Perspektif

Otoritarianisme: Awal Mula Terjadinya Arab Spring di Tunisia dan Libya

3 Mins read

Memasuki dekade kedua abad ke-21, kawasan Timur Tengah ditandai dengan geliat gerakan rakyat menggugat berbagai kepemimpinan nasional mereka. Peristiwa itu dikenal sebagai Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring/ ath-Thawrât al-‘Arabiyyah) meski tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab. Yang terjadi adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Para pengunjuk rasa di dunia Arab mendengungkan slogan Ash-sha‘b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin menumbangkan rezim ini) (Jatmika 2013, 161).

Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Aljazair, Mesir, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini (Jatmika 2013, 161). Namun pada kali ini lebih khusus pada wilayah Ifrikiyyah seperti: Tunisia dan Libya.

Arab Spring di Tunisia

Musim semi bagi demokratisasi di Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring berawal di Tunisia pada Desember 2010. Pergolakan politik di Tunisia dilatarbelakangi oleh aksi bakar diri seorang pedagang buah, Mohamed Bouazizi sebagai aksi protes terhadap sikap represif dan ketidakadilan rezim Zainal Abidin Ben Ali. Siapapun tidak akan menyangka bahwa aksi tersebut memicu terjadinya gerakan protes serupa di negara-negara lainnya di Timur Tengah. Tekanan sosial, politik dan ekonomi yang dirasakan rakyat Tunisia selama tiga dekade lebih telah mendorong lahirnya “Revolusi Jasmine atau revolusi melati”.

Tunisia merupakan negara sekuler dipimpin oleh rezim otoriter melalui kebijakan yang melarang berdirinya partai oposisi dan gerakan Islam dengan dasar pemisahan agama dan politik. Pada masa pemerintahan Ben Ali, para aktivis kerap mendapat tekanan dari tentara rezim, bahkan sebagian diantaranya diasingkan seperti Rasyid Al-Gannushi, salah seorang pemimpin terkemuka partai An-Nahdhah. Sementara pada sektor ekonomi, meskipun selama satu dekade dapat meningkat, tetapi kesenjangan sosial menjadi pemandangan umum di Tunisia, bahkan angka pengangguran di tahun 2011 semakin meningkat.

Baca Juga  Virus, Demit, dan Musyrik

Ketidakstabilan sistem ekonomi di Tunisia tidak lepas dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang pejabat dan keluarga rezim. Puncak dari ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi di Tunisia terjadi pada akhir tahun 2010 ketika terjadi gerakan protes yang menuntut mundurnya rezim Ben Ali dari kursi kekuasaannya. Pada 14 Januari 2011, Ben Ali semakin kehilangan dukungan dari pejabat, rakyat dan militer sehingga mendorongnya untuk mengasingkan diri ke Saudi Arabia. Pengasingan tersebut menandai berakhirnya kekuasaan Ben Ali yang telah memerintah selama 23 tahun.

***

Pasca mundurnya Ben Ali, Tunisia memasuki babak baru dalam dinamika politik. Pemerintah transisi membentuk Dewan Transisi untuk menyusun regulasi penyelenggaraan Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu tersebut merupakan langkah awal dalam demokratisasi Tunisia. Hal tersebut dikarenakan banyak dari civil society dan perwakilan partai yang turut serta dalam Pemilu. Pada era transisi, Ben Achour Commission, suatu badan pembentuk konsensus di Tunisia dibentuk. Komisi ini bertujuan untuk membangun konsolidasi demokrasi serta menyusun konstitusi Pemilu. Pada Oktober 2012, diselenggarakan Pemilu legislatif untuk memilih 217 anggota parlemen yang bertugas membentuk konstitusi dan pemerintahan baru.

Hasil akhir Pemilu menunjukkan partai An-Nahdhah memperoleh 89 kursi diikuti oleh Congress for the Republic (CPR) dengan 29 kursi. Di parlemen, partai pemenang Pemilu, An-Nahdhah berkoalisi dengan partai CPR dan Ettakatol. Beberapa petinggi partai koalisi berhasil menempati posisi penting dalam pemerintahan. Hamadi Jebali dari partai An-Nahdhah menjadi Perdana Menteri, Moncef Marzouki pemimpin CPR menjadi presiden dan Mustapha Ben Jafar sebagai Ketua Badan Legislatif. Pasca Pemilu, Majelis Konstituante Nasional mulai menyusun draf konstitusi, dimana salah satu poin yang diusulkan adalah pemberlakuan syariat Islam di Tunisia. Perjuangan An-Nahdhah dalam mengusung syariat Islam mengisyaratkan bahwa konsep yang diusung An-Nahdhah tidak jauh berbeda dengan Justice and Development Party (AKP) di Turki.

Baca Juga  Apakah Semua Lafadz dalam Al-Qur’an itu Berbahasa Arab?

Arab Spring di Libya

Arab Spring juga terjadi pada negara tetangga Tunisia, yakni Libya. Memang sebelum Revolusi Arab Spring Gaddafi (pemimpin Libya) sudah mendapat tantangan dari pihak oposisinya. Gaddafi tidak disukai oleh kelompok Islam dan juga tidak disukai kalangan oposisi lainnya dikarenakan sifat pemerintahannya yang otoriter. Gaddafi tidak takut “memusnahkan” partai politik yang menentangnya. Bahkan sekelompok angkatan bersenjata Libya menentang Gaddafi, dan melakukan pemberontakan pada dekade 1980an dan tahun 1993, namun dapat dikalahkan. Pada tahun 1981, kelompok monarki membentuk Persatuan Konstitusi Libya di tahun 1981. Sedangkan Front Nasional Untuk Pembebasan Libya didirikan pada tahun 1981 untuk menyatukan kelompok nasionalis dan politik Islam, untuk membentuk satu barisan melawan Gaddafi.

Kemudian untuk pemberontakan yang dilakukan oleh warga Libya pada tahun 2011, tidak lepas dari peran para pemuka suku. Kelompok pro dan anti Gaddafi dapat diindentifikasi menurut afiliasi kesukuan. Tentu yang memihak Gaddafi adalah suku Gaddafi sendiri, dan sebagian dari suku Margahira. Sedangkan dari kelompok anti-Gaddafi terdapat suku Warfala, Tahuna, Zawiya, Zentan, Bani Walid dan Obeidat. Para anggota suku ini merasa bahwa Gaddafi tidak dapat lagi dijadikan pemimpin, terutama dengan gaya kediktatorannya yang membuatnya dibenci oleh warga Libya.

***

Setelah berbagai perang melawan para pemberontak, Gaddafi pada akhirnya kalah dan ditemukan tewas ditangan militer-sipil, sehingga demikian rezim otoriter Gaddadi sudah tamat di Libya. Setelah itu, Libya mengadakan Pemilu parlemen 2012, partai National Forces Alliance (NFA) berhasil memperoleh suara mayoritas dengan 39 kursi mengungguli partai Islam seperti JDP yang memperoleh 17 kursi, sedangkan partai Al-Wathan yang didukung Salafi hanya memperoleh 3,45 persen suara. Pasca Pemilu 2012, GNC terbentuk di bawah pimpinan Mohammed Al-Magharif.

Baca Juga  Khilafah Adalah Solusi Masalah di Timur Tengah, Benarkah?

Kemudian pada tanggal 12 September 2013, GNC menyelenggarakan pemilihan Perdana Menteri. Mustafa Abu Shagur yang merupakan calon kuat dari koalisi partai Islam berhasil memperoleh 96 suara mengungguli kandidat dari NFA yang memperoleh 94 suara. Namun, pada Oktober 2012, Abu Shagur mengundurkan diri setelah mendapat mosi tidak percaya dari mayoritas anggota Parlemen dan digantikan Ali Zaidan. Pengangkatan Ali Zaidan sebagai Perdana Menteri membawa harapan baru bagi demokratisasi di Libya ditengah konflik akut yang melanda Libya pasca rezim Gaddafi. Dengan demikian sudah jelas, selama beberapa tahun politik Islam dan Demokrasi tidak terselenggara sepenuhnya di Libya masa pemerintahan Muammar Gaddafi yang otoriter dan tidak memberikan kebebasan terhadap rakyatnya dalam berpendapat.

Editor: Soleh

Johan Septian Putra
31 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *