Asinonimitas Al-Qur’an
Adalah Muhammad Shahrur dalam, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âshirah mengupas tentang beberapa pengertian, perbedaan, dan relasi istilah-istilah yang berhubungan dengan Alqurân, seperti al-Kitâb, Umm al-Kitâb, al-Dzikr, al-Sab’ al-Matsâni, al-Nubuwwah, al-Risâlah, al-Inzâl, dan al-Tanzîl.
Bahasa Al-Qur’an memiliki keunikan. Shahrur menggunakan istilah-istilah khas untuk menolak eksistensi sinonim dalam Alqur’an. Karena setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna yang khas. Shahrur mengajukan asinonimitas yang memegang peran yang cukup penting dalam memahami teks-teks keagamaan.
Shahrur membagi al-Qur’ân, atau dalam bahasa Shahrur al-Kitâb ke dalam tiga macam kelompok ayat, yaitu: (1) al-kitâb al-muhkam (Umm al-Kitâb); (2) al-kitâb almutasyâbih(al-Qur‟ân dan al-Sab’ al-Matsâni); dan (3) al-kitâb lâmuhkam wa lâ mutasyâbih (Tafshîl al-Kitâb) (Lihat Shahrur dalamal-Kitâb wa al-Qur’ân, 1990: 55).
Shahrur sendiri membedakan antara Alqur’an dan mushaf. Dua istilah yang dianggap sinonim ini, bagi Shahrur memiliki aksentuasi (penekanan) yang berbeda. Hal ini terlihat dari segi kebahasaan (lughawiyah).Shahrur membahasakan mushaf dengan istilah Al-Kitab, yaitu tema (maudhu’) atau himpunan dari berbagai tema.
Secara bahasa, lafal kitab dalam bentuk nakirahnya (indifinite) tidak merujuk kepada seluruh kandungan mushaf. Hal ini berbeda dengan lafal kitab ketika berbentuk ma’rifah (definite) dengan tambahan lam ta’rif menjadi Al-Kitab. Maknanya merujuk kepada seluruh himpunan tema-tema yang diwahyukan kepada Muhammad SAW. Dengan analisis ini, Shahrur lebih memilih menyebut mushaf yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Al-Kitab, karena memiliki sejumlah muatan kitab atau tema tertentu yang sangat banyak.
Shahrur merumuskan beberapa istilah dan kata kunci dalam al-Kitâb yang selama ini dianggap sebagai nama lain atau sinonim dari al-Qur’ân. Mushaf Utsmani yang populer dikenal dengan sebutan Alqur’ân, oleh Shahrur disebut al-Kitâb. Istilah al-Kitâb berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa hal satu sama lain dengan tujuan untuk memperoleh satu makna yang berfaedah atau untuk memperoleh topik tertentu guna mendapatkan pemahaman yang sempurna (h.51).
Bila muncul dalam bentuk ma’rifah, Al-Kitâb berarti kumpulan berbagai tema permasalahan yang diterima Muhammad sebagai wahyu, yaitu seluruh ayat yang termuat dalam lembaran lembaran mushaf dari surat al-Fâtihah hingga surat al-Nâs. Sedangkan al-Qur’ân, merupakan bagian dari mushaf, yang merupakan kumpulan tata aturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan.
Pewahyuan Al-Kitab inilah yang membentuk Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Rasul sekaligus Nabi. Muatan tema (kitab) dalam mushaf (al-kitab) menurut Shahrur dapat diinventarisasi dalam dua tema besar, yaitu: tema yang mencakup unsur-unsur kenabian (nubuwwah) atau disebut juga kitab an-nubuwwah, dan tema yang mencakup unsur-unsur kerasulan (risalah) atau disebut juga kitab ar-risalah. Dengan demikian, konsepsi umum Al-Qur’an dalam pandangan Shahrur bergeser sedikit dari pandangan umum ulama. Menurutnya, Alqur’an adalah sebuah tema, sedangkan mushaf atau Al-Kitab adalah kumpulan dari berbagai tema yang ada di dalamnya.
Perbedaan Nubuwah dan Risalah
Pembagian dan gagasan muatan mushaf ini dituliskan secara tegas oleh Shahrur: “Dan karena Rasulullah SAW adalah seorang rasul sekaligus Nabi, maka kitab—wahyu—yang diwahyukan kepadanya mencakup risalah dan nubuwwah-nya. Maka risalah adalah kumpulan pemberitahuan yang mewajibkan manusia terikat dengannya, meliputi: ibadah, mu’amalah, akhlak, halal-haram yakni sebagai taklif (kewajiban yang dipertanggung jawabkan). Dan nubuwwah yakni kumpulan penjelasan-penjelasan yang memuat pemberitahuan kauniah dan sejarah, haq-bathil.”
Karena itu, maka Al-Kitab memuat dua kitab pokok: Kitab pertama, kitab nubuwwah yang memuat penjelasan atas hakikat kejadian obyektif dan membedakan haq dan bathil atau hakikat dan keraguan. Kitab kedua, kitab risalah yang meliputi kaidah-kaidah tabi’at kemanusiaan dan membedakan halal-haram.” (h.56)
Kitab an-nubuwwahmerupakan muatan mushaf terbagi menjadi dua: Al-Qur’an dan as-Sab’ al-Mathani. Secara garis besar, tema-tema ini mengandung pembahasan mengenai pengetahuan alam, sejarah, dan bukti hakikat eksistensi objektif yang diwujudkan dalam ayat-ayat mutasyabihat (dinamis). Dengan kata lain, menurut Shahrur memiliki definisi sendiri mengenai Al-Qur’an, yaitu sebagai bagian dari mushaf Al-Kitab,dan bagian dari tema wahyu kitab an-Nubuwwah.
Shahrur mengutip Q.S. Al-Baqarah: 185 yang menjelaskan mengenai Al-Qur’an yang diturunkan sekaligus dalam bahasa Arab pada bulan Ramadan sebagai Al-Huda dan Al-Furqan, bukan sebagai penentu halal-haram. Dalam istilah “al-Qur’an”, tidak terdapat hal-hal yang berkaitan dengan perilaku manusia, seperti: ibadah, akhlak, nasehat serta yurisprudensi Islam. Karena itu, al-Qur’an menurut Shahrur memberikan petunjuk kepada manusia, sedangkan Al-Kitab (al-Qur’an dalam konsepsi umum) memberikan petunjuk kepada orang Islam (muttaqin). Dalam hal ini Shahrur menulis:
“Kembali kepada firman Allah SWT di awal surat Al-Baqarah, “itulah al-kitab tiada keraguan didalamnya, petunjuk bagi orang yang bertaqwa” dan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah “bulan Ramadan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas dari huda dan furqan (h.57).
Kita perhatikan ketika menyebut kata “al-Kitab” itu mengarah kepada petunjuk bagi orang yang bertakwa, karena dalam kitab itu memuat hukum-hukum, ibadah, mu’amalah dan akhlak, ada nilai ketakwaan yang disandarkan pada al-Qur’an. Kketika menyebut Al-Qur’an, dilanjutkan dengan ungkapan “petunjuk bagi manusia”. Lafal manusia mencakup orang yang betakwa maupun yang tidak, maka orang yang bertakwa adalah bagian manusia, namun tidak semua manusia itu bertakwa, dan inilah poin keharusan untuk membedakan antara Al-Kitab dan Al-Qur’an.”
Adapun dalam kitab al-risalah merupakan muatan mushaf dalam bagian ini terdiri dari kitab ayat muhkamat, atau disebut juga dengan umm Al-Kitab (induk kitab). Secara garis besar, tema-tema dalam kitab ini berisikan kaidah moralitas bagi manusia, berupa ibadah, muamalah, dan akhlak. Lebih spesifik lagi, kitab yang berisi risalah Muhammad SAW. Risalah terdiri dari tiga bagian utama: ibadah (ritual), akhlak (suluk al-insani) dan undang-undang (hukum).
Arah semantik pembagian muatan tema yang ada dalam mushaf (al-kitab) serta pembacaan ulang beberapa istilah kunci yang selama ini dipahami sinonim, bagi Shahrur menjadi agenda interpretasi yang penting. Istilah tersebut pada kenyataannya membawa muatan makna masing-masing, yang secara spesifik bisa dibilang terkait, namun terdapat pula makna aksentuatis yang perlu diperhatikan.