Falsafah

Keutamaan Akal dalam Islam Menurut MT Misbah Yazdi

4 Mins read

Pertarungan bangunan epistemologi Islam merupakan sesuatu yang telah berlangsung cukup lama. Disamping menciptakan dasar-dasar bagi kebenaran agama serta membantu memecahkan persoalan teknis ritual, kenyataannya terdapat masalah yang masih tersisa olehnya.

Hal ini direkam dan dianalisa panjang lebar oleh Prof. Abed Jabiri, pakar sejarah dan bahasa Arab dari Maroko, dalam karya masterpiece beliau, Takwinul Aql Al Arobi. Sebagaimana yang ia tunjukkan, pada akhirnya kemenangan di peroleh oleh epistemologi bayani yang tekstualis bersama dengan epistemologi irfani yang sufistik. Namun hal itu dengan kerugian pada kekalahan epistemologi burhani yang rasionalistik demonstratif.

Rupanya persoalan itu juga menarik perhatian Prof. M. T. Mishbah Yazdi, seorang filsuf kontemporer muslim dari Iran. Menariknya, Mishbah Yazdi memberikan jawaban bagi kegundahan Jabiri. Dalam pandangan Mishbah Yazdi, epistemologi Bayani merupakan epistemologi utama yang tidak hanya penting bagi konstruksi pengetahuan, namun juga pandangan dunia muslim yang benar.

Perspektif beliau sangat menarik, karena memberi alternatif bagi diskursus epistemologi dan pandangan dunia yang cenderung didominasi S. M. N. Alattas yang ghazalian. Tentu, disitu yang muncul adalah justifikasi bagi pandangan dunia muslim yang deterministik dengan kuasa epistemologi bayani dan irfani sebagaimana telah diyakini mayoritas muslim sunni.

Berangkat dari persoalan di atas, tulisan ini ingin mengulas argumen-argumen Mishbah Yazdi dalam mendukung tesis keutamaan burhani. 

Keutamaan Akal bagi Modus Pengetahuan Bayani

Argumen pertama yang diajukan oleh Mishbah Yazdi ialah kebutuhan dari semua usaha ilmiah dan religius kepada akal. Bahwa mustahil untuk mencapai pemahaman teks Al-Qur’an dan As-sunah tanpa menggunakan akal serta patuh terhadap kaidah-kaidah berfikir yang benar. Hanya dengan demikian maka seseorang dapat memproduksi pemahaman yang benar dari segala jenis sumber pengetahuan.

Baca Juga  Titik Temu antara Stoikisme, Islam, dan Jawa

Lebih tajam lagi bahwa Mishbah Yazdi menyatakan jika kebenaran pengetahuan keagamaan yang berasal dari teks harus terlebih dahulu diuji dan dinyatakan benar oleh akal. Hal ini penting sebagai basis keyakinan yang kuat dan penerimaan kepada pengetahuan keagamaan yang sungguh-sungguh.

Tentu saja Al-Qur’an dan As-sunnah telah mengandung berbagai bukti-bukti yang mendukung validitas kandungan dan ajaran. Namun, secara logika, harus dibuktikan terlebih dahulu Tuhan dan prinsip tauhid serta Rasul Muhammad dan kenabian beliau. Pembuktian wajibul wujud dan kebutuhan pada penyampai risalah-Nya akan menjadi dasar rasional bagi penerimaan teks agama.

Hal demikian sejatinya dapat kita lihat dari proses pengislaman para sahabat awal. Mereka tidak memiliki kesempurnaan teks karena Al-Qur’an sedang dalam proses pewahyuan. Namun, mereka dapat meyakini kebenaran ajaran Islam karena secara rasional menyadari kebenaran Tuhan Allah yang maha Esa dan Muhammad sebagai pembawa risalah-Nya.

Disebutkan pula oleh Mishbah Yazdi bahwa aktivitas interpretasi teks agama pasti membutuhkan kepada akal. Contoh yang ia sebut dalam konteks analogi atau qiyas pada wilayah fiqih. Akal harus telah dilatih untuk mampu menarik kesamaan dari dua kasus yang berbeda, lantas menghukumi kasus yang lain itu dengan hukum yang sama. 

Keutamaan Akal bagi Modus Pengetahuan Irfani 

Pengetahuan irfani adalah modus pengetahuan yang umum dikuasai para pelaku jalan kebatinan seperti sufisme. Ia dipahami sebagai kehadiran dari hakikat suatu hal yang ingin diketahui langsung dalam batin seseorang, tanpa perantara indra dan analisa akal. Kehadiran hakikat itu secara langsung menjadikan ia tidak mungkin mengalami kekeliruan. 

Masalahnya menurut Mishbah Yazdi ialah pada pengungkapan pengetahuan irfani kepada orang lain. Seringnya, seseorang gagal menyampaikan hakikat sesuatu yang ia ketahui dalam batin dikarenakan ia tidak memiliki penguasaan pada konsep-konsep yang luas dan akal yang terlatih dalam mengolahnya. Akibatnya, ucapannya bisa dianggap sesat dan merusak akidah.

Baca Juga  Membumikan Teologi ala Hassan Hanafi

Toh untuk mencapai kelayakan diri bagi pengetahuan irfani, seseorang musti melakukan laku-laku penyucian diri dan pengenalan Tuhan yang hakiki. Pada yang terakhir inilah menurut Mishbah Yazdi mustahil didapatkan seseorang kecuali melalui jalan akal dan filsafat. Seseorang harus membuktikan baru kemudian mengimani Allah yang wajibul wujud.

Pentingnya Akal bagi Modus Pengetahuan Tajribiyah

Dalam argumen ini, Mishbah Yazdi ingin menangkal keyakinan kebanyakan kaum materialis baik para saintis positivis maupun marxist mengenai keutamaan pengetahuan indrawi dan eksperimental. Menurutnya, pengetahuan indawi memiliki keterbatasan dalam mengungkap pengetahuan. Sebabnya jelas karena pengetahuan indrawi hanya mampu mencapai jenis materi tertentu melalui indra tertentu.

Contoh misalkan indra penglihatan hanya dapat mencapai pengetahuan yang bersifat gambaran-gambaran. Sedangkan indra pendengaran hanya dapat mengetahui informasi yang berupa suara-suara. Pada keduanya mereka hanya membantu manusia untuk mengetahui sesuatu yang bersifat materi dengan karakteristik yang dapat berinteraksi dengan masing-masing indra.

Sayangnya, menurut Mishbah Yazdi, pengetahuan indrawi dan eksperimental gagal mengungkap yang non-materi seperti perasaan dan Tuhan itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa topik-topik non-materi dan berbagai hal lain dalam realitas merupakan objek di luar kapasitas pengetahuan indrawi dan eksperimental.

Terakhir, kata Mishbah Yazdi, pengetahuan indrawi juga merupakan pengetahuan yang tidak bisa berdiri sendiri. Kenyataannya, pengetahuan indrawi membutuhkan akal dalam proses interpretasi. Jika pengetahuan indrawi bersikeras menjadi eksklusif maka yang mungkin muncul hanya kumpulan persepsi-persepsi, bukan bangunan ilmu pengetahuan yang komprehensif.

Argumen Puncak: Akal adalah Kesempurnaan Manusia

Jika kita mengamati tumbuhan, kita akan mendapati kesempurnaan padanya berupa kemampuan untuk tumbuh dan menutrisi diri. Adapun ketika kita mengamati hewan kita akan tahu bahwa kesempurnaan mereka adalah kemampuan bergerak bebas sesuai keinginannya. Namun bagaimana dengan kesempurnaan pada diri manusia?

Baca Juga  Konsep Pendidikan Pranatal Menurut Ibnu Qayyim

Demikianlah pada argumen terakhir ini, Mishbah Yazdi mencoba membuktikan keutamaan akal dari sisi bahwa ia merupakan anugerah dari Tuhan yang menjadikan manusia berbeda dari yang lain. Dalam kata lain, akal menjadikan manusia sempurna. Maka, kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai jika ia menggunakan akal di atas dasar-dasar aturan berpikir yang benar pula.

Bahwa setiap makhluk termasuk manusia akan selalu berupaya mencapai kesempurnaan. Manusia contohnya, mereka belajar untuk menutupi kebodohan dan bekerja untuk keluar dari kemiskinan. Setiap manusia yang sehat pasti menyadari hal ini dan melakukan kedua hal itu untuk mencapai kesempurnaan diri.

Jauh lebih penting lagi bagi Mishbah Yazdi bahwa akal menjadikan manusia memiliki keutamaan potensi yang nyaris tak terbatas. Jika hewan hanya bertindak secara primitif karena dikuasai insting, maka manusia bisa berlaku kreatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini kita ketahui dari kemampuan manusia menciptakan jutaan macam teknologi yang mempermudah hidupnya.

Dari paparan yang telah kami berikan, dapat disimpulkan keutamaan akal dibanding modus pengetahuan lain. Bahwa akal merupakan sesuatu yang selalu berperan dalam setiap usaha mengetahui. Serta, akal merupakan alat mencapai kesempurnaan manusia. Maka, mengembangkan kapasitas akal merupakan kewajiban muslim dalam rangka mencapai pengetahuan dan keyakinan yang benar atas agamanya.

Editor: Yusuf

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds