Feature

KH Ahmad Dahlan itu Penganut Salafi Modernis

3 Mins read

Bukan hanya baru-baru ini Muhammadiyah dipersepsikan serupa dengan kelompok salafi yang mulai berkembang di tengah masyarakat. Efek dari adanya persepsi ini adalah dengan banyaknya pengikut hingga tokoh kelompok salafi yang kemudian menjelaskan persamaan antara salafi dengan Muhammadiyah hingga mengaku bahwa dirinya adalah seorang kader Muhammadiyah yang otentik karena mengklaim lebih paham tentang Islam yang diajarkan dan dituntunkan Muhammadiyah.

Kemudian muncul persepsi bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang salafi, karena sebagai salah seorang ulama tanah air yang pernah tinggal di tanah suci untuk mempelajari ilmu agama Islam. Mengingat Makkah yang sekarang memang di bawah otoritas Kerajaan Arab Saudi yang berideologi salafi yang ditetapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai dasar negara sejak berdirinya. Ditambah dengan keberadaan Muhammadiyah di era generasi awal yang dikenal sebagai organisasi yang menyuarakan purifikasi akidah dan memberantas praktek TBC (Tahayyul, Bid’ah dan Churafat) di kalangan masyarakat Yogyakarta saat itu.

Sebuah Tinjauan Sejarah

Maka, apakah Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang salafi ? Apakah Muhammadiyah yang sebenarnya berdiri merupakan organisasi salafi ? Perlukah Muhammadiyah secara lembaga dan individu harus berafiliasi kepada kelompok salafi ? Apakah Muhammadiyah perlu menerima keberadaan salafi dan menjadikan tokoh salafi sebagai rujukan utama dalam praktek ibadah dan mu’amalah ?

Terdapat beberapa definisi sekaligus pembagian varian ideologi dan kelompok salafi berdasarkan afiliasi dan kategorisasi serta prakteknya. Tetapi yang perlu mendapat atensi adalah makna salafi sebagai paham puritan yang diusung oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang berkembang di Arab Saudi dan dibawa oleh mayoritas alumni perguruan tinggi di Arab Saudi untuk disebarkan di Indonesia sejak tahun 1980-1990an.

Sedangkan yang berkaitan dengan relasi antara keduanya, belum ditemukan satupun dokumen yang menjelaskan bahwa KH Ahmad Dahlan memiliki relasi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab baik secara ideologis maupun secara historis. Terlebih dengan memperhatikan beberapa fakta terkait kedua tokoh tersebut.

Baca Juga  70 Tahun Amin Abdullah: Filsuf Membumi dan Mencerahkan

***

KH Ahmad Dahlan yang terlahir dengan nama Mohammad Darwis dilahirkan di Kauman pada tanggal 1 Agustus 1868, sedangkan Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di Uyainah pada tahun 1703, 165 tahun sebelum KH Ahmad Dahlan lahir. Bersama Muhammad bin Sa’ud,  Muhammad bin Abdul Wahhab mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1744 dengan menjadikan Dir’iyyah (sekarang salah satu perkampungan di Riyadh) sebagai ibukotanya. Kerajaan Arab Saudi pertama ini runtuh pada tahun 1818 disebabkan oleh serangan dari Turki Utsmani, kota Makkah sendiri kembali menjadi bagian dari Utsmani setelah sempat dikuasai oleh Kerajaan Arab Saudi. Pada periode berikutnya, wilayah Hijaz yang mencakup Makkah, Madinah, Yanub dan Tabuk tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Arab Saudi yang kedua (1818-1891).

Sedangkan KH Ahmad Dahlan baru menunaikan haji pertama pada tahun 1883, ketika Makkah belum menjadi bagian dari kerajaan Arab Saudi yang menunjukkan Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak berinteraksi secara langsung dengan paham yang disebarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab melalui pendirian Kerajaan Saudi. Pada tahun itu, Makkah masih dikuasai oleh Kesyarifan (Syarafah) Makkah, yaitu Syarif ‘Aunur Rafiq yang memerintah Makkah sejak tahun 1882-1905. Begitu juga dalam haji sekaligus perjalanan studi KH Ahmad Dahlan yang kedua di Makkah pada tahun 1903-1905.

Makkah bergabung dalam Kerajaan Saudi yang saat itu bernama Kesultanan Nejd yang dipimpin oleh al-Amir Abdul Aziz Alu Sa’ud pada tanggal 19 Desember 1925 setelah ditaklukan dengan bantuan Inggris, kemudian bertransformasi menjadi Kerajaan Nejd dan Hijaz pada tanggal 20 Mei 1927 berdasar pengakuan dari Britania Raya yang disebut sebagai Traktat Jeddah dan berakhir dengan unifikasi wilayah-wilayah menjadi Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932. Sementara KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, dan wafat pada tanggal 23 Februari 1923.

Baca Juga  Tiga Ciri Islam Berkemajuan Menurut Millenial

***

Jikapun KH Ahmad Dahlan selama belajar Islam di Makkah pernah berinteraksi dengan karya Muhammad bin Abdul Wahhab, belum ada dokumen yang secara tegas menyatakan bahwa KH Ahmad Dahlan terpengaruh dengan karya-karya Muhammad bin Abdul Wahhab, terlebih lagi berinteraksi atau menjadi muridnya secara langsung. Lagipula semangat reformasi Islam yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan berbeda dengan semangat puritanisme Islam yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Keterpengaruhan KH Ahmad Dahlan dengan beberapa tokoh pemikiran dan pegerakan Islam pada era itu seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh membuktikan bahwa adanya divergensi secara fundamental yang jelas. Adapun keterpengaruhan KH Ahmad Dahlan dengan Ibnu Taimiyyah yang sering diklaim oleh para pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab tentu perlu dicermati.

Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama besar dalam Islam yang bergelar Syaikhul Islam. Karya-karyanya sangat banyak, dan yang mampu ditemukan dan dicetak ulang sekarang sekitar 251-370 judul karya. Beberapa risalah dan fatwanya dikumpulkan menjadi Majmu’ Fatawa yang terdiri dari sekitar 20 jilid. KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang ditemukan dalam berbagai dokumen referensi sejarah memang memiliki keterpengaruhan dengan Ibnu Taimiyyah dalam bidang teologis, terlebih dalam pemurnian akidah.

Sisi inilah yang sering diklaim oleh sebagian orang bahwa KH Ahmad Dahlan sebenarnya membawa ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab karena memiliki referensi ulama yang sama, yaitu Ibnu Taimiyyah.

***

Karya tulis yang menjelaskan secara singkat maupun secara detail terkait persepsi ini sebenarnya sudah cukup banyak. Berbagai tulisan yang ditulis oleh para pimpinan persyarikatan hingga para kader muda juga sebenarnya sudah cukup jelas. Bahwa KH Ahmad Dahlan memang mengikuti salaf (ulama terdahulu) tetapi tidak menjadi seorang salafi (dalam artian sempit pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab). Kembali pada istilah salaf dan salafi berikut berbagai varian, bahwa varian salafi yang dianut oleh KH Ahmad Dahlan adalah salafi tajdid atau salafi modern yang dinamis non-konservatif.

Baca Juga  Corak "Islam Ponorogo"

Karena KH Ahmad Dahlan tidak menjadikan Ibnu Taimiyyah sebagai satu-satunya ulama rujukan, akan tetapi mempelajari dengan mendalam sekaligus meramu pemikiran-pemikiran ulama lain. Perlu menjadi catatan pula bahwa ketiga tokoh ini juga dinilai berseberangan dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dibuktikan oleh ulasan para pengikutnya.

Maka bisa disimpulkan secara singkat dari telaah historis berikut bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan bukanlah seorang pengikut paham salafi versi Muhammad bin Abdul Wahhab. Melainkan salafi modernis yang cenderung lebih dinamis dan rasional.

Editor: Soleh

Muhammad Utama Al Faruqi
1 posts

About author
LPCRPM PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds