Semenjak kecil, penulis selalu di doktrin bahwa Ibrahim yang akan menyembelih putranya adalah bukti keimanan dan pengorbanan seorang yang taat kepada Tuhan. Kisah Ibrahim yang diperintahkan untuk mengorbankan putranya merupakan narasi yang mendalam dan membangkitkan pertanyaan mendasar tentang moralitas dan ketaatan agama di berbagai tradisi keagamaan.
Di balik sikap ketaatan dan iman yang tampak begitu kuat, pertanyaan moral muncul dengan kuat. Apakah tindakan seperti itu dapat dibenarkan dalam konteks nilai-nilai moral yang universal? Bagaimana seharusnya kita menafsirkan dan menilai tindakan yang tampak begitu ekstrem ini dari sudut pandang etika? Setelah kita membahas dakwaan Ibn Arabi kepada Ibrahim yang telah penulis paparkan pada bagian pertama, kini penulis mencoba menguraikan dakwaan Immanuel Kant kepada Ibrahim.
Pengadilan Kedua: Dakwaan Immanuel Kant kepada Ibrahim
Dalam memahami kisah Ibrahim yang akan menyembelih putranya, Immanuel Kant menawarkan perspektif yang unik dalam menganalisis dilema moral yang terlibat. Kisah ini, yang terkenal di berbagai tradisi keagamaan, menghadirkan pertanyaan yang mendalam tentang ketaatan agama dan batasan-batasan moralitas.
Dalam tulisan ini, penulis akan mengeksplorasi pandangan Kant terhadap kisah Ibrahim yang dihadapkan pada perintah untuk mengorbankan putranya. Fokus akan diberikan pada analisis Kant terhadap konflik antara ketaatan agama dan prinsip-prinsip moral yang mendasar.
Kant dikenal dengan teorinya tentang etika deontologis dan imperatif kategoris. Kant membangun sistem etika deontologisnya berdasarkan konsep imperatif kategoris, yang mengharuskan individu bertindak hanya berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan hukum universal tanpa kontradiksi. Pendekatannya terhadap kisah Ibrahim menekankan rasionalitas dan prinsip moral universal.
Kant memberikan dakwaan yang lebih keras daripada Ibn Arabi bahwasanya Ibrahim tidak hanya salah secara kognitif, namun salah juga secara moral. Kant menekankan bahwa moralitas tindakan harus didasarkan pada kewajiban moral yang jelas dan universal.
Konsep imperatif kategorisnya menuntut agar prinsip-prinsip moral yang dijalankan tidak bergantung pada tujuan atau hasil subjektif. Dalam hal ini, perintah untuk mengorbankan putranya mungkin tidak dapat diterima sebagai prinsip moral universal yang dapat dijadikan hukum untuk semua orang. Kant mungkin akan mempertanyakan apakah tindakan untuk mengambil nyawa seorang anak dapat dilakukan tanpa menghasilkan kontradiksi etis.
Ibrahim Tidak Melakukan Penyelidikan Rasional?
Dalam artikel Kant yang berjudul “The Conflict of the Philosophy Faculty With the Theology Faculty“, Kant membahas perbedaan antara pengetahuan historis dan asal-usul rasional dari sebuah ajaran atau hukum. Kant menekankan pentingnya penyelidikan rasional terhadap ajaran, meskipun disampaikan dalam bentuk pengetahuan historis atau berdasarkan perasaan estetis.
Kant mengkritik kisah Ibrahim yang akan menyembelih putranya sebagai contoh di mana sebuah perintah, meskipun disampaikan sebagai wahyu Ilahi, tetap harus diuji untuk kohesi rasional dan moralnya. Jika sebuah ajaran tidak memiliki dasar rasional atau bertentangan dengan prinsip moral universal, Kant berargumen bahwa ajaran tersebut tidak dapat diterima sebagai hukum moral yang sah. Maka dari itu, pemikiran Kant memberikan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas hubungan antara ketaatan agama, moralitas, dan rasionalitas dalam konteks kisah Ibrahim.
Analisis Kant terhadap tindakan Ibrahim menunjukkan bahwa ketaatan kepada Tuhan haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip moral yang rasional dan universal. Tindakan yang dilakukan atas nama iman atau ketaatan, namun bertentangan dengan prinsip-prinsip moral yang mendasar, menjadi bahan kritik moral dalam perspektif Kant.
Dengan demikian, kritikan Kant terhadap Ibrahim dari sudut pandang universalitas prinsip moral menunjukkan pentingnya mempertimbangkan konsekuensi moral tindakan yang didasarkan pada ketaatan buta kepada otoritas agama. Prinsip-prinsip moral universal yang Kant advokasi memberikan landasan yang kuat untuk menilai tindakan-tindakan yang sering kali kompleks dan berpotensi kontroversial dalam konteks kehidupan agama.
Kesimpulan
Ibn Arabi menafsirkan mimpi Ibrahim tentang menyembelih anaknya sebagai kesalahpahaman literal terhadap pesan simbolis. Menurutnya, mimpi tersebut sebenarnya mengindikasikan domba sebagai pengganti putranya, menunjukkan pentingnya interpretasi metaforis dalam ranah imajinasi.
Tuhan mengakui keimanan Ibrahim tetapi mengoreksi penafsirannya dengan mengganti putranya dengan domba, menegaskan bahwa pengetahuan spiritual sering tersembunyi dalam simbol dan metafora yang memerlukan kebijaksanaan untuk diungkapkan dengan benar. Bagi Ibn Arabi, dunia imajinasi adalah semesta metafora yang menghubungkan dunia konkret dengan dunia ideal, sehingga pemahaman yang benar membutuhkan penafsiran yang lebih mendalam dan intuitif.
Di sisi lain, dalam pandangan Kant, tindakan Ibrahim mungkin tidak dapat dibenarkan secara moral karena tidak sesuai dengan prinsip universalitas yang ia tekankan. Kisah ini, dalam analisis Kant, menunjukkan pentingnya menilai tindakan berdasarkan prinsip moral yang dapat diterapkan secara umum dan tanpa pengecualian. Dengan demikian, kisah Ibrahim menjadi titik tolak untuk merenungkan batasan antara ketaatan agama dan prinsip moral universal, serta pentingnya rasionalitas dalam menentukan tindakan yang benar secara etis. (Habis).
Editor: Soleh