Banyak yang menuduh para filsuf muslim telah keluar dari Islam karena mendasarkan keyakinan mereka pada argumentasi rasional seperti wajibul wujud. Padahal, argumen itu sendiri memiliki pijakan pada berbagai ayat Al-Qur’an.
Itu penting guna menunjukkan bahwa bagi filsuf muslim kitab suci tetap memiliki porsi yang sentral dalam keyakinan Islam mereka. Hanya saja dalam menghadapi serangan dari orang-orang kafir atau ateis di luar Islam, filsuf muslim menyadari bahwa perlu digunakan metode rasional yang dapat diterima pula oleh para penentang itu.
Tulisan ini akan menguraikan sebagian ayat-ayat yang membahas konsep-konsep wajibul wujud dan yang terkait. Namun, sebelum hal itu dilakukan akan dijabarkan secara singkat makna dari konsep wajibul wujud dan mumkinul wujud yang menjadi topik utama pembahasan disini.
Wajibul Wujud dan Mumkinul Wujud
Terdapat dua jenis wujud jika kita tinjau dari cara mengada satu dengan yang lain. Pertama, adalah mumkinul wujud atau wujud yang pernah di alam ketiadaan atau ‘kemungkinan’ dan kemudian menjadi ada karena wujud di luar dirinya. Karena butuh kepada ‘Sebab’ atau yang lain itu maka wujud imkan adalah akibat.
Berikutnya adalah wajibul wujud atau wujud niscaya yang ia selalu dalam ‘Ada’. Wajibul wujud adalah wujud mandiri yang oleh dirinya sendiri. Wujud ini adalah sebab dari segala sebab. Artinya, ‘Ada’ pada segala entitas adalah pemberian dari wujud wajib ini. Tanpa perkenan wujud wajib, maka segala sesuatu masih ketiadaan atau kemungkinan.
Sebagaimana sering dijelaskan para filsuf, realitas harus memiliki kedua jenis wujud itu. Bahwa mustahil realitas hanya terdiri dari mumkinul wujud karena mumkinul wujud tidak bisa mewujud tanpa sesuatu yang lain. Dalam kata lain, argumen ini membatalkan tasalsul atau infinite regression yang menyatakan realitas dibangun oleh sebab-sebab potensial tanpa ujung.
Ayat-ayat tentang Wajibul Wujud dan Mumkinul Wujud
Dari dua wujud itu kemudian kita bisa menelusuri Al-Qur’an dan menemukan berbagai ayat yang mengandung konsep baik sebab-akibat hingga mandiri ataupun bergantung. Disini tidak dimaksudkan akan ditemukan secara literal kata ‘wajibul’ dan ‘mumkinul’ wujud, melainkan makna atau pesan ayat yang melingkupi konsep-konsep keduanya.
Al Fathir 15-16
Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan apa pun), Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu).
Ayat itu jelas menunjukkan Tuhan sebagai wajibul wujud serta setiap makhluk sebagai wajibul wujud. Tuhan adalah dzat Maha Kaya yang memiliki segalanya. Ia tidak perlu meminta bantuan kepada yang lain karena pada dzat-Nya sendiri ia sudah cukup.
Hal itu berbeda dengan makhluk-makhluk Tuhan. Manusia misalnya adalah makhluk yang serba butuh. Butuh kepada makan, minum dan tempat tinggal yang aman serta nyaman. Manusia sendiri pernah tidak ada, dan butuh Allah untuk menghadirkan manusia ke alam dunia.
Allah sendiri adalah dzat yang Maha Menghendaki. Asalkan ia berkehendak maka jadilah sesuatu sesuai kehendaknya. Jika ia berkehendak bisa tiada pula sesuatu. Ini menandakan bahwa Tuhan adalah wajibul wujud dalam sisi ia sebagai dzat yang bisa bertindak aktif dan sesuka hati tanpa peduli penerimaan dari wujud lain.
Adz-Dzariyat 49 dan Yunus 68
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Kedua ayat itu menjelaskan bahwa manusia adalah sebagaimana makhluk lain memiliki ciri berpasangan. Eksistensi pasangan itu menandakan manusia pada dirinya sendiri saling membutuhkan satu sama lain (antara pasangan) untuk bisa hidup dan berkembangbiak. Tanpa pasangan manusia tidak bisa memenuhi fitrah biologis dan sosial mereka.
Ayat di atas juga harus dipahami bahwa jika semua wujud untuk berpasangan, atau butuh satu sama lain, maka mustahil pula terjadi realitas. Sebabnya, akan terjadi daur yang secara logika dan ontologi bersifat mustahil. Maka, harus ada wujud lain yang tidak membutuhkan pasangan (sekutu) yang tidak lain adalah sang wajibul wujud: Allah.
Bahwa Allah adalah dzat yang Esa dan memiliki segalanya. Ia sama sekali tidak membutuhkan pasangan untuk Ada dan untuk mengadakan. Sebaliknya, Tuhan menciptakan sistem dan fitrah yang manusia tunduk terhadap keduanya.
Al An’am 76-79
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”.
Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Ayat-ayat itu menunjukkan analisa tajam Nabi Ibrahim yang menyadari bahwa berbagai benda langit itu adalah mumkinul wujud. Ia mengetahui bahwa benda-benda itu mampu melakukan gerak hanya jika berada di dalam dimensi ruang dan waktu. Artinya, benda-benda langit itu bukan wajibul wujud (Tuhan) karena mereka masih membutuhkan pada yang lain.
Nabi Ibrahim lantas memilih menyembah Dzat yang memiliki semuanya tanpa terkecuali. Yaitu dzat yang memiliki baik apa-apa yang ada di langit dan di bumi, baik bulan, bintang, dan bahkan dimensi ruang-waktu itu sendiri.
Proses penemuan Tuhan oleh Nabi Ibrahim di atas menunjukkan tahapan penalaran kritis yang ia tempuh. Ia mulai dengan merunut semua mumkinul wujud yang bisa diindra. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa tiada mumkinul wujud yang layak disebut Tuhan. Melainkan, hanya wajibul wujud yang mandiri dan Maha Kaya yang layak diimani.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang telah dilakukan, dapat dilihat betapa konsep wajibul dan mumkinul wujud memiliki korelasi yang sangat kuat dengan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an. Faktanya pun memang demikian. Bahwa Ibnu Sina sebagai pencetus utama konsep itu mengkritik Aristoteles yang menyatakan argumentasi gerak realitas untuk membuktikan Tuhan.
Tulisan ini juga membuktikan secara tidak langsung teori jalan ganda kebenaran Ibnu Rusyd. Memang kebenaran yang hakiki itu hanya satu, tunggal. Namun, untuk menjumpai kebenaran itu dapat dilakukan melalui banyak jalan baik melalui bayan (teks kitab suci) maupun burhan (demonstrasi rasional).
Editor: Soleh