Perspektif

Kesejahteraan Pendidikan Dimulai dari Anggaran

4 Mins read
Oleh: Ulul Azmi Syafira*

Belum lama ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan sebab viralnya lem aibon dalam list Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2020. Berita itu menjadi headline di beberapa kanal berita online maupun cetak, termasuk di majalah Tempo.

Unik untuk ditelusuri, wadah yang ‘digembungkan’ ternyata lewat komponen pendidikan. Hemat penulis, komponen ini sering menjadi kambing hitam penggelembungan dana, termasuk yang kita bahas saat ini. Sebelumnya, pusat maupun daerah sebenarnya punya kewajiban untuk selalu menyalurkan sebagian pendapatannya untuk pendidikan. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, setiap tahunnya APBN dan APBD harus menyalurkan 20% dari APBN dan APBD untuk dana pendidikan.

Anggaran dan Standar Pendidikan

Makna anggaran dan dana pendidikan yang dikutip dari Ringkasan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 24/PUU/2007 tentang Sisdiknas, menjelaskan bahwa, “Istilah anggaran pendidikan dan dana pendidikan merupakan dua istilah yang berbeda baik dari sisi substansi yang terkandung di dalamnya, maupun dari sisi etimologi. Anggaran (budget atau begroting) merupakan istilah yang diterima umum dan mempunyai pengertian baku, yakni rencana pendapatan dan belanja negara/daerah dalam kurun waktu satu tahun dalam bentuk pendapatan dan belanja serta pembiayaan berupa setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali. Sedangkan dana diartikan sebagai akibat realisasi dari anggaran, sehingga dana tidak mungkin dikeluarkan sebelum dianggarkan terlebih dahulu dalam APBN/APBD” (Ditjen PP Kemenkumham, 2007).

Singkatnya, biaya dalam pendidikan sangatlah penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebab penentuan biaya itu akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan. Juga, untuk mencapai sasaran dari berbagai kegiatan di bidang pendidikan. Baik yang diselenggarakan sekolah maupun di luar sekolah sangat bergantung pada pembiayaan atau pengalokasian anggaran guna membiayai kegiatan tersebut (Fuad, 2014).

Pedoman kegiatan pada lingkup-lingkup sekolah didasari oleh tujuan pendidikan nasional—mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan suatu sistem pendidikan yang didasari oleh indikator-indikator sistem pendidikan. Sebutlah itu sebagai standar pendidikan nasional.

Baca Juga  Bahaya, Politisasi Identitas Bisa Cederai Paradigma Tauhid!

Indonesia meyakini ada delapan standar nasional pendidikan yang menjadi standar minimal dalam satuan pendidikan. Standar ini menjadi pedoman untuk berjalannya sistem pendidikan secara nasional. Keseluruhan standar nasional pendidikan yang meliputi 1) standar kompetensi lulusan, 2) standar isi, 3) standar proses, 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pengelolaan, 7) standar pembiayaan pendidikan, dan 8) standar penilaian pendidikan. Tentu didukung oleh anggaran pendidikan yang ditentukan setiap tahunnya.

Pemenuhan kebutuhan untuk standar-standar tersebut berbanding lurus dengan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan, namun tidak bersifat mutlak. Karena jika dengan biaya yang relatif lebih rendah tetapi mampu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, maka hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan secara efektif dan efisien (Fuad, 2014).

Biaya dalam Pendidikan

Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya yang dapat mengabaikan peranan biaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan di sekolah tidak berjalan.

Biaya (costs) dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis penyelenggaraan yang berkenaan dengan semua jenis penyelenggaraan pendidikan. Baik dalam bentuk uang, barang, maupun tenaga yang dapat diuangkan. Dalam pengertian ini misalnya, iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, pun semua sarana fisik baik sekolah maupun guru juga disebut biaya (Supriadi, 2003).

Theodore Schuktz berpendapat bahwa pendidikan itu diperhitungkan sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang baik secara sosial maupun ekonomis. Menurutnya, nilai pendidikan berupa aset moral dalam bentuk kemampuan, kecakapan, dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan sebagai bentuk investasi (Schuktz, 1961).

Kaitannya dengan biaya, Theodore mengatakan bahwa besaran nilai biaya yang dipergunakan untuk pendidikan dipandang sebagai investasi. Pun demikian diperlukan perhitungan nilai manfaat dalam pengalokasian biaya untuk pendidikan tersebut. Selain itu, biaya dianggap menjadi hal yang vital sebab indikator yang berpengaruh pada mutu pendidikan salah satunya ialah ketersediaan alat-alat bantu proses belajar (Suryadi, 2001).

Baca Juga  Reynhard Sinaga, Tubuh Tanpa Ruh

Titik Temu Anggaran dan Sejahtera

Syahril Ilhami dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan linear positif antara persentase kenaikan Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah dengan persentase kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Ilhami, 2014). Artinya, semakin besar persentase kenaikan anggaran pendidikan, semakin tinggi persentase kenaikan IPM.

Menurut penemuannya, anggaran pendidikan per kapita usia sekolah (7-18 tahun) berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap IPM suatu daerah. Pengaruh terbesar anggaran pendidikan terhadap IPM terjadi pada 2 (dua) tahun setelah tahun anggaran (lag 2 tahun). Artinya, pengaruh anggaran pendidikan terhadap IPM akan dirasakan pengaruhnya 2 (dua) tahun kemudian.

Indeks Pembangunan Manusia menjadi suatu ukuran universal untuk melihat kondisi sumber daya manusia pada suatu negara. Indikator untuk mengukur IPM terkait pada tiga variabel, yakni, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Pada masing-masing variabel tersebut, ada beberapa indikator yang mempengaruhi masing-masing variabel. Untuk variabel pendidikan sendiri, dipengaruhi oleh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf (sekarang disebut angka harapan lama sekolah).

Kedua variabel ini menghitung angka partisipasi kasar dan murni di dalam sekolah formal suatu daerah. Selain itu berkaitan pula dengan tingkat keberpengaruhan kuantitas anggaran pendidikan di suatu daerah—yang diukur dari ketersediaan sarana dan prasarana serta akses menuju sekolah. Variabel IPM secara universal dan objektif dapat menjadi ‘penggaris’ dalam menanggapi fenomena kesejahteraan. Di mana di dalamnya terdapat kesejahteraan pendidikan, kesejahteraan kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Kesejahteraan Pendidikan Dikesampingkan

Akan tetapi, penelitian oleh Al Asy Ari Adnan Hakim sebaliknya mengatakan, bahwa persentase anggaran pendidikan tidak secara multiplier menyebabkan perubahan signifikan terhadap angka IPM negara disebabkan oleh sistem pendidikan yang buruk, ketidakefektifan alokasi anggaran untuk peningkatan IPM, dan tingkat korupsi tinggi (Hakim, 2014).

Baca Juga  Pandemi saat Ramadhan: Sindiran Allah Kepada Hambanya

Dari sini sebetulnya, anggaran pendidikan harus dibersamai dengan tingkat keterserapan dana yang baik pula. Akan sangat percuma bila nominal anggaran dan persentase anggaran semakin tahun dapat meningkat menyesuaikan amanat undang-undang, namun porsi anggaran untuk ‘kesejahteraan’ pendidikan sendiri masih dikesampingkan.

Kesejahteraan pendidikan ialah tentang kualitas guru dan ketersediaan sumber dan alat-alat yang membantu proses belajar (Suryadi, 2001). Bicara soal kesejahteraan guru, bila kita melihat postur anggaran untuk pendidikan di tahun 2019, sekitar 62,62% dari total 20% anggaran disalurkan untuk membayar gaji guru (melalui transfer daerah; pun transfer daerah juga perihal revitalisasi SMK).

Selebihnya, dibagi kepada kementerian-kementerian yang terkait proses pendidikan, sementara untuk Kemendikbud sendiri sekitar 7,31%. Menjadi dilematis bila melihat bahwa ada dua hal yang harus dititikberatkan, namun pada nyatanya, keduanya malah tak bersinergis. Postur anggaran tersebut seakan memparsialkan kebutuhan-kebutuhan primer di balik kebutuhan tersier. Misal, kebutuhan sarana dan prasarana dilimpahkan kepada KemenPUPR, akan tetapi kementerian terkait hanya bertanggungjawab perihal sekolah rusak. Lantas, kebutuhan sarpras jika tak rusak dialihkan ke mana?

***

Perihal anggaran, sekali lagi, ini bukan tentang ketidakmampuan negara memonitoring alur pembiayaannya. Ini juga tentang local government yang apatis. Melihat Neraca Pendidikan Daerah saja kita bisa menyimpulkan, bahwa mayoritas pemerintah daerah masih tidak disiplin perihal memaksimalkan anggaran pendidikan untuk kebutuhan sarana pun untuk kesejahteraan guru.

Karena bila dilihat di dalam postur anggaran, pemerintah daerah masih candu dengan pemerintah pusat untuk menyiasati pemenuhan kebutuhan pendidikan. Seperti dalam sebuah penelitian singkat oleh Luhur Bima, bahwa more prosperous teacher have no impact on the quality of education (Luhur Bima, 2018).

*) Aktivis PK IMM Ahmad Badawi dan Staff BEM KM Universitas Negeri Yogyakarta.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds