Falsafah

Kemanusiaan Barometer Keislaman

3 Mins read

Nabi Muhammad diutus ke dunia bukan hanya menyebarkan agama Islam, namun lebih dari itu, beliau juga mengemban misi menegakkan keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan universal bagi seluruh alam. Misi ini terukir indah dalam beberapa surat Al-Qur’an, diataranya surat Al-Maidah ayat 8 dan surat Al Hujurat ayat 13. Islam adalah agama kemanusiaan.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-Hujurat: 13).

Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, hal pertama yang dilakukannya adalah mempersaudarakan penduduk Makkah dan Madinah. Melalui pondasi persaudaraan itulah Nabi Muhammad berhasil membuat sebuah masjid dan aturan keagamaan yang kuat. Semua aturan itu menjadi rujukan pokok bagi setiap orang yang tinggal di Madinah.

Hampir tidak ada perselisihan antara penduduk Muslim dengan Yahudi yang tinggal di Madinah. Semua hidup rukun dalam satu aturan yang sama.

Salah Tafsir Agama Kemanusiaan

Inilah sebenarnya poin utama dari agama Islam. Agama Islam bukanlah agama yang berorientasi kepada nilai ketuhanan semata. Jalan menuju surga bukan semata-mata dicapai dengan ritual keagamaan semata. Namun makna yang terkandung dalam ritual tersebut yang menjadi fokus ajaran agama.

Dalam ajarannya, Allah meletakkan prinsip humanis di atas tatanan teosentris. Sehingga saat Islam datang, tatanan kemanusiaan diletakkan sebagai pondasi awal terbentuknya ketauhidan.

Sayangnya, misi kemanusiaan ini terlalu cepat dilupakan oleh sebagian golongan. Dengan cepat mereka melunturkan sistem kemanusiaan,  dan menggantikannya dengan sistem pengkotak-kotakan agama. Mereka tidak sadar, sistem ketuhanan yang mereka jalankan tidak akan berjalan tanpa sistem kemanusiaan yang kuat.

Baca Juga  Ikhwan Al-Shafa: Upaya Merekonsiliasi Agama dan Filsafat

Sholat tidak bisa dilaksanakan jika semua umat saling bermusuhan. Begitu pula, haji tidak bisa dilakukan bila kondisi negara-negara saling bermusuhan. Harus ada perdamaian yang menjadikan kerjasama antar umat, yang nantinya berakibat pada masalah peribadatan.

Salah tafsir maksud agama akan menjadi titik balik umat lainnya untuk ramai-ramai menyerang Islam. Ketidakpercayaan akan dilemparkan, konsep kekakuan akan disematkan, yang pada akhirnya mengacu pada tindakan kekerasan dan pembunuhan. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak lagi melihat agama sebagai jalan terang keadilan, kemanusiaan, serta kedamaian. Akan tetapi, mereka akan melihat agama Islam sebagai jalan kegelapan menuju berbagai macam tindak kejahatan.

Anggapan mereka, Islam hanyalah sebagai penyampai doktrin ketuhanan tanpa disertai rasa kemanusiaan. Secara seporadis memaksa semua manusia menyembah Tuhan yang sama tanpa memperdulikan hak prerogatif mereka. Betapa mengerikan agama Islam yang dibawakan hanya berbekal prinsip ketuhanan semata.

Agama tidak lagi dianggap ramah bahkan mudah marah kepada mereka yang tidak mau diperintah. Sudah sekian lama umat Islam terperangkap dalam pemaknaan simbol-simbol agama yang kerap kali berbeda. Meributkan hal-hal kecil dan melupakan hal-hal besar yang menjadi dasar pokok kehidupan.

Mengambalikan Khittah Agama

Pada zaman modern ini yang dicari bukanlah model manusia yang dapat menunjukkan kecongkakan di ruang hampa. Bukan pula manusia yang merasa dirinya tidak berarti di kolong langit yang luas ini. Yang dicari adalah manusia yang dapat memperkuat kepercayaan terhadap diri sendiri, menggunakan kemampuan intelektual, mempertebal rasa tanggung jawab sosial, merealisasikan pesan-pesan moral, merpertebal pesan kerakyatan, dan menagkap dinamika sejarah (Hasan Hanafi, 2003).

Ketika seseorang menemui sosok yang berbeda agama, yang dilihat pertama kali bukan ritual ibadahnya. Akan tetapi sikapnya kepada sesama, bagaimana keluhuran hatinya, dan bagaimana peran orang tersebut dalam lingkungannya. Semua sisi itulah yang pertama kali dijadikan label baik atau buruknya seseorang. Jika sikapnya memenuhi kriteria “orang baik”, dengan sendirinya orang-orang akan mencari tahu tentangnya, termasuk agama yang dianutnya. Itulah kunci dakwah yang sebenarnya.  

Baca Juga  UIN Sunan Kalijaga Anugerahi Habib Chirzin Gelar Dr Honoris Causa

Berangkat dari sikap tersebut, marilah kita mengembalikan khittah agama seperti sedia kala. Memaknai agama sebagai kasih sayang bukan sebagai penebar teror dan keresahan. Barangkali makna lawan yang sering disematkan kepada sejumlah orang ataupun kelompok yang tidak sealiran dapat digantikan dengan ketertindasan dan ketidakadilan.

Dengan begitu, fokus kita tidak hanya soal ketuhanan. Kita juga akan membela nilai kemanusiaan yang menjadi misi awal penyebaran Islam. Memerangi setiap perilaku kejahatan, seperti tindak korupsi, penjarahan, hingga perampasan hak rakyat jelata dengan pemikiran dan cara yang lebih modern.

Meletakkan kekerasan sebagai sumber penyelesaian masalah bukanlah cara yang bijak. Cara kekerasan tidak akan menimbulkan efek jera, malah menimbulkan sejuta permasalahan. Maka, untuk mewujudkan misi kemanusian ini,  umat Islam harus menguasai berbagai macam keilmuan. Dengan keilmuan itu, umat Islam dapat menempatkan agama sebagai keyakinan sekaligus solusi bagi segala problematika manusia.

Agama Islam akan dipandang sebagai kebutuhan pokok umat manusia. Karena keberadaannya dapat menyatukan mereka yang berbeda dan mengajak untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera. Mengajak semua umat ikut serta menyelesaikan problematika sosial, bukan membencinya karena beda keyakinan.

Akhirnya wajah Islam seperti inilah yang disegani oleh semua pihak. Model keberagamaan yang lapang, tidak fanatik, dan mampu berdialog dengan agama manapun yang sanggup membangun misi kemanusiaan yang mulai lemah disuarakan. Membangun rasa kedamaian, rasa aman, dan toleransi untuk seluruh alam.

editor: Yusuf R Y

Avatar
1 posts

About author
Penulis merupakan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Menjadi reporter LPM Metamorfosa UIN Sunan Kalijaga. Bercita-cita membahagiakan orang tua dengan rupa sederhana.
Articles
Related posts
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…
Falsafah

Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

7 Mins read
Pendahuluan Tulisan ini sayangnya tidak berkaitan dengan aspek mana pun dari Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024. Untungnya, Pilpres dan Pemilu hanyalah satu aspek…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *