Inspiring

Ketika Pak AR Memindah Shalat Ied ke Lapangan

6 Mins read

Di desa Banaran, Pak AR terlibat aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Sewugalur. Pak AR giat menggerakkan pengajian-pengajian. Pak AR juga memelopori shalat Ied di lapangan. Cara Pak AR memindahkan shalat Ied dari masjid ke lapangan cukup unik. Sebab tradisi pada waktu itu umat Islam di Banaran kalau shalat Ied selalu di masjid.

Sementara itu tokoh agama yang menjadi panutan adalah Kyai Abu Amar, mertuanya sendiri. Untuk mengubah tradisi shalat dari masjid ke lapangan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah itu, jauh-jauh hari Pak AR purapura menanyakan kepada Kyai Abu Amar, mertuanya, tentang pengertian hadits yang isinya menerangkan, bahwa Rasulullah kalau shalat hari raya selalu di lapangan kecuali dalam keadaan hujan.

Dan juga hadits yang menjelaskan dalam shalat hari raya supaya ibu-ibu dan anak-anak dianjurkan ikut shalat hari raya. Pertanyaan itu dijawab oleh Kyai Abu Amar seperti yang terkandung dalam matan hadits itu. Hanya saja beliau menyatakan kalau masjid masih cukup ya di masjid saja, kecuali kalau masjid sudah tidak cukup, perlu dipindahkan ke tanah lapang.

Maka, sebulan sebelum hari raya, Pak AR berkeliling ke seluruh pelosok desa dan selalu menjelaskan maksud hadits yang didiskusikan dengan mertuanya (Kyai Abu Amar) itu. Dan seminggu sebelum Hari Raya tiba Pak AR keliling desa lagi menggerakkan supaya semua umat Islam laki-laki dan perempuan shalat hari raya di masjid dengan mengajak seluruh keluarga (suami-istri dan anak-anak).

***

Sehingga, ketika shalat hari raya tiba, karena semua penduduk datang ke masjid untuk shalat hari raya, masjid menjadi penuh sesak dan melimpah sampai ke halaman dan seluruh lingkungan masjid.

Melihat masjid yang penuh sesak, laki-laki dan perempuan berhimpitan dan banyak sekali jamaah yang tidak bisa masuk masjid, Kyai Abu Amar memanggil Pak AR dan berkata “Mas, kalau begini shalatnya jadi suk-sukan laki-laki perempuan, makruh. Sebaiknya kita shalat di luar, di lapangan”. Kata Pak AR, “Saya setuju, tapi Bapak saja yang memerintahkan, sebab kalau saya yang memerintahkan tidak akan ditaati”.

Kemudian Kyai Abu Amar berfatwa, karena jamaah sangat banyak, dan kalau laki-laki perempuan itu berhimpitan makruh, maka shalat hari raya dipindahkan ke lapangan. Dan sejak itu shalat hari raya selalu dilakukan di lapangan.

Pada waktu masih di Banaran, waktu itu kakak tertua Pak AR, Saebani Mangunsemedi yang menjabat Lurah Bleberan, sedang Pak AR menjabat ketua RT. Ketua RT bertugas membantu Lurah sebagai “perjuangan”.

Baca Juga  Santri-santri Modernis di Era Revolusi

Jabatan itu digunakan Pak AR sewajarnya, artinya, sebagai RT Pak AR membangkitkan semangat persaudaraan, tolong-menolong, gotong-royong, kegiatan sosial, menggerakkan kerja bakti kebersihan, perbaikan parit, jalan, masjid dan mushala melalui pengajian-pengajiannya. Dengan kegiatannya itu Pak AR menjadi cukup dikenal.

Ketika terjadi proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Pak AR masih tinggal di desa. Saat itu bersama warga desa ikut bergerak, masuk menjadi anggota BKR (Badan Keamanan Rakyat) di kecamatan.

***

Pak AR ikut mendukung perjuangan kemerdekaan dengan memberikan tempat tinggal, menyediakan kebutuhan pangan bagi para pejuangan, juga lauk pauk (seperti srundeng, ikan asin, kering tempe, dan lain-lain), juga rokok dan keperluan-keperluan lain yang terdapat di desa itu.

Pada tahun 1946, ketika di desanya diadakan penggabungan kelurahan-kelurahan yang penduduknya hanya 200-300 KK. Kelurahan tempat Pak AR tinggal termasuk luas menjadi lurah memberitahu kepada Pak AR, bagaimana kalua kelak Pak AR yang memegang jabatan lurah.

Pak AR menjawab, setuju saja kalau kakak-kakaknya yang sepuh (tua) tidak ada yang mau jadi lurah. Apabila kakak-kakaknya ada yang bersedia menjadi lurah, maka Pak AR mempersilahkannya.

Alasan itu disampaikan kepada kakaknya itu karena dirinya masih lebih muda walaupun usianya waktu itu sekitar 30 tahun. Ketika diadakan pemilihan calon lurah, Pak AR mendapat 900 suara lebih. Dengan perhitungan itu dirinya termasuk nominasi calon lurah.

Kakak ipar Pak AR, Mohammad Darobi, carik kelurahan, juga sebagai calon lurah hanya mendapat 600 suara. Untuk menjadi lurah, paling tidak harus mendapat 300 suara.

Waktu itu suara yang diperoleh Pak AR tertinggi, sebab sebagai Ketua RT ia selalu berhubungan dengan rakyat. Meskipun memperoleh suara terbanyak beliau mengundurkan diri karena tidak mau bersaing dengan kakak iparnya. Tentu saja H.

Saebani Mangunsemedi, lurah yang lama sangat kecewa, oleh karena beliau mengharapkan betul agar adiknya (Pak AR) lah yang menggantikannya.

Waktu itu jabatan yang akan diisi adalah lurah, carik, kamituwa, jogoboyo, dan kebayan. Kelima pejabat kelurahan ini tidak digaji, sebagai imbalan mereka mendapat tanah bengkok. Waktu itu ada 12 dari 15 calon yang akan dipilih.

***

Setelah para calon masuk, kemudian diadakan pemilihan yang diurutkan dari usia. Karena paling tua, kakak iparnya yang ditanya lebih dahulu, apakah sanggup dan mau menjadi lurah. Kakaknya itu mengatakan bersedia dan sanggup dicalonkan. Selanjutnya setiap calon satu persatu ditanya, dan sampailah kepada gilirannya kepada Pak AR.

Baca Juga  Buya Syafii dan Bahasa Kritik tanpa Tedeng Aling-Aling

Waktu ia ditanya menyatakan tidak bersedia diangkat, karena waktu itu kakak iparnya (M. Daerobi) sudah mengatakan bersedia. Apabila kakaknya mengatakan tidak bersedia dicalonkan, maka Pak AR akan mengatakan bersedia.

Mengapa Pak AR bisa meraih suara terbanyak walau masih muda? Orang melihat bahwa Pak AR dikenal sebagai pekerja wilayahnya, penduduknya ada 1200 KK. Akan tetapi, desa Pak AR tidak disatukan dengan desa lainnya, hanya diganti lurahnya.

Kakak Pak AR yang keras, human relation-nya bagus, komunikasinya dengan semua orang lancar, dengan yang tua bersikap hormat, dengan yang muda menghargai, ramah kepada setiap orang, dan suka menolong siapa saja.

Pak AR juga dikenal sebagai orang yang jujur, tidak pernah nguntet (korupsi). Selalu mendahulukan orang lain. Tiap bulan Pak AR memimpin pengajian dengan nama “Pengajian Rakyat”. Setiap tahun, Pak AR bersama kakaknya, yang menjadi Lurah, menggerakkan zakat sampai terkumpul empat ton yang dibagikan kepada rakyat saat paceklik.

Demikian juga jika tiba hari raya Idul Adha, maka Pak AR selalu menggerakkan masyarakat untuk menjalankan ibadah kurban. Berkat komunikasi yang intensif dari hati ke hati sampai satu desa terkumpul 42 ekor kambing. Dalam hal perayaan hari kurban itu Pak AR menjadi pimpinan pembagian tersebut. Tiap-tiap dukuh didatanginya.

***

Orang-orang yang miskin didaftar untuk disantuni. Itulah yang membuat mereka bersimpati kepadanya dan menyebabkan pemilihan calon lurah meraih suara terbanyak. Seperti telah dikatakan sebelumnya, kalau kakak Pak AR bersedia dicalonkan, maka ia tidak mau.

Dasar pertimbangan sikap Pak AR itu karena ia masih muda, dan dengan umur yang masih muda itu ia dapat mencari pekerjaan yang lain. Dengan jawaban Pak AR demikian itu semua orang yang mendengarnya menjadi kaget, dan gelo (kecewa). Demikian juga dengan kakaknya yang bekas lurah itu. Akhirnya, kakak ipar Pak AR itu benar-benar ditetapkan menjadi lurah.

Kemudian Pak AR ditawari untuk menjadi carik, tetapi jabatan itu juga ditolaknya, karena menjadi seorang carik harus selalu berkantor dan tekun di kelurahan.

Pak AR lebih memilih untuk menjadi kamituwa, wakilnya lurah yang bertugas di bidang sosial, seperti kesra yang mengurusi masalah-masalah sosial. Pak AR merasa ayahnya hanyalah seorang kyai. Oleh karena itu mungkin sebagai anak kyai dianggap baik dan cocok untuk mengurusi masalah sosial.

Setengah tahun kemudian ada ujian naib penghulu di Kantor Urusan Agama. Hal itu beliau ceritakan kepada kakak tertuanya (H. Saebani Mangunsemedi), dan meminta pertimbangan kepada kakaknya itu, bagaimana kalau dirinya ikut ujian naib penghulu tersebut.

Baca Juga  Ketika Al-Ghazali Membela Al-Hallaj

Setelah kakaknya tahu bahwa pekerjaan itu adalah naib penghulu itu, maka H. Saebani mengatakan agar tidak usah saja mengikuti ujian itu, dan menyarankan Pak AR tetap menjadi kamituwa saja.

Tiga bulan kemudian ada ujian penghulu, dan hal ini disampaikan lagi kepada kakaknya. Setelah tahu bahwa Pak AR akan menjadi penghulu, kakaknya mengizinkan, tetapi ia harus mendapat restu juga dari kakak iparnya yang sudah menjadi lurah. Setelah mengetahui yang dikehendaki adiknya, kakak iparnya, Sang Lurah, merestui dan berharap mudah-mudahan Pak AR bias diterima.

***

Dalam hal ini Pak AR selalu meminta restu kepada kakak-kakak, karena ayahnya sudah meninggal. Walhasil, Pak AR ujiannya lulus, diterima dan diangkat sebagai penghulu di Adikarta (Wates). Waktu itu, di Kulonprogo ada dua kabupaten di Adikarta (Wates), dan di Sentolo (Kulonprogo).

Pak AR ditetapkan menjadi penghulu, kepala Kantor Urusan Agama (KUA), di Kulonprogo pada tahun 1947. Tidak lama kemudian Pak AR, pindah rumah, mendekati kantor tempat tugas dinasnya, berpindah ke Sentolo.

Ketika pemberontakan PKI Madiun meletus pada tahun 1948 yang disusul terjadinya Clash Belanda pada 19 Desember 1948, Pak AR ikut bergerilya melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Pada akhir tahun 1949, perlawanan terhadap Belanda selesai. Pak AR pindah ke kota Yogyakarta, pada tahun 1950, menjadi pegawai Kantor Jawatan Agama DIY di Kepatihan. Mulai saat itu Pak AR menjadi orang kota dan tinggal di Kauman.

***

Walaupun Pak AR berasal dari desa, tetapi sering dianggap sebagai orang kota, karena Pak AR bisa melebur dan berintegrasi dengan penduduk Kauman serta mendekati dan belajar kepada para kyai/ulama di Kauman. Selama tinggal di Kauman Bapak-bapak Pimpinan Muhammadiyah beliau anggap seperti orang tua dan guru sendiri.

Segala perintah beliau-beliau, seperti memberi pengajian di kampung-kampung, dikerjakan oleh Pak AR dengan senang hati. Mungkin, karena orang menganggap bahwa Pak AR dapat
berpidato, ia sering diminta mengisi pengajian mengisi hari-hari besar Islam, memberi nasihat untuk perkawinan atau pelepasan jenazah saat akan diberangkatkan ke makam.

Pak AR juga sering diutus oleh PP Muhammadiyah untuk memberikan ceramah di Kebumen, Purworejo, Magelang, Kulon Progo, Gunung Kidul, Sleman, Pemalang, Klaten dan di Cabang-cabang Muhammadiyah sekitar Yogyakarta.

Dengan demikian nama Pak AR semakin menjadi populer dan semakin nasional di kalangan orang Muhammadiyah. Waktu itu yang memimpin Muhammadiyah antara lain HM Yunus Anis, Kyai H. Ahmad Badawi, Kyai H. Sujak dan KH. Farid Ma’ruf dan lain-lain

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds