Falsafah

Ketika Henry Corbin Mengkritik Gagasan John Wansbrough

4 Mins read

Dewasa ini, studi Islam oleh para orientalis dinilai banyak yang tidak objektif. Kebanyakan dari mereka mereduksi dan merekontruksi sejarah Islam serta filsafat Islam seperti membangun bangunan di atas pasir dan lebih-lebih lagi terkesan mendiskreditkan Islam. Salah satu tokoh utamanya adalah John Wansbrough—seorang orientalis berkebangsaan Amerika dan juga seorang sejarawan yang mengajar di Sekolah Studi Oriental dan Afrika Universitas London.

Gagasan Wansbrough tentang Sejarah Islam

Wansbrough disebut-sebut telah mendirikan sekolah studi Islam “revisionis”, melalui kritik mendasarnya terhadap kredibilitas sejarah narasi Islam klasik tentang permulaan Islam dan upayanya untuk mengembangkan versi awal Islam alternatif yang secara historis lebih kredibel.

Ia berargumen secara umum melalui skeptisismenya dan yang paling terkenal tentang kepenulisan al-Qur’an. Bahwa sebenarnya al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan selama 200 tahun dan seharusnya tidak berasal dari abad ke-1 Hijriah di Arab Barat, tetapi di abad ke-2/ke-3 Hijriah di Abbasiyah Irak.

Melalui tulisannya yang berjudul “Analisis Sastra terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi-metodologi John Wansbrough”, Andrew Rippin mengungkapkan bahwa dalam mengkaji Islam masa awal, sangat sedikit sekali referendum yang dapat memberikan kesaksian netral, baik arkeologis, bukti numismatik, ataupun dokumen-dokumen historis (Richard C. Martin, 2002).

Oleh karenanya dalam mengatasi persoalan tersebut, Wansbrough berupaya melakukan usaha sistematik melalui dua karyanya: Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) dan The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History (1978).

Dalam kedua bukunya tersebut, Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber-sumber dari titik pandang literer, yakni untuk melepaskan pandangan teologis yang melekat dalam sejarah berkenaan asal-usul Islam. Bahkan secara radikal, Wansbrough mengatakan bahwa apa bukti yang mendukung akurasi historis pandangan-pandangan tradisional mengenai kompilasi kitab Al-Qur’an setelah kematian Muhammad? Dan mengapa kita tidak sebaiknya mempercayai sumber-sumber Muslim?

Baca Juga  Melihat Fenomena Puasa dari Kacamata Durkheim

Anggapan tentang gaya referensial Al-Qur’an juga membawa praduga bagi Wansbrough. Menurutnya, Al-Qur’an sebagai dokumen yang tersusun dari ayat-ayat referensial yang dikembangkan dalam kerangka polemik Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konversi sastra, konversi narasi, dan konjungsi versi-versi paralel kisah yang disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi” (Richard C. Martin, 2002).

Kritik Henry Corbin

Anggapan-anggapan yang demikian, membuat Henry Corbin geram dan melakukan kritik terhadap gagasan yang mereka kembangkan. Asumsi mereka terkait masa Islam awal seakan memotret dengan bingkai konflik yang sama tanpa melihat “milieu” dunia Islam. Wansbrough menggabarkan masa-masa awal Islam sama dengan masa-masa intitusi Gereja. Dengan ini, Corbin menjawab “framing” tersebut bahwa intitusi Gereja sebagai “dogmatic magisterium”, tidak ada dalam Islam.

Melalui gaya argumentasinya yang khas Platonis, Henry Corbin memaknai agama sebagai narasi meta-historis nan primordial—sehingga tatkala memasuki ranah sejarah, ia memiliki beragam tingkatan. Baginya, agama bukanlah fenomena post-historis, tetapi trans-historis. Artinya, agama dinilai tidak sebagai suatu fenomena pasca sejarah, melainkan fenomena lintas sejarah.

Lebih lanjut, Corbin juga mengkritik orientalis lainnya yang mengkaji tentang sejarah filsafat Islam/Arab. Bahwa membingkai filsafat Islam dengan konteks sejarah peradaban adalah contoh setereotip. Pandangan yang demikian akan mereduksi fenomena yang sangat kompleks dengan narasi yang seolah sederhana. Bagi mereka, Arab hanyalah tempat transit, sekedar menerima dan mentransmisikan kembali filsafat Yunani ke Eropa.

Dalam bukunya “History of Islamic Philosophy”, Corbin memberi nama pada dunia pemikiran yang menjadi subjek dari buku tersebut: Filsafat Islam, bukan lagi filsafat Arab. Namun dalam pengistilahan ini, Corbin tidak bermaksud mengenyampingkan konsep ‘Arab’ sebagai ekuminisme spiritual, tetapi untuk memperluas penyebutan konsep filsafat yang lebih menyeluruh. Dan juga tanpa mengurangi tingkat inspirasi kenabian dimana ia muncul dalam sejarah dengan wahyu Al-Qur’an. Pada dasarnya, peluasan pengistilahan ini adalah demi menolak klaim yang tidak adil oleh para orientalis dan sekaligus menjadi bukti dan fakta religius spiritualitas Islam (Henry Corbin, 2014).

Baca Juga  Inilah Dua Akar Konflik Agama dan Filsafat!

Selain itu, Corbin juga hendak menunjukkan bahwa meditasi filosofis Islam tidaklah juga berakhir bersamaan dengan kematian Averroes (Ibnu Rusyd). Justru dengan kematian Ibnu Rusyd itulah yang menumbuhkan meditasi filosofis dalam Islam. Di Timur, dan khususnya di Iran, Averroisme luput dari perhatian khalayak, dan kritik al-Ghazali terhadap filsafat tidak pernah dianggap mengakhiri tradisi yang diresmikan oleh Ibnu Sina.

Pengikut Wansbrough

Salah satu pengikut dari Wansbrough adalah Mun’im Sirry—seorang dosen asal Indonesia yang saat ini menjadi asisten profesor di Unversity of Notre Dame Amerika Serikat. Background akademik antara perkawinan kultural Indonesia-Pakistan-Amerika, telah membangun horizon pemikiran Mun’im Sirry tentang Islam dan terlihat sangat “binal”. Hal ini tampak sekali pada buku-bukunya seperti: Islam Awal: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis (2015), Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis (2017), dan Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal (2018).

Sebagaimana dilansir dari kanal Youtube LSF Nahdliyyin dalam Webinar Publik yang bertema “Problem Epistemologi Revisionisme Islam”, Muhammad Al-Fayyadl (Gus Fayyadl) memberikan kritik yang tajam terhadap buku tersebut yakni apa yang disebut sebagai “meta-kritik” atas Revisionisme Islam.

Bagi Gus Fayyadl, senada dengan Corbin, Revisionisme Islam ini adalah “problem sejarah”. Yakni cara membaca sejarah, cara menulis sejarah, dan cara memproduksi sejarah. Kemudian dalam permasalahan masa Islam Awal, Gus Fayyadl menanggapi bahwa ini merupakan suatu agama Islam yang diimajinasikan oleh sarjana Revisionis dan membentuk representasi yang lain. Dengan kata lain, sarjana revisionis tersebut sedang membayangkan suatu Islam yang asing dari Islam yang ada saat ini.

***

Hemat penulis, sarjana Revisionis tersebut telah menganggap bahwa Islam hanyalah sekedar realitas sejarah saja. Adapun pendekatan-pendekatannya melalui tafsir, sastra, dan sirah, penulis melihat, sarjana revisionis menganggap Al-Qur’an hanya sebagai dukumen teks, structure, dan kitab sastra yang memiliki nuansa sastra sebagaimana umumnya. Yakni suatu hal yang dilebih-lebihkan, diindah-indahkan dan tidak sesuai fakta sejarah yang ada. Oleh karenanya, umat Islam jangan hanya melihat dari sisi positivistiknya saja, juga harus meragukan dan melakukan pengkajian ulang melalui berbagai pendekatan.

Baca Juga  Kalis Mardiasih: Masalah Kesetaraan Gender Bertalian dengan Kemiskinan

Sebab, sarjana Revisionis melihat bahwa dahulu saat diturunkannya Al-Qur’an adalah masa dimana gandrungnya sastra dan banyak penyair dengan gubahan syair yang menakjubkan. Selain itu, mereka juga meragukan sejarah-sejarah masa awal Islam yang ada di kitab-kitab sirah. Sebab dua agama yang dahulu (Yahudi-Kristen) juga memiliki fakta sejarah yang kabur. Maka dari itu mereka menyamakannya melalui analisis origin historisnya.

Editor: Soleh

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds