Perspektif

Refleksi Hari Proklamasi: Kesadaran Berkonstitusi itu Penting!

6 Mins read

Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan Hari Konstitusi 18 Agustus tahun 1945 merupakan hari bersejarah yang menentukan perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Selain itu patut dikenang tanggal 17 Agustus 1950 sebagai proklamasi Indonesia kembali menjadi negara kesatuan setelah mosi integral Mohammad Natsir di parlemen membuka jalan pulihnya NKRI. Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak saat itu resmi bubar dengan cara terhormat dan demokratis.

Keragaman etnik, suku, agama, sumber daya alam dan letak geografis antar wilayah harus dikelola dalam perspektif Wawasan Nusantara. Persamaan nasib sebagai bekas bangsa terjajah mungkin sudah tidak melekat dalam memori kolektif generasi muda Indonesia. Faktor pengikat persatuan bangsa dan wilayah Tanah Air Indonesia yang aktual ialah trilogi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, serta rahmat Allah Yang Maha Kuasa yang melindungi negeri ini. Karena rahmat-Nya, perbedaan dan kebhinekaan menjadi kekuatan persatuan.

Indonesia Negara Berketuhanan

Negara Republik Indonesia berdiri sebagai negara berketuhanan atau disebut negara yang agamais. Mengutip pendapat Prof. Dr. H.M. Tahir Azhary, SH, bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara kebangsaan yang berketuhanan atau religious nation state. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat dasar negara Pancasila yang berasal dari ide brilian Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 di depan rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Menurut Bung Hatta dalam buku Pengertian Pancasila (1981), uraian Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tentang lima sila yang bersifat kompromistis pada waktu itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.

Para bapak bangsa ketika menyusun naskah Undang-Undang Dasar menggariskan pokok-pokok pikiran bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme atau kekuasaan yang tidak terbatas. Sistem demokrasi dan asas kedaulatan rakyat diselaraskan dengan nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam.

***

Indonesia dibentuk bukan sebagai negara monarki atau kerajaan, melainkan Negara Kesatuan berbentuk Republik. Para founding fathers yang mayoritas keluaran pendidikan kolonial, Eropa atau Belanda, menyusun konstitusi Undang-Undang Dasar yang relevan dengan susunan dan kondisi masyarakat Indonesia. Konstitusi negara kita tidak menyalin sistem negara kolonial dan tidak menghidupkan sistem feodalisme negara kerajaan Majapahit atau Sriwijaya dan kerajaan lainnya di Nusantara.

Prinsip negara integralistik yang meniadakan hak-hak politik warga negara sempat diusulkan oleh Prof. Mr. Soepomo, namun tidak disepakati dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagian besar anggota PPKI menginginkan negara Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat. Para pendiri bangsa menyepakati negara unitaris (negara kesatuan) dan menolak negara federalis dan negara monarki dengan pemerintahan secara turun-temurun.

Baca Juga  WR. Soepratman Jemaat Ahmadiyah: Investasi Ahmadiyah di Era Kemerdekaan

Sewaktu memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan, seperti diutarakan oleh pejuang kemerdekaan dan Menteri Luar Negeri RI pertama, Mr. Achmad Soebardjo, bangsa Indonesia melakukannya atas dasar prinsip-prinsip percaya pada diri sendiri, tidak menggantungkan nasib pada bantuan luar, menentukan nasib sendiri dan non-kooperatif.

Fakta Sejarah di Hari Konstitusi

Salah satu fakta sejarah yang tak dapat terlupakan dalam kaitan dengan Hari Konstitusi ialah kesediaan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh senior umat Islam dan Ketua PB Muhammadiyah, memberi persetujuan atas dihapusnya tujuh kata mengenai syariat Islam yang telah disepakati sebelumnya dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Tujuh kata menyangkut dasar negara dihapus dari muqaddimah Undang-Undang Dasar yang disahkan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) demi persatuan dan keutuhan bangsa.

Kebesaran jiwa dan pengorbanan tiga tokoh Islam khususnya Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku M. Hasan yang dilobi oleh Bung Hatta pada 18 Agustus 1945 pagi harinya sehingga pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar negara Pancasila dapat dilakukan. Tanggal rapat PPKI yang bersejarah itu ditetapkan sebagai Hari Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2008.

***

Sejalan dengan perubahan rumusan dasar negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar berbunyi, (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa. (2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang dan ruh Pancasila yang menjiwai pelaksanaan keempat sila lainnya. Menurut Bung Hatta, Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya sekadar sebagai dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.

Prawoto Mangkusasmito dalam kutipan Endang Saifuddin Anshari di  buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (1981) bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila lahir dari kesepakatan seluruh elemen bangsa. Pancasila adalah dasar filsafat negara yang paling cocok dengan kondisi Indonesia yang digambarkan oleh para ilmuwan sebagai the most diverse country in the world atau negara yang memiliki keragaman terbesar di dunia.  Republik Indonesia adalah negara hasil perjanjian dan kesaksian, darul ahdi wa syahadah, yang merangkum cita-cita, bentuk, dasar dan tujuan bernegara.

Baca Juga  Kemerdekaan Indonesia dan Permasalahan Umat Islamnya

***

Presiden  Soekarno dalam Kuliah Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia (UI) Jakarta tanggal 7 Mei 1953 memaparkan kedudukan Pancasila dan Islam dengan mensitir ucapan Mohammad Natsir, “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”

Kuliah Umum Bung Karno di kampus Salemba tersebut digelar untuk memenuhi permintaan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) A. Dahlan Ranuwihardjo. Ia menandaskan, “….sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak sekejap mata pun aku mempunyai lubuk pikiran di belakang kepalaku ini melarang kepada pihak Islam untuk menganjurkan mempropagandakan cita-cita Islam.”

Bung Karno mengingatkan, pihak nasionalis agar tidak salah paham atau mempunyai pengertian yang salah terhadap Islam atau cita-cita Islam mengenai kemasyarakatan dan kenegaraan. Kita mempunyai Undang-Undang Dasar yang dengan tegas berdiri di atas dasar Pancasila, yang salah satu daripadanya ialah dasar demokrasi, musyawarah, bukan mana suara yang terbanyak adalah benar, ujarnya.

***

Mr. Mohamad Roem, diplomat dan pejuang kemerdekaan pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri dalam tulisannya di Majalah Panji Masyarakat Nomor 378, 21 November 1982 menulis bahwa seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Orang Islam yang taat agamanya sekaligus warga negara Pancasilais. la tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara. Mohamad Roem berkata, saya menerima Pancasila karena saya orang Islam.

Dalam hubungan ini, penting diperhatikan pesan Bung Karno  dalam upacara penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa kepada beliau oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal  2 Desember 1964  berjudul Negara Harus Bertuhan, “Karena itu dengan keyakinan saya berkata, negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak ber-Tuhan,  akhirnya cilaka, lenyap dari muka bumi ini.”

Dalam implementasi hubungan negara dan agama, sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 25 – 27 November 1945 di Jakarta secara aklamasi menerima usulan K.H.M Saleh Suaidy, K.H. Abu Dardiri dan M. Sukoso Wirjosaputra, ketiganya mewakili Masyumi, agar dibentuk Kementerian Agama. “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama jangan disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri.” 

Baca Juga  Utamakan Kemanusiaan: Prinsip Hubungan Internasional dalam Islam

***

Kementerian Agama dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946 dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan sekaligus bukti bahwa Republik Indonesia bukan negara sekuler. Menteri Agama RI Pertama H.M. Rasjidi, dalam Konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17 –18 Maret 1946 menguraikan sebab-sebab dan kepentingannya Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama. Menurut Rasjidi, Kementerian Agama didirikan adalah untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang  Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia pasca Proklamasi pernah diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950. Pada muqaddimah (pembukaan) dua undang-undang dasar tersebut, dasar negara kita tetap Pancasila, sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, namun empat sila berikutnya, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.

Pancasila sesuai rumusan yang disahkan dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 kembali digunakan sebagai dasar negara sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden mengakhiri perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante hasil Pemilihan Umum. Konstituante dibentuk dengan tugas menyusun undang-undang dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar 1945 yang waktu itu sifatnya sementara. Sidang Konstituante tidak mencapai kuorum dalam pemungutan suara untuk menetapkan pilihan dasar negara.   

***

Dektrit Presiden menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dektrit Presiden ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959 dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia. Dektrit Presiden Soekarno sebagai terobosan hukum darurat memperhatikan aspirasi politik ideologis umat Islam melalui bunyi konsideransnya, “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.

Pemaknaan proklamasi kemerdekaan dan kesadaran berkonstitusi sangat penting dalam rangka perwujudan tujuan bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selamat memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus dan Hari Konstitusi 18 Agustus.

Editor: Soleh

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *