Setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam di seluruh dunia melaksanakan hari raya Idul Adha. Hampir seluruh khatib Idul Adha selalu mengingatkan dan menceritakan betapa besarnya kisah pengorbanan Ibrahim dan putranya. Kisah Ibrahim yang diperintahkan untuk mengorbankan putranya adalah salah satu narasi paling dramatis dan penuh makna tidak hanya dalam tradisi Islam, melainkan di tradisi Yahudi dan Kristen.
Dalam ketiga agama tersebut, Ibrahim dipuji karena ketaatannya yang luar biasa kepada Tuhan. Dalam perjalanannya, kisah ini yang menggambarkan ujian iman yang ekstrem, menimbulkan pertanyaan mendalam tentang moralitas, ketaatan, dan hubungan antara manusia dan Tuhan.
Dalam esai ini penulis mencoba mengeksplorasi bagaimana Immanuel Kant dan Ibn Arabi “mengadili” tindakan Ibrahim yang menyembelih putranya sendiri. Dengan menjelajahi pemikiran Kant dan Ibn Arabi tentang kisah pengorbanan ini, esai ini akan mengeksplorasi dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap moralitas dan spiritualitas.
Kant, dengan pendekatan rasional dan etisnya, mungkin mempertanyakan justifikasi moral dari tindakan Ibrahim, sementara Ibn Arabi, dengan pandangan mistis dan simbolisnya, melihat lebih dalam pada makna batin dan esoteris dari perintah ilahi tersebut.
Pengadilan Pertama: Dakwaan Ibn Arabi kepada Ibrahim
Dalam kasus Ibrahim yang akan menyembelih putranya, menurut Ibn Arabi, Ibrahim sebenarnya mengalami kesalahpahaman dalam menafsirkan mimpinya karena ia memahami perintah tersebut secara harfiah, padahal mimpi merupakan ranah imajinasi yang membutuhkan interpretasi. Dalam karyanya Fuṣūs al-Hikam, khususnya pada bab “Faṣ Hikmah Haqqiyah fī Kalimah Ishāqiyyah”, Ibn Arabi menjelaskan bahwa mimpi berada dalam wilayah haḍarah al-khayāli, yaitu dunia imajinasi atau khayal. Dalam dunia ini, bentuk-bentuk yang muncul adalah simbolis dan membutuhkan penafsiran atau ta’bīr.
Interpretasi ini tidak hanya terbatas pada pemahaman literal dari apa yang dilihat, tetapi juga menuntut kita untuk melintas dari bentuk yang terlihat ke sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi di balik simbol tersebut. Ibn Arabi menyatakan bahwa untuk memahami mimpi, diperlukan “melintas dari bentuk yang terlihat ke sesuatu yang lain” (al-jawāz min ṣūrati mā raāhu ilā amrin ākhar). Ini berarti bahwa mimpi harus dipahami sebagai representasi simbolik yang mengandung makna lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan.
Dalam konteks mimpi Nabi Ibrahim, menurut Ibn Arabi, perintah untuk menyembelih anaknya bukanlah perintah literal tetapi simbol dari sesuatu yang lebih esensial dan spiritual. Penafsiran Ibn Arabi menunjukkan bahwa mimpi Nabi Ibrahim mungkin mengandung makna yang lebih dalam, yang berhubungan dengan pengorbanan spiritual dan penyerahan total kepada Tuhan, bukan sekadar tindakan fisik menyembelih putranya.
Menurut Ibn Arabi, ketika Tuhan menampakkan wajah putranya dalam mimpi Ibrahim, sebenarnya yang dimaksud adalah seekor domba, bukan putranya secara harfiah. Ini adalah kunci penting dalam memahami penafsiran Ibn Arabi terhadap kisah ini.
Ketika Tuhan Menyelamatkan Putra Ibrahim
Ketika Ibrahim hendak menyembelih putranya berdasarkan pemahaman literal atas mimpinya, Tuhan segera menggantinya dengan domba. Ini menunjukkan bahwa interpretasi literal Ibrahim adalah sebuah kesalahpahaman. Tuhan menyelamatkan putranya dari tindakan Ibrahim yang berdasarkan pemahaman literal terhadap mimpi tersebut.
Hal ini juga mengapa, ketika Tuhan berseru kepada Ibrahim, Dia tidak mengatakan, “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah benar terkait mimpi itu” (An yā Ibrāhim qad ṣadaqta fi al-ru’yā), tetapi “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu” (An yā Ibrāhim qad ṣaddaqta al-ru’yā). Perbedaan ini penting. Tuhan tidak membenarkan tindakan Ibrahim, tetapi mengakui bahwa Ibrahim telah bertindak berdasarkan apa yang dia yakini sebagai kebenaran dari mimpinya.
Menurut Ibn Arabi, ini menunjukkan bahwa sikap afirmatif (taṣdīq) Ibrahim terhadap mimpinya, meskipun tulus, sebenarnya tidak tepat untuk menafsirkan mimpi tersebut. Ibn Arabi menggunakan kisah ini untuk menggambarkan bagaimana konstruksi epistemik imajinasi berfungsi. Dalam pandangan Ibn Arabi, bentuk pengetahuan yang tersingkap melalui ranah imajinasi bukanlah pengetahuan literal, melainkan pengetahuan metaforis.
Dunia imajinasi (haḍarah al-khayali) adalah semesta metafora (‘alam al-misal), yang menghubungkan dunia konkret dengan dunia ideal, atau “dunia atas” dan “dunia bawah”. Oleh karena itu, bagi Ibn Arabi, Ibrahim tidak salah secara moral dalam tindakannya, tetapi mungkin keliru secara kognitif karena memahami mimpinya secara literal.
Sampai jumpa di tulisan part 2 yak.
Editor: Soleh