Fikih

Maqashid Syariah itu Penting dalam Ekonomi Syariah

4 Mins read

Salah satu tema yang menarik untuk dikaji dalam kajian hukum Islam adalah konsep maqashid syariah, yakni tujuan penetapan suatu hukum didalam agama Islam. Tujuan utama dalam aplikasi maqashid syariah adalah untuk menghindarkan dari keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Maka bisa dipastikan bahwa dengan maqashid syariah tatanan hidup dalam beragama, berbangsa dan bernegara akan bermuara kepada kemaslahatan bagi semua pihak yang terlibat (Shidiq, 1970).

Maqashid syariah merupakan tren baru dalam kajian Ushul Fiqh yang mengalami perkembangan pada era kontemporer. Namun meski begitu, benih-benih maqashid syariah sebenarnya telah muncul secara implisit pada beberapa literatur klasik seperti dalam kitab Al Mustashfa karya Al Ghazali dan Qawa’idul Ahkam karya Al Izz Bin Abd. Salam (Nizar, 2016).

Apa itu Maqashid syariah?

Maqashid syariah (مقاصد الشريعة ) terdiri dari dua kata, yaitu maqashid (مقاصد ) dan syariah (الشريعة ). Kata maqashid (مقاصد ) adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid (مقصِد ) dan maqshad (مقصَد ), keduanya berupa mashdar mimi (مصدر ميمي ) yang punya bentuk fi’il madhi qashada (قصد ).

Sedangkan, kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus bahasa Arab bermakna ad-din (الدين ), al-millah (الملة ), al-minhaj (المنهاج ), at-thariqah (الطريقة ), dan as-sunnah (السنة ) (Syarwat, 2019).

Maka secara bahasa, maqashid syariah adalah tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat (Wibowo, 2011).

Secara etimologi, Maqashid artinya kesengajaan atau tujuan, Maqashid berarti hal-hal yang    dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan, syari’ah berarti sejumlah hukum amaliyyah yang  dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi akidah maupun legislasi hukumnya. Penggabungan dua kata tersebut adalah maqashid syariah, secara garis besar bermakna tujuan-tujuan syariat Islam (Nizar, 2016).

Maqashid syariah sebagai sebuah ilmu dari ilmu-ilmu keislaman telah banyak disinggung oleh ulama-ulama klasik, tiga di antaranya adalah Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Asy-Syatibi.

Namun, ketiganya tidak secara khusus memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap istilah tersebut. Al-Ghazali misalnya, di dalam Al-Mustashfa seperti yang dikutip oleh Syarwat (2019) hanya menyebutkan ada lima maqashid syariah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Baca Juga  Qurban dan Aqiqah Digabung Satu Niat, Apakah Boleh?

Tujuan Maqashid syariah

Tujuan maqashid syariah adalah terjaminnya kemaslahatan bagi semua pihak yang terlibat dalam penetapan hukum, terutama umat Islam. Aspek kemaslahatan ini melindungi 3 hal, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.

Adh-dharuriyat dapat diartikan sebagai kebutuhan primer dalam rangka mempertahankan lima prinsip maqashid syariah. Artinya, manakala hal ini rusak, maka stabilitas masyarakat akan kacau di dunia ini dan akan merugi di akhirat nanti.

Berkaitan dengan aspek dharuriyat, terdapat lima prinsip maqashid syariah, yang dikenal al-kulliyat al-khams ( الكلياتالخمس ),yaitu: 1) Memelihara agama (hifzh ad-din), 2) Memeliharajiwa (hifzh an-nafs), 3) Memeliharaakal (hifzh al-’aql), 4) Memeliharaketurunan (hifzh an-nasl), dan 5) Memeliharaharta (hifzh al-mal).

Hajiyat, yaitu kebutuhan umat untuk memenuhi kemaslahatannya dan menjaga tatanan hidupnya, hanya saja manakala tidak terpenuhi tidak sampai mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada.

Sebagian besar, hal ini banyak terdapat pada bab mubah dalam muamalah termasuk dalam tingkatan ini (Syarwat, 2019). Secara sederhana, hajiyat adalah tingkat kemaslahatan yang sifatnya pelengkap yang dharuriyat.

Ini dibutuhkan untuk menghindari kesulitan dan kesusahan (raf’u al-masyaqqah wa al-haraj) bagi kehidupan manusia. Tetapi, ada atau tidak terwujudnya kebutuhan ini, tidak merusak tatanan kehidupan normal (Ibrahim, 2019).

Oleh karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kebutuhan hajiyat ini kehadirannya sangat dibutuhkan (Sya’bani, 2015).

Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi   salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan (Suganda, 2020).

Tahsiniyat dalam bahasa ekonomi, merupakan suatu kebutuhan mewah atau kepentingan yang terkait dengan upaya mewujudkan hal yang terbaik, dan dalam bahasa etika adalah menampilkan suatu kemuliaan atau kehormatan, yang berpegang kepada akhlak mulia dan sikap prilaku yang baik (at-tamassuk bi makârim al-akhlâq wa mahâsin al-‘âdât) (Ibrahim, 2019).

Baca Juga  Sayyid Sabiq: Mengenal Enam Ragam HAM dalam Islam

Menurut al-Syatibi sebagaimana yang dikutip oleh Sya’bani (2015) pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindari hal-hal yang tidak enak dipandang menurut kepatutan dan sesuai dengan tuntutan norma sosial dan akhlak.

Fungsi dan Urgensi Maaqashid Syariah

Lembaga fikih OKI sebagaimana yang dikutif oleh Sahroni dan Karim (2015) menegaskan bahwa setiap fatwa harus menghadirkan maqashid syariah karena memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Dapat memahami nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadis beserta hukumnya secara komprehensif.
  2. Dapat men-tarjih salah satu pendapat fuqaha berdasarkan maqashid syariah sebagai salah satu standar (murajjihat).
  3. Memahami ma’alat (pertimbangan jangka panjang) kegiatan dan kebijakan manusia dan mengaitkannya dengan ketentuan hukumnya.

Tiga poin tersebut menunjukkan bahwa mengaitkan status hukum dengan maqashid syariah  sangat penting agar produk-produk hukum tidak bertentangan dengan maslahat dan hajat manusia (Sahroni dan Karim, 2015).

Pemahaman dasar maqashid syariah semakin penting mengingat bahwa hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan tempat, zaman, dan keadaan.

Secara implisit, al-Ghazali mengungkapkan bahwa setiap hukum syariat pasti memiliki esensi pembentukannya yakni mewujudkan kebaikan universal bagi manusia dan tidak mungkin menjerumuskan manusia ke dalam lubang kehancuran.

Urgensi kaidah-kaidah maqashid ini adalah untuk mengetahui dan memahami tujuan-tujuan universal hukum syara’, hikmah-hikmah, dan maslahat-maslahat yang terdapat dalam hukum-hukum syara’.

Selain itu, dengan kaidah-kaidah maqashid ini, seorang mujtahid atau ahli hukum Islam akan lebih mudah dan lebih leluasa dalam mengambil kebijakan dalam menetapkan hukum-hukum yang sesuai dengan situasi kontekstual masyarakat yang selalu berkembang secara dinamis.

Tidak hanya itu, dengan kaidah-kaidah maqashid ini, seorang mujtahid atau ahli hukum Islam kontemporer dapat memperlihatkan identitas dan dapat memainkan perannya dalam pengembangan peradaban dunia kontemporer (Ibrahim, 2019).

Peranan Maqashid syariah Dalam Ekonomi Syariah

Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah semata tidak dapat berlepas dari aspek-aspek yang dibangun dan kesesuainnya dengan ilmu Ushul Fiqh, salah satunya adalah maqashid syariah.

Ilmu ini tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal, public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah (Andiko, dkk, 2018).

Baca Juga  Usul Fikih sebagai Landasan Berpikir

Penerapan maqashid syariah dalam ekonomi syariah merupakan penjabaran dari tujuan besarnya yaitu hifdzul mal (menjaga dan memenuhi hajat dan maslahat harta) yang meliputi bagaimana cara mendapatkannya (min janibi al-wujud) dan memelihara harta yang sudah dimiliki (min janibi al-‘adam) (Sahroni dan Karim, 2019).

Maqashid syariah memandu sistem ekonomi dan keuangan Islam agar mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan dan tercapainya kemaslahatan, hal ini dapat dijelaskan pada beberapa aspek berikut ini (Ishak, 2016):

  1. Aplikasi klasifikasi maqasid (daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat) sebagai panduan dalam membuat keputusan terkait kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Hal ini melibatkan pelaku ekonomi dan lembaga keuangan Islam perlu mengevaluasi kegiatan-kegiatan mereka dan mengutamakan kegiatan yang memenuhi kebutuhan daruriyat masyarakat terlebih dahulu, sebelum aspek hajiyat dan tahsiniyat.
  2. Menimbang maslahah dan dharar dalam kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Hal ini akan menuntut para pelaku ekonomi dan lembaga keuangan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap dampak kegiatan yang ingin dilakukan.
  3. Sosialisasi dan mengaplikasikan konsep kewirausahaan sosial (social entreprenueship) yang sejalan dengan Syariah. Konsep ini perlu didorong karena ini mendorong semua individu untuk terlibat memecahkan masalah dan menghasilkan kegiatan yang dapat meningkatkan sosio ekonomi masyarakat. Ini menyebabkan eksplorasi ide, perencanaan atau aktivitas baru yang luar biasa untuk membantu masyarakat.
  4. Renovasi praktik corporate governance agar sejalan dengan panduan Islam. Hal ini adalah karena para agen ekonomi dan manajer lembaga keuangan Islam perlu bertindak berdasarkan panduan Syariah untuk menjamin dan potensi lembaga terkait dapat dioptimalkan untuk membawa ke pencapaian maqasid Syariah.

Editor: Yahya FR

Eris Munandar
14 posts

About author
Dosen / Ketua LPPM STEI Ar-Risalah Ciamis
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *