Perspektif

Keseimbangan Harga dalam Perspektif Islam

3 Mins read

Didalam hukum pasar, konsep keseimbangan harga akan terjadi pada titik ekuilibrium. Pada titik ini tarjadi perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Kurva permintaan menggambarkan kuantitas barang yang diminta oleh konsumen pada tingkat harga tertentu. Begitupun dengan kurva penawaran, menggambarkan kuantitas barang yang ditawarkan oleh produsen pada tingkat harga tertentu.

Pada titik ekuilibrium itulah konsumen dan produsen bersepakat dengan jumlah kuantitas yang dibeli dengan harga yang harus dibayar.

Keseimbangan Harga dalam Islam

Inilah yang kemudian menjadi konsep mekanisme pasar dalam Islam terkait penentuan harga. Bahwa harga akan terbentuk dengan sendirinya, sesusai dengan hukum pasar yang berlaku. Hal tersebut senada dengan sabda Rasulullah:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ

Sesungguhnya Allah-lah zat yang menetapkan harga, yang menahan, yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta.”  (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

Dalil di atas menunjukkan bahwa penentuan harga dalam pasar merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Pasar merupakan wadah bersama dalam melakukan muamalah transaksi jual beli. Oleh sebab itu, merupakan suatu kezaliman bagi siapa saja yang memonopoli harga pasar dengan cara dan alasan yang tidak dibenarkan.

Namun demikian, Islam masih memberikan peluang intervensi harga pada kondisi darurat. Intervensi ini boleh dilakukan jika terdapat produsen yang melakukan monopoli dalam mememainkan harga, yang merupakan bentuk kecurangan dan bagian dari kezaliman. Hal inilah yang kemudian yang menjadi identitas Islam, bahwa harga akan terbentuk dengan sendirinya. Konsep ini berada ditengah-tengah, yakni antara kapitalis yang memberikan kebebasan dan sosialis yang mengintervensi dengan cara megeneralkan.

Baca Juga  Mohammad Hatta: Menggabungkan Sosialisme dan Islam

Keadilan Ekonomi

Hal ini selaras dengan prinsip keadilan dan merupakan bagian dari nilai moral yang sangat ditekankan dalam Islam. Dibanyak ayat, Al-Qur’an banyak berbicara mengenai gagasan keadilan. Tak terkecuali salah satu dari Asma’ Allah adalah al-‘Adl (Maha Adil) yang menggambarkan sedemikian pentingnya menegakkan keadilan.

Dalam konteks ekonomi, Al-Qur’an menyebut kekayaan sebagai suatu objek dari kegiatan ekonomi. Harta sebagai modal (faktor produksi) wajib dikembangkan. Karena itu, Allah memerintahkan agar harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, sebagaimana dalam firman-Nya:

كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ

“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS Al-Hasyr: 7).

Jika diibaratkan, kekayaan itu seperti air, yang jika mengalir mampu menghidupi ekosistem, dan menghasilkan manfaat bagi bumi dan seisinya. Termasuk keseimbangan harga atau keadilan. Sebaliknya, air yang tesendat, mandek, dan berhenti akan menyebabkan air menjadi keruh dan bau, bahkan menjadi sarang nyamuk. Begitupun dengan harta dan kekayaan, dia akan bermanfaat jika mampu menghidupi banyak ruang melalui peredaran secara adil. Distribusi kekayaan yang adil menggambarkan kepatuhan pada nilai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan sosial.

Ihtikar

Berkaitan dengan hal ini, hari ini kita dihadapkan pada persoalan kenaikan harga yang cukup melonjak. Logika ekonomi menggambarkan, bahwa ketika barang langka, maka akan menyebabkan harga barang naik. Semakin banyak yang membeli, maka stok yang tersedia semakin berkurang dan berdampak pada kelangkaan barang yang menyebabkan harga naik.

Secara alamiah, kenaikan harga adalah suatu kewajaran. Tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah ketika kelangkaan barang dimanfaatkan oleh oknum dalam memainkan harga. Dalam syariat Islam biasa disebut dengan ihtikar (penimbunan).

Baca Juga  Moderasi Hilirisasi Haji

Ihtikar merupakan tindakan seseorang menimbun barang atau jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan berakibat pada melonjaknya harga pasar secara drastis, karena persediaan terbatas dan stok yang menipis dipasar. Sehingga, keseimbangan harga pun menjadi tidak terkontrol. Hal ini merupakan bentuk kezaliman, yang secara tegas dilarang oleh Allah sebagaimana dalam hadis Rasulullah berikut:

لا يحتكر إلا خاطئ

Tidaklah seorang menimbun kecuali ia berdosa”. (HR. Muslim).

Ulama berbeda pendapat terkait objek ihtikar yang dilarang. Namun, Ulama bersepakat tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap kebutuhan pokok. Dalam konteks hari ini, masker, APD (Alat Pelindung Diri), Hand Sanitizer merupakan bagian dari kebutuhan khalayak umum.

Kesepakatan ini sangat rasional, sebab kebutuhan pokok adalah hajat hidup orang banyak dan merupakan bagian dari maqashid asy-syariah. Maka, barang-barang tersebut yang dikontekstualisasikan sebagai kebutuhan pokok hari ini haram hukumnya dalam melakukan penimbunan.

Hikmah yang kemudian dapat kita petik dari syariat ini, yakni penimbunan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah suatu bentuk kezaliman. Sifat tamak yang kemudian berdampak pada kesulitan orang lain adalah hal yang harus dihindari. Sebab, syariat bertujuan memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi khalayak umum dan menutup rapat pintu mudharat.

Dalam keadaan seperti ini, negara harus mengintervensi dan menutup ruang penimbunan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat. Disisi lain, pemerintah perlu memotong alur distribusi agar barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak tidak mengalami lonjakan harga. Islam sangat menghormati usaha seseorang dan kepemilikan pribadi. Tetapi di sisi lain, Islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk mengintervensi bagi siapa saja yang bermain harga.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Baca Juga  Dialog dengan Semesta: Hikmah Corona untuk Manusia
Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN SUKA. Kader IMM DIY.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds