Tarikh

Sejarah Jilbab sebagai Bentuk Perlawanan

4 Mins read

Di tengah semaraknya hari raya Idulfitri, dengan adanya pandemi beredar banyak video tiktok yang memakai jilbab sebagai salah satu properti wajib. Fenomena ini mengingatkan saya pada sejarah jilbab berdasar cerita Ibu tentang bagaimana sulitnya seorang wanita tahun 70-an memakai jilbab di khalayak umum. Ibu saya yang tinggal di salah satu desa di pelosok Kabupaten Karanganyar saat itu adalah satu-satunya muslimah yang memakai jilbab di desanya.

Sejarah Jilbab dan Bentuk Perlawanan

Hal ini karena beliau mendapat privilage Pendidikan yang lebih tinggi yaitu menjadi salah satu mahasiswi di UM Surakarta.  Ini menandakan bahwa sejarah jilbab bukanlah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi melainkan melalui proses sejarah yang panjang dengan segala tetek bengeknya.

Sebagai generasi muda yang hidup di zaman di mana kerudung lebih dikenal sebagai komoditi di bidang fashion, penting kiranya mengkaji ulang sejarah jilbab di indonesia agar Kembali menemukan nilai-nilai dalam berjilbab dengan utuh, sehingga tidak hanya difahami sebagai properti untuk membuat Video tiktok.

Hingga 1970-an, jilbab –pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan– belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke Pundak dengan leher masih terlihat. khas foto-foto jadul yang sering kita lihat,  

Selain Ibu Negara Fatmawati yang saat itu menarik perhatian dengan memakai krudung dalam berbagai kesempatan, istri-istri ulama juga turut menandai model penutup kepala bagi wanita muslim awal serta Kelompok Islam  sampai tahun 1970-an kerudung mulai muncul dan dikenal oleh beberapa kalangan kecil masyarakat Indonesia maka jilbab  masih terdengar aneh di telinga masyarakat Indonesia.

Peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Mencatat jilbab baru mulai dikenal pada 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran, 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran mendorong rasa solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia.

Baca Juga  Murad II: Sultan di Balik Penaklukan Wilayah Balkan

Pada 1980-an,–tulis Wiwiek Sushartami dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul Representation and Beyond: Female Victims in Post Suharto Media, kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa muslim mulai berkembang. Hal ini dibarengi dengan penerbitan buku-buku Islam yang menyebar luas di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Pengaruh Revolusi Iran

Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan menyebar lewat kelompok diskusi mahasiswa Islam. Hal itu mendorong para aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan jilbab. “Setelah Revolusi Iran, identitas Islam hadir bukan hanya merespons konteks nasional tapi internasional,

“Gerakan kampus mulai berkembang akibat pengaruh gerakan Islam dari Timur Tengah, khususnya Persaudaraan Islam (Islam Brotherhood) makin merebak tahun 1980-an. Itu yang mempopulerkan model jilbab”.

Makin populernya penggunaan jilbab membuat pemerintah, yang kurang bersahabat terhadap dunia Islam, melarang penggunaannya di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82. Keputusan itu memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam.

Puncaknya adalah perlawanan melalui pementasan salah-satu puisi budayawan kondang indonesia yaitu Emha Ainun Najib yang didukung jamaah masjid Shalahuddin Universitas Gajah Mada (UGM)  jilbab yang menemukan momentum puncaknya pada pertengahan tahun 1990-an.

Cak Nun yang keliling Indonesia mementaskan Lautan Jilbab,  Sejak saat itu, jilbab bukan lagi sebagai “barang” yang menakutkan jilbab timbul sebagai suatu simbol perlawanan yang unik dan romantis, Jilbab  menjadi petanda lahirnya sebuah Gerakan, isi sajak itu di antaranya;

Para malaikat Allah tak bertelinga,
Tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab.
Para nalaikat Allah tak memiliki mata,
Tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab.
Para malaikat Allah tak punya jantung,
Tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi.
Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya,
Tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara

“ini tidak main-main! Ini lebih dari sekedar kebangkitan sepotong kain”.

Seperti halnya karya Emha yang lain, membaca syair pada puisi Lautan Jilbab, kita menemukan daya magnetik. Mampu menggetarkan ghirah spiritualitas. “Jilbab” yang awalnya sebagai identitas tersembunyi, bergerak menjadi identitas yang ditampilkan. Tak ada ketakutan apalagi keraguan dari muslimah Indonesia untuk memilih beraktivitas dalam kehidupan dengan mengenakan jilbab.

Baca Juga  Praktik Toleransi di Masa Dinasti Fatimiyah

Jilbab dan Kekuasaan

Tak berlebihan juga untuk mengatakan, dibalik jilbab yang dikenakan terkandung makna hadirnya sebuah harapan akan kehidupan yang lebih manusiawi dan berketuhanan. Hidup yang menghargai martabat kemanusiaan sebagai manusia  yang mana manusia tidak hanya di nilai sebagai pusat eksploitasi kaum patriarkhi saat itu tetapi mampu berkolaborasi dalam perbedaan tanpa di kotak-kotakan melalui  aspek Gender.

Pada 1991 pemerintah akhirnya mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum yang sebelumnya ada pelarangan. Hal itu tak bisa dilepaskan dari mendekatnya Soeharto ke kalangan Islam setelah “pecah kongsi” dengan LB Moerdani.

Pasca-reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka (pakaian muslimah bercadar).

“Karena terbukanya kondisi pasca-Reformasi, kehadiran jilbab menjadi politik identitas yang memfasilitasi munculnya berbagai ekspresi. Artinya, banyak kelompok punya berbagai cara mengekspresikan identitas keislamannya, mulai dari yang politis sampai untuk kesalehan, atau yang jilbabnya besar sampai cadar untuk menandakan eksistensi suatu pemahaman di negara kita.

Meski masih memegang arti penting secara politis, motif penggunaan jilbab sudah beragam. Jilbab tak lagi sebatas simbol pengabdian terhadap keyakinan beragama dan perlawanan pada suatu rezim, ia juga hadir sebagai ekspresi status kelas dan kesadaran mode.

Mengembalikan Nilai Spritual Jilbab

Dulu, awal 1980-an yang berjualan jilbab masih jarang. Di era ini jilbab dengan berbagai model dijual bebas dengan berbagai varian model yang tidak ada habisnya. Hal ini tentu baik secara ekonomi tetapi sudah seharunya tidak menghilangkan nilai kesakralan jilbab yang hadir dengan proses panjang.

Baca Juga  Runtuhnya Khilafah, Munculnya Gerakan Islam

Maka dengan kajian sejarah tentang jilbab setidaknya kita dapat mengkolaborasikan antara aspek nilai kebaikan yang dibawa jilbab dengan berbagi nilai yang berkembang. Seperti fashion, ekonomi, pendidikan, hingga dan akhlak.

Sehingga, jilbab tidak hanya dipandang sebagai properti Tiktok dengan mengabaikan aspek kesakralan yang terkandung. Itulah yang disebut sebagai hibridasi antara nilai suatu budaya dan tradisi dengan perkembangan zaman yang bergerak dinamis.

Wallahua’lam Bissawab.

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Saya Zahid Robbani, asal Dumai Riau; Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *