Setiap tahun kita memperingati Hari Guru dengan ucapan selamat, unggahan foto, dan berbagai seremoni bentuk apresiasi. Namun di tengah semua perayaan itu, mungkin kita perlu berhenti sejenak untuk mengajukan satu pertanyaan mendasar, mengapa kita menyebut seseorang sebagai “guru”? Apa sebenarnya makna kata itu, dan mengapa istilah ini layak dipertahankan di tengah perubahan zaman yang semakin menekankan aspek administratif profesi?
Dalam bahasa Indonesia, kata “guru” telah begitu melekat dengan dunia pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya secara sederhana sebagai “orang yang pekerjaannya mengajar”.
Definisi ini tepat dari sudut pandang struktural, tetapi terasa menyempit jika melihat peran tersebut sepanjang sejarah peradaban manusia. Karena itu, menelusuri akar makna kata ini dapat membantu kita memahami kedalaman filosofinya.
Akar Makna Kata “Guru”
Dalam tradisi Sanskerta, salah satu sumber istilah “guru” dalam budaya Nusantara, kata ini tersusun dari dua suku kata. Gu berarti kegelapan, dan ru berarti cahaya atau pengusir kegelapan. Maka, “guru” adalah pembimbing yang menuntun manusia keluar dari ketidaktahuan menuju pengetahuan, atau dari kebodohan menuju pencerahan.
Dalam bahasa Inggris, Webster Dictionary memberikan definisi yang lebih luas: guru adalah “a personal religious teacher and spiritual guide,” seorang pembimbing intelektual dan moral dalam hal-hal fundamental. Webster juga menyebut makna modern yakni tokoh yang menjadi pemimpin pemikiran, pakar, atau rujukan dalam suatu bidang. Sinonim yang muncul sangat menarik “philosopher, practitioner, interpreter, high priest” semuanya menandai kewibawaan moral dan intelektual, bukan sekadar pekerja teknis pendidikan.
Dalam praktik pendidikan nasional, kita mengenal istilah seperti Pendidikan Profesi Guru, Sertifikat Pendidik, dan berbagai standar profesional lainnya. Semuanya menjadi prasyarat legal bagi seseorang untuk disebut sebagai guru.
Semua ini penting untuk menjamin kualitas. Tetapi sejarah memperlihatkan bahwa gelar “guru” pada mulanya tidak lahir dari regulasi. Ia diberikan oleh pengakuan masyarakat terhadap pengaruh transformasional seseorang dalam membentuk manusia.
Sebagai Pembentuk Peradaban
Dalam dunia Barat, Socrates kerap dijuluki The Teacher of Athens atau Sang Guru Athena. Julukan ini menegaskan bahwa peran Socrates lahir dari interaksi langsung dengan masyarakat Athena, bukan dari lembaga pendidikan formal. Ia tidak menulis buku, tidak memimpin sekolah, tetapi berjalan di jalan-jalan kota, berdialog, bertanya, dan membangkitkan kesadaran berpikir kritis.
Generasi muda Athena belajar untuk menalar, mengenali diri, dan mencari kebenaran melalui percakapan dengannya. Karena dialah yang menyalakan tradisi filsafat yang kemudian menjadi fondasi pemikiran Barat, masyarakat mengenangnya sebagai guru meski ia tak pernah mengajar dalam pengertian administratif.
Di Asia Timur, Konfusius dikenal sebagai The Great Teacher atau Guru Agung Kong. Gelar ini bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi pengakuan budaya atas peran besar ajaran Konfusius tentang kebajikan, hubungan antarmanusia, pendidikan karakter, dan harmoni sosial. Ajaran-ajaran itu membentuk sistem pendidikan dan masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun.
Konfusius meyakini bahwa manusia dan masyarakat hanya dapat berkembang jika pendidikan menyentuh moral, bukan sekadar pengetahuan. Karena itu, gelar “guru” melekat kuat padanya dalam makna paling luhur yaitu pembangun peradaban melalui pendidikan.
Dalam tradisi Islam, kedalaman makna ini tampak lebih terang dalam diri Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama menyebut beliau sebagai Mu‘allim al-Insaniyyah, pendidik kemanusiaan. Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menulis secara mendalam tentang hal ini dalam karya klasiknya Ar-Rasul al-Mu’allim, kemudian diterjemahkan oleh putranya, Syaikh Muhammad Zahid Abu Ghuddah, Prophet Muhammad: The Teacher.
Buku ini menggambarkan bagaimana Nabi mengajar dengan metode yang sangat maju dan humanis, dialog, keteladanan, pendampingan personal, pemberian penguatan, dan penyesuaian pendekatan sesuai karakter dan kebutuhan setiap individu. Para sahabat mengingat beliau sebagai guru terbaik bukan hanya karena menyampaikan wahyu, tetapi karena bimbingannya menghadirkan perubahan nyata dalam pikiran, akhlak, perilaku sosial, dan arah hidup manusia.
Pengakuan Moral, Bukan Administratif
Ketiga tokoh besar tersebut menunjukkan satu benang merah, gelar guru bukan diberikan oleh ijazah atau sertifikat, tetapi oleh dampak pada kemanusiaan. Socrates membangunkan nalar. Konfusius membentuk karakter. Nabi Muhammad SAW memadukan keduanya dengan dimensi ilahiah yang membimbing manusia menuju kemuliaan.
Karena itu, ketika hari ini kita menyebut seseorang sebagai guru, sesungguhnya kita tengah memberikan penghargaan tertinggi bahwa melalui tangannya manusia bertumbuh, masyarakat bergerak, dan peradaban mendapat arah. Maka di tengah tuntutan administratif dan profesional yang terus berkembang, yang tentu penting dan tidak beoleh ditinggalkan begitu saja, namun jangan sampai kita kehilangan inti dari panggilan bernama guru.
Guru bukan hanya profesi. Ia adalah peran peradaban. Bukan sekadar penyampai materi. Ia adalah pembuka jalan perubahan. Dan karena itu, menjadi guru selalu lebih besar dibanding sekadar mengajar.
Hari Guru adalah waktunya untuk kembali mengingat martabat besar itu, bahwa gelar tersebut pernah disandang tokoh-tokoh yang menggerakkan sejarah manusia. Maka mengemban peran itu hari ini berarti melanjutkan sebuah tradisi suci, membimbing manusia keluar dari gelap menuju cahaya.
Editor: Najih

