnya terbakar. Sekolah ini berlangsung sore hari dan berlokasi di bawah rumah Yahya Latif.
Madrasah ini diselenggarakan oleh anak-anak muda lulusan sekolah yang lebih tinggi sebelumnya. Mereka yang tamat sekolah atau mereka yang sedang libur sekolah dan pulang kampung ikut mengajar. Mereka antara lain alumni Jogja dan generasi yang lebih tua alumni Padang Panjang. Ha binti Azhari, misalnya, menamatkan SD di Pulau Sangkar pada 1953. Setamat SD beliau langsung masuk madrasah ini untuk belajar antara lain Bahasa Inggris, aljabar, akhlak, dan tauhid.
Setamat SMP pada 1950-an ini anak muda Pulau Sangkar melanjutkan pendidikan ke berbagai penjuru. Pada pada masa ini di Sungai Penuh sebagai ibukota kabupaten Kerinci belum ada sekolah lanjutan tingkat atas. Maka sebagian mereka melanjutkan sekolah di Padang dan di Pulau Jawa. Ramli Nawawi menamatkan sekolah di SMEA di Gowongan Jogja. Lukman Amran sekolah di SMEA di Jakarta dan tinggal di Manggarai Selatan. Bustami Ilyas yang sempat masuk SMP di Sungai Penuh menyelesaikan SMP-nya dan melanjutkan SMA di Jakarta pada 1961. Ketika naik kelas dua bersama Hamdani Hamid sahabat karibnya yang orang Lempur Bustami bertualang ke Solo. Mereka melanjutkan sekolah di SMA Warga jalan Monginsidi.
Setahun di Solo, ketika naik kelas tiga mereka kembali ke Kerinci. Kepada penulis Bustami menjelaskan alasan kepindahannya, ”Kami ingin menyelesaikan SMA yang lebih mudah di Kerinci…” (bersambung)
Editor: Nabhan