Perspektif

Ketika Semua Tidak Seperti Biasanya

3 Mins read

Kita semua jelas sangat tidak siap dengan satu hal yang terjadi di Bumi Pertiwi saat ini. Semuanya berubah dengan cepat di luar kendali, semuanya berubah tidak seperti biasanya. Pandemi yang kita hadapi menghadirkan keresahan tak berkesudahan yang membuat kita terus bertanya-tanya, “sampai kapan?” Dan seakan-akan kita dipaksa sepakat untuk hal ini, “biarlah waktu yang akan menjawabnya.” Padahal, semua hal menjadi tidak seperti biasanya.

Tidak Seperti Biasanya

Di awal tahun 2020, kemunculan Covid-19 menjadi topik hangat di banyak media di berbagai negara, tanpa terkecuali di Indonesia. Lalu pada bulan Maret, Indonesia menjadi satu di antara 160 lebih negara di seluruh dunia yang tanpa diduga-duga harus menerima kedatangan wabah Covid-19. Tentu, kedatangannya amat sangat tidak dinantikan siapapun. Jika kita bisa melakukan satu tindakan dengan tegas, sudah pasti seisi bumi ingin mengusirnya ke antah berantah. 

Saat ini (23/5), sudah lebih dari 20.000 ribu orang dinyatakan positif terserang virus Covid-19, lebih dari 5000 orang dikabarkan sembuh, dan lebih dari 1000 orang dinyatakan meninggal dunia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintahan untuk meminimalisir bahkan memutus rantai persebaran Covid-19. Di mana banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan yang berdampak di dalam keseharian kita. Seperti ibadah, belajar, hingga bekerja dari rumah.

Bukan hanya itu, pandemi juga berdampak pada beragam tradisi yang secara tidak langsung harus tunduk pada ketetapan pemerintah, terlebih di saat datangnya Hari Raya Idul Fitri. Langkah ini dipilih pemerintah agar pandemi Covid-19 segera berakhir dan tidak lagi menjadi momok yang menghantui setiap hari.

Ibadah, Kerja, dan Belajar di Rumah

Ibadah di rumah menjadi poin besar yang diperuntukan semua umat beragam di Indonesia tanpa terkecuali. Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang tidak mematuhi aturan ini. Terkhusus bagi umat muslim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengeluarkan fatwa untuk ibadah di rumah sebagai bentuk peringatan pentingnya beribadah meskipun hanya dilakukan di rumah.

Baca Juga  Kartu Pra Kerja: Apakah Efektif Untuk Mengatasi Pengangguran?

Semua kegiatan shalat berjamaah di masjid maupun mushala ditiadakan. Shalat wajib lima waktu, shalat Jum’at, Tarawih, hingga shalat Idul Fitri. Karena berkumpulnya orang-orang di dalam suatu tempat ditakutkan akan mempermudah persebaran virus Covid-19.

Kemudian bekerja dari rumah. Sektor pekerjaan bersinggungan langsung dengan sektor perekonomian, dan ini bukan perkara mudah untuk diselesaikan. Pandemi membuat para pegawai harus mengerjakan segalanya dari rumah. Bahkan, tidak sedikit para pekerja terpaksa harus dirumahkan hingga di-PHK masal.

Dunia pendidikan juga terpaksa harus kalah di tangan pandemi. Semua kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring. Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, memberikan sesuatu yang berbeda untuk mereka yang akan lulus dari jenjang pendidikan di tahun ini. Ujian Nasional ditiadakan.

Pembelajaran daring juga tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua pelajar dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik. Beberapa faktor di antaranya adalah perangkat belajar (ponsel atau laptop) dan kebutuhan akan koneksi internet yang tidak memadai.

Tidak Ada Mudik Kali Ini

Anjuran pemerintah yang satu ini jelas sangat berat untuk diterima bagi sebagian orang. Ya, mudik. Setelah pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata masih ditemukan banyak masyarakat kita yang memilih untuk kembali ke kampung halaman, Dan tentu saja hal ini sempat menuai kontroversi.

Yang tidak kalah menariknya adalah bagaimana perbincangan mudik ini menjadi sorotan. Pertanayaan besar muncul ketika Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa mudik adalah hal yang berbeda dengan pulang kampung. Berbagai platform media sosial mulai gaduh dengan pernyatan Bapak Presiden tersebut.

Tapi, peraturan tersebut seharusnya dapat kita indahkan. Kita harus mengikhlaskan untuk tidak bertemu dengan keluarga dan sanak saudara untuk kali ini saja.

Baca Juga  Jangan Jadi "Muhammadiyah Garis Nesu"!

Lebaran Tanpa Halalbihalal

Hari Raya Idulfitri adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi umat muslim setelah menjalankan puasa sebulan penuh. Saling memaafkan adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh luput di hari yang suci ini, yakni halalbihalal.  Biasanya, halalbihalal menjadi momen haru yang penuh dengan derai air mata. Sebuah momen untuk mensucikan diri, mengakui kesalahan, hingga memafkan orang lain menjadi inti pentingnya halalbihalal.

Lebaran kali ini nampaknya akan berbeda dari lebaran sebelumnya. Lebaran kali ini akan kita lakukan tanpa halalbihalal. Seperti anjuran yang disampaikan oleh World Health Organization (WHO), kita harus mengurangi kontak fisik seperti berjabat tangan dengan orang lain, dan menggantinya dengan melambaikan tangan atau mengadu siku.

Namun, itu bukan berarti kita tidak bisa saling memberi atau meminta maaf. Kita dapat memanfaatkan beberapa kecanggihan fitur di ponsel yang kita miliki. Pesan singkat, chat, dan video call menjadi media yang mempermudah kita untuk bertemu meski jarak dan keadaan tidak memungkinkan.

***

Pandemi memaksa kita untuk melakukan segala kegiatan tidak seperti biasanya. Banyak hal yang membuat kita harus beradaptasi dan membiasakan diri dengan berbagai hal baru. Dan kita tetap harus melakukan kewajiban sesuai dengan apa yang sudah diatur maupun ditetapkan. Karena waktu tidak akan berhenti hanya karena kita mengeluh. 

Kesehatan dan keselamatan diri kita menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, kesadaran diri kita sendiri yang akan menjawab bagaimana kemenangan itu akan tiba di hari mendatang. Karena cepat atau lambat kita harus yakin, bahwa pandemi ini akan berakhir.

Editor: Nabhan

1 posts

About author
Mulai keasyikan membaca dan menulis setelah lulus dari SMA. Menyukai musik, fotografi, dan sepak bola.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds