Tafsir

Kesejatian Diri adalah Takwa, Bukan Kelas Sosial

4 Mins read

Indonesia merupakan negara yang eksistensinya tidak terlepas dari sejarah kolonialisme. Kita sebut saja Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, yang kita ketahui pernah menginjakkan kaki di tanah Nusantara. Itu yang kita pelajari dari buku-buku sejarah. Setiap negara tersebut tidaklah sebentar melakukan pendudukan, bahkan Belanda terhitung hingga tiga setengah abad.

Meskipun penjajahan pernah menapakkan kaki di bumi Indonesia, kemerdekaan tetap menjadi hak segala bangsa, sebagaimana tertuang dalam pembukaan (preamble) undang-undang 1945.

Dengan demikian, penjajahan yang telah berlangsung sekian waktu pada akhirnya luntur dan puncaknya Indonesia berhasil memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945.

Kendati kemerdekaan telah didengung-dengungkan sejak saat itu, bahkan setiap tahun selalu ada upaya mengembalikan memori tentang perjuangan para bapak bangsa (founding fathers), sebuah apresiasi berupa perayaan yang disebut dengan “Agustusan” dalam rangka mengingat ulang perjuangan di masa lalu.

Mengingat ulang artinya mengenang. Mengenang secara tidak langsung memberi tahu bahwa ada yang terlupakan. Seperti diucapkan seorang penyair Goenawan Muhammad, bahwa dalam mengenang tersirat lupa.

Apakah memang perlu semacam alarm rutin untuk mengingatkan kita pada perjuangan kemerdekaan? Padahal seharusnya adalah wajib bagi warga negara Indonesia untuk tidak melupakan bahwa bangsa ini adalah hasil dari jerih payah perjuangan dan banyak darah yang telah dikorbankan.

Namun demikianlah, sepertinya memang kita adalah bangsa pelupa, pada sejarahnya sendiri, pada cita-cita kemerdekaannya. Pada akhirnya yang terjadi adalah formalitas belaka. Seluruh perayaan tersebut terjebak dalam euforia belaka, tidak lebih.

Banyak orang kemudian sangsi terhadap keadaan yang sedemikian rupa. Apa benar bangsa ini telah merdeka? Sepertinya kita perlu merefleksikan ulang tentang JASMERAH—sebuah semboyan dari Bung Karno—yaitu jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Wong Cilik, Konsep Peninggalan Kolonialisme

Banyak alasan yang menjadikan seseorang ragu, salah satunya adalah keadaan dari masyarakat yang jauh dari kesejahteraan, baik secara materi ataupun spiritual. Dahulu pada masa Belanda melakukan kolonialisme, terdapat beberapa istilah yang merepresentasikan kedudukan rakyat Indonesia pada saat itu.

Baca Juga  QS Al-Muddatstsir Ayat 1-5: Wara dan Kesehatan Jiwa Manusia

Salah satunya adalah wong cilik, di mana sering kali digunakan untuk menggambarkan kedudukan sebuah masyarakat yang dalam konteks strata sosial lebih rendah dibandingkan dengan kaum elite yang tidak hanya berasal dari koloni, tapi juga dari kalangan pribumi—istilah untuk masyarakat non-koloni—sendiri yaitu kaum priayi.

Istilah wong cilik memiliki konotasi yang cenderung diskriminatif tentang masyarakat pribumi pada masa itu. Secara literal, bisa dimengerti bahwa istilah itu berasal dari bahasa Jawa yaitu wong (orang) dan cilik (kecil).

Di dalam parole masyarakat luas, istilah ini masih sangat sering digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan masyarakat yang lemah, tertindas, inferior, bahkan tidak memiliki peradaban yang baik.

Mungkin dalam istilah lain yang relevan dengan keterangan-keterangan itu adalah rakyat jelata. Sebagai sebuah bangsa yang mayoritas adalah muslim, sekiranya perlu dimengerti bahwa Islam tidak menghendaki pandangan dikotomis soal masyarakat, apalagi penjajahan.

Pandangan Al-Qur’an tentang Masyarakat

Islam tentu saja tidak menghendaki ide tentang kolonialisme dalam bentuk apapun, hal ini juga telah begitu jelas tercantum dalam pembukaan UUD 1945 di paragraf yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Manusia adalah setara satu dengan lainnya, yang membedakan adalah nilai ketakwaan.

Hal ini senada dengan sebuah hadis:

وعن أبي نضرة قال: «حدثني من سمع خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال: ” يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى، أبلغت؟ “. قالوا: بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم

Baca Juga  Meluruskan "Tafsir Cocokologiah" Qorona dalam Al-Qur'an

Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku tentang seseorang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah-tengah hari tasyriq, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.

Allah telah menerangkan di dalam surat al-Hujurat [49]: 13 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Takwa adalah Kesejatian Diri Manusia

Barang kali sudah begitu jelas bahwa penjajahan tidak pernah dikehendaki oleh siapa saja yang masih memiliki nilai-nilai ketakwaan. Hal ini bukanlah sesuatu yang sekadar dikaitkan dengan hal-hal yang sakral, tetapi juga profan. Bukan sekadar hubungan antara manusia dengan Tuhan (relasi vertikal), namun juga dengan sesama manusia (relasi horizontal).

Sebuah keterangan tentang takwa yang relevan dalam hal ini adalah Hamka dalam kitab tafsir karangannya, Al-Azhar, mengatakan bahwa takwa diambil dari rumpun kata wiqayah, berarti memelihara.

Maksud dari hal ini adalah memelihara hubungan diri kita dengan Allah, jangan sampai terperosok ke dalam perilaku yang tidak diridai-Nya. Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauh larangan-Nya.

Baca Juga  Bukan Healing ke Bali, Inilah Tiga Tips Al-Qur'an untuk Jaga Kesehatan Mental!

Memelihara agar kaki tidak terperosok ke dalam jurang berlumpur atau penuh dengan duri. Takwa tidak terbatas dalam makna takut terhadap Allah, tapi di dalam konsep takwa tercakup makna cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, rida dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh. Bahkan, di dalamnya juga terkandung makna berani.

***

Imam Ali bin Abi Thalib memiliki pendapat tentang takwa:

قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه : التقوى هي الخوف من الجليل، و العمل بالتنزيل، و الرضا بالقليل و الاستعداد ليوم الرحيل /سبل الهدى و الرشاد للصالحي الشامي ج: 1 ص: 421

Imam Ali bin Abi Tholib berkata: Takwa adalah takut kepada Allah Swt., melakukan apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an), rida dengan rezeki meskipun sedikit, mempersiapkan diri untuk hari akhir. (Subul al-Huda wa ar-Rasyad, as-Shaalihi asy-Syaami, Jilid 1, hlm. 421)

Maka tidaklah benar dikotomisasi antara kaum terjajah dan penjajah, pribumi dan elite, priyayi dan wong cilik. Pada dasarnya yang membedakan hanyalah takwa di hadapan Allah Swt.

Hal-hal yang dijadikan dalil untuk melakukan penjajahan tidaklah dapat dibenarkan, Islam jelaslah menentang itu. Menjajah artinya merampok hak orang lain, mendiskriminasi, menindas kaum lemah.

Kendati demikian, bangsa Indonesia masih lekat dengan memori penjajahan. Terbukti dari cara berpikir yang cenderung mengamini kekurangan diri, seperti istilah wong cilik, masih lestari dalam kebudayaan bangsa kita beserta mental yang dibawanya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Paciran, Lamongan
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *