Keemasan peradaban Islam mencatat nama Khalifah Al-Ma’mun sebagai kunci ilmu pengetahuan pada abad ke-sembilan. Kegemilangan peradaban diperoleh melalui usaha penerjemahaan buku-buku asing, utamanya Yunani ke bahasa Arab.
Keterbukaan umat Islam dengan bangsa Romawi dalam menerima ilmu pengetahuan tidak lepas dari upaya Khalifah Al-Ma’mun yang mengirim surat kepada penguasa Romawi untuk mengizinkan proyek penerjemahan karya-karya Yunani tersebut. Namun siapa sangka sebelum melakukannya, Khalifah Al-Ma’mun terlebih dahulu bertemu dengan ‘guru’ filsafat, yakni Aristoteles.
Mimpi Bertemu Aristoteles
Ibnu Nadim menceritakan mimpi Sang Khalifah bertemu Aristoteles dalam kitab Al-Fahrasat “Dzikr al-Sabab al-Ladzi min Ajlihi Katsurat Kutub al-Falsafat wa Ghairuha min ‘Ulum al-Qadimah fi Hadza al-Balad” (Tentang sebab-sebab bertebarannya buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu kuno pra-Islam di negara ini). Al-Ma’mun melihat laki-laki berada di tempat tidurnya dengan kepala botak, mengenakan sorban, kulitnya putih kemerahan, alis kanan dan kiri bertemu, dan bermata biru.
Lantas terjadi sebuah dialog mulai pertanyaan Sang Khalifah “Siapakah anda?” Dia menjawab “Aku Aristoteles”. Khalifah Al-Ma’mun duduk di sampingnya sembari berkata “Wahai orang yang bijak, bolehkah aku bertanya?” Aristoteles menjawab “Silahkan”. Khalifah Al-Ma’mun melanjutkan pertanyaan “Apakah yang disebut kebaikan?” lalu dijawablah “Kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal”. “Kemudian apalagi?” sambung khalifah, “Apa yang dikategorikan baik oleh syara” jawab Aristoteles.
Khalifah masih bertanya, “Selanjutnya apa lagi?” Dijawab lagi oleh Aristoteles “Apa yang dipandang baik oleh Jumhur”. Belum puas sampai di situ, khalifah kembali bertanya “Kemudian apa lagi?” Aristoteles mencukupkan “Tidak ada yang lain lagi”.
Konon, mimpi inilah yang membawa interaksi dunia Islam dan Barat –dunia Barat dalam konteks Romawi— melalui penerjemahan buku-buku pra-Islam. Terlepas valid atau tidaknya mimpi ini, Ibnu Nadim menulis kisah ini –sebagai justifikasi dokumen historis—sekitar satu abad pasca wafatnya Khalifah Al-Ma’mun.
Refleksi Mimpi Khalifah Al-Ma’mun
Tulisan Ibnu Nadim ini kemudian dikutip oleh Muhammad ‘Abid Al-Jabiri dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabi. Al-Jabiri secara subjektif mengklaim adanya pendekatan teks dengan salah satu riwayat hadis dalam penggambaran sosok Aristoteles dalam mimpi itu.
Penyebutan nama Aristoteles dilegitimasi dengan hadis yang meriwayatkan tentang bagaimana malaikat Jibril mewujudkan diri sebagai manusia, kemudian duduk bergabung dengan majelis Nabi Saw dan para Sahabat.
Setelah Jibril mengajukan beberapa pertanyaan dan dijawab oleh Nabi Saw hingga jawaban terakhir, Nabi Saw bersabda kepada para Sahabat: “Yang baru saja datang tadi adalah Jibril yang mengajarkan agama untuk kalian semua”.
Penggunaan riwayat hadis tersebut bertujuan melakukan kredibilitas atas mimpi Khalifah Al-Ma’mun. Karena pengetahuan Islam saat itu didominasi dari pengetahuan spiritual yang masuk ke jiwa manusia, atau dalam Islam dikenal dengan istilah “fi qalbihi au rau’ihi”. Sehingga mimpi Khalifah Al-Ma’mun tadi dapat dikategorikan sebagai ‘mimpi yang benar’ alias bukan takhayul.
Selanjutnya, dialog yang terjadi dalam mimpi Khalifah Al-Ma’mun membahas seputar “apa yang dimaksud kebaikan?”. Namun bukannya dijelaskan definisi kebaikan, dialog tersebut justru mengarah kepada cara mengetahui kebaikan.
Aristoteles– dalam mimpi Al-Ma’mun— menetapkan akal, syara’, dan jumhur sebagai cara mengetahui kebaikan. Adapun syara’ mencakup Al-Qur’an dan as-Sunnah sekaligus penggunaan akal sebagai pengetahuan kebaikan. Hal itu disepakati (ijma’) oleh kalangan Mu’tazilah agar apa yang dimaksud ‘kebaikan’ diperlihatkan tujuannya secara jelas.
Bicara Soal Proyek Ilmu di Dunia Islam
Setidaknya hingga masa Khalifah Al-Ma’mun, Mu’tazilah menjadi mazhab teologi resmi kekhalifahan. Hal itu disebabkan Mu’tazilah merupakan teologi yang filosofis. Teologi ini semakin diminati para penguasa Abbasiyah, hingga puncak gairah akan filsafat Yunani ditandai dengan berdirinya Bayt al-Hikmah oleh Khalifah Al-Ma’mun.
Bayt al-Hikmah dijadikan lembaga yang melakukan aktifitas penerjemahan dan pengkajian berbagai karya filsuf Yunani. Khalifah Al-Ma’mun saling berhubungan melalui surat dengan Raja Romawi untuk memilih dan mengambil buku-buku kuno yang masih tersimpan di Romawi. Meski awalnya menolak permintaan Khalifah, perlahan Raja Romawi mengizinkan hal itu.
Proyek ilmu demikian memakan banyak biaya yang berasal dari keuangan negara. Para penerjemah dan penyalin digaji dengan emas seberat buku yang dikerjakan. Bahkan tenaga profesional ini juga diisi oleh kalangan non-Muslim seperti Hunayn ibn Ishaq, seorang Kristen dari Hirah.
Sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam mimpi Khalifah, kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal. Dari sini umat Islam harus menyingkirkan ego dan emosi demi sebuah proyek peradaban. Khazanah ilmu yang ditinggalkan pada masa peradaban Yunani yang notabennya negara ‘kafir’, dengan mudah diterima secara terbuka. Sedangkan kebaikan tersebut tentunya harus dikelola menggunakan sudut pandang syara’ dan dikembangkan secara kolektif.
Editor: Soleh