Oleh: Mohamad Ali*
Ikhtiar mengangkat martabat dan mutu guru telah dilakukan sedemikian rupa, akan tetapi sejauh ini, belum banyak mengubah keadaan. Disahkan dan diberlakukan Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bisa sedikit menambah penghasilan, namun belum secara efektif mendongkrak martabat dan mutu guru.
Meski ada pengakuan profesionalisme melalui sertifikasi pendidik, tetapi profesi ini belum kunjung beranjak dari gambaran sebagai “tukang” mengajar. Semua ini terjadi karena mereka mengajar, tetapi tidak melakukan aktifitas sebagai pembelajar. Sehingga yang diajarkan pola-pola baku yang tidak pernah menyentuh akar masalah kehidupan sesungguhnya.
Di tengah kelangkaan profil guru pembelajar, kita perlu berselancar sejenak ke masa lalu untuk menemukan sosok-sosok guru pembelajar. Yang dengannya, kita bisa jadikan cermin untuk berkaca bagi guru-guru masa kini. Esai ini menampilkan sketsa biografis pergumulan seorang guru pembelajar sepanjang hidup yang terpanggil untuk menggerakkan perubahan. Ia adalah Kyai Haji Asnawi Hadisiswaya (selanjutnya, ditulis Hadisiswaya).
Hadisiswaya: Sang Guru-cum-Mubaligh Multitalenta
Dalam dokumentasi Muhammadiyah setengah abad yang dihimpun Surono Wiroharjono (1958:63), penjaga gawang majalah Adil yang legendaris itu, ditampilkan foto K.H Asnawi Hadisiswaya. Di situ disebut bahwa dia seorang guru Sekolah Muhammadiyah yang “naik bintangnya” (baca: sinar semakin terang). Tetapi tidak lupa asalnya sebagai mubaligh Muhammadiyah yang selalu menunaikan tabligh. Mubaligh yang menunaikkan tabligh menjadi kata kunci yang menjelaskan mengapa dia menggerakkan perubahan. Bukan hanya dengan ceramah (orasi), tetapi juga melalui tulisan (pena). Juga melalui perintisan komunitas-komunitas basis sebagai embrio gerakan sosial baru (baca: Muhammadiyah).
Kashdy Ismid dalam Al Manak Muhammadiyah 1383/1963-1964 memaparkan biografi Hadisiswaya secara ringkas mulai dari kelahiran, silsilah keluarga, masa pendidikan, dan perjuangan. Ismid menggambarkan Hadisiswaya sebagai pribadi multitalenta, atau manusia multidimensional yang menguasai dengan baik berbagai keahlian. Seperti: guru-mubaligh, wartawan, pemimpin (leader), pengarang/penulis, dan komponis/seniman. Berbagai peran itu dapat dijalankan dengan baik karena dia seorang pembelajar yang otentik.
Hadisiswaya lahir pada 17 Agustus 1905 di kampung Nogobadan, Pasarkliwon, Solo dari pasangan suami istri Ismail Idris (Jepara) dan Kadiyem (Pengging). Yang bila ditarik silsilah ke atas, merupakan generasi ke-13 dari keturunan Prabu Kertabumi V (Majapahit) dan Dewi Asmara (Putri Campa). Tahun kelahiran bersamaan dengan proses berdirinya madrasah Mambaul Ulum yang dipraksai pihak Pangelon Kraton Kasunanan.
Riwayat Pendidikan dan Karir Hadisiswaya
Sebagaimana keluarga santri pada umumnya, dia mulai belajar Al-Quran dan dasar-dasar agama yang elementer kepada ayahnya. Setelah dirasa cukup, pada usia 7 tahun menimba ilmu di Madrasah Mambaul Ulum dari tahun 1912-1919. Selepas itu, melanjutkan belajar di Madrasah Suniyah antara tahun 1919-1921, dan melanjutkan Hollandse Middag Cursus tahun 1919-1922.
Sembari mengikuti Kursus Tabligh Muhammadiyah dari 1921-1923. Menilik riwayat pendidikan yang ditempuh dapat diketahui bahwa dia menguasai dengan baik ilmu agama sekaligus ilmu pendidikan-keguruan. Modal ini, ditambah semangat belajar secara mandiri (otodidak), mengantarkan menjadi seorang guru-mubaligh yang haus ilmu dan giat beramal.
Setelah selesai menempuh pendidikan formal, ia langsung terjun menjadi guru agama Islam di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah bersubsidi (sekarang berubah nama menjadi SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo) antara tahun 1923 hingga 1932. Pada tahun 1923 sampai 1942, ia memperoleh tugas mengajar dari Majelis Pendidikan Muhammadiyah Solo untuk mengajar di Hollandse Inlandesch Kweekschool (HIK Muhammadiyah), yang bertempat di Kerten. Di sekolah guru inilah Panglima Besar Jenderal Soedirman (1916-1950) sempat belajar selama setahun. Dengan demikian, Hadisiswaya adalah salah satu guru dari bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini.
Sayang sekali, ketika Jepang datang pada 1942 aktivitas pendidikan di HIK Muhammadiyah dihentikan dan diubah menjadi markas militer. Jejak-jejak sejarah kemegahan bangunannya masih bisa disaksikan sampai saat ini. Meski telah berubah fungsi menjadi markas Komando Resort Militer (Korem) 074 Warastratama. Penutupan HIK Muhammadiyah tidak menyurutkan langkah Hadisiswaya menjadi guru. Dia kemudian kembali lagi menjadi guru agama di SR Muhammadiyah bersubsidi dan Sekolah kepandaian Putri (SKP) Muhammadiyah sampai datangnya proklamasi kemerdekaan.
Kiprahnya Pasca Kemerdekaan
Setelah merdeka, dia diserahi tugas sebagai Kepala Jawatan Agama Kota Besar Surakarta. Ia juga merangkap sebagai Koordinator Urusan Agama Karsidenan Surakarta dari tahun 1946 hingga 1950. Kedudukan ini membawanya berpetualang ke sejumlah wilayah di Indonesia. Pada 1950-1951 diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Kalimantan, tidak lama berselang pada 1951-1953 dipindah ke Bandung sebagai Kepala Jawatan Urusan Agama Provinsi Jawa Barat. Puncaknya pada 1953-1961 (meninggal) menjabat Kepala Bagian Agama-agama lain, Gerakan dan Aliran Keruhanian di Kementrian Agama.
Petualangan ke berbagai daerah dalam rangka rotasi dan promosi jabatan di Kementrian Agama, tidak membuatnya terbuai dan terbelenggu dengan keruwetan birokrasi. Tetapi malah semakin meningkatkan gairah untuk belajar secara otodidak. Dia belajar dari kancah melalui observasi dan refleksi dari pengalaman-pengalaman langsung, yang dikenal dengan studi etnografis.
Ketika tinggal di Kalimantan, dia mengkaji secara serius berbagai aliran kepercayaan suku-suku di Kalimantan. Demikian pula ketika bertugas di Bandung tak lupa meneliti berbagai aliran kepercayaan pada masyarakat Sunda. Hasil dari penelitian yang dilakukan itu dikirim dan dipublikasikan ke sejumlah Majalah, seperti: Panji Masyarakat, Bintang Islam, Adil, Suara Muhammadiyah dan lain-lain.
Pun demikian saat memimpin Kepala Bagian di Kementrian Agama. Ia ditunjuk sebagai sekretaris Panitia Pengumpulan Karangan K.H.A. Wahid Hasjim, dan berhasil berhasil disusun buku monumental, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan karangan tersiar setebal 1000 halaman. Buku ini hingga sekarang masih menjadi rujukan utama dalam mengkaji pesantren, madrasah, dan sejarah Islam di Jawa.
Hadisiswaya: Kontribusinya Terhadap Muhammadiyah
Sementara itu, di persyarikatan Muhammadiyah ia menjabat sebagai ketua Majelis Pustaka Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Produktifitas intelektual Hadisiswaya dapat dilihat dari buah karya yang dipublikasikan. Ismid mengidentifikasi tidak kurang dari 67 tulisan, baik berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Jawa. Dari jumlah itu sebagian besar berupa artikel yang dimuat di majalah, sebagian berupa buku cerita, cerpen, dan ada yang berupa naskah drama. Tema-tema tulisan berkisar pada masalah agama dan kepercayaan dari sudut pandang sosio-historis, pendidikan, sejarah, dan akhlak.
Berikut penulis tampilkan 4 artikel Hadisiswaya yang kebetulan belum disebut oleh Ismid, yakni: “Kyai Haji Ahmad Dahlan” (Panjimas No. 3/1959), Dunia Katolik Gempar…?, “Rakyat Indonesia dan Persatuan” dan “ Dasar dan Asas Pendidikan Islam” (SM No. 17-18/1931). Dua artikel pertama berbicara tentang dakwah yang menggerakkan perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat, atau dalam istilah sekarang disebut dengan dakwah transformatif, dakwah yang membebaskan kaum pribumi yang tertindas.
Kyai Dahlan ditampilkan secara biografis sebagai teladan-model dakwah yang menggerakkan rakyat bawah. Sedangkan esai kedua membicarakan model-model gerakan dakwah Islam yang bisa mengimbangi dan berkompetisi dengan cara-cara misionaris, yakni cara-cara dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah.
Artikel ketiga bercorak kebangsaan-nasionalisme yang berisi keprihatinan atas keadaan rakyat Indonesia yang kocar-kocir, sehingga dia menyerukan agar rakyat Indonesia saling bergandeng tangan dan bersatu padu untuk meraih kesejahteraan dan kemerdekaan.
Melihat tahun terbitnya, esai ini ditulis tidak berselang lama setelah Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan, dan saat menulis esai ini dia berusia 26 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda santri memiliki semangat kebangsaan dan persatuan yang bergelora.
Hadisiswaya: Esai Terakhir
Esai terahir dapat dipilah menjadi empat sub-tema, yakni: keadaan ilmu pendidik, zaman sekolah dan agama, sugesti, tujuan pendidikan, dan dasar pendidikan Islam. Keadaan masyarakat dan kebutuhan pendidikan setiap zaman berubah-ubah, kemajuan/keterbelakangan suatu masyarakat berbanding lurus dengan kebutuhan pendidikan. Agama Islam sejak awal mewajibkan umatnya untuk belajar dan menuntut ilmu setinggi mungkin dan mengamalkannya untuk memperbaiki kehidupan sosial. Sampai abad ke-19, bangsa Indonesia hanya mengenal satu sistem pendidikan pribumi, yakni pondok pesantren.
Memasuki abad ke-20 umat Islam dan bangsa Indonesia memasuki “era sekolah dan agama”, yakni munculnya sekolah Islam modern yang mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. Seperti yang dilakukan oleh gerakan Muhammadiyah dan organisasi Islam modern lain. Kelahiran sekolah Islam modern pada awal abad ke-20 mencerminkan keterpaduan antara kemajuan (baca: sekolah) dengan Islam, yang secara ringkas disebut sebagai Islam beremajuan.
Sugesti dalam pandangan Hadisiwaya adalah cita-cita yang tumbuh dari pendidikan orang lain, baik yang disegaja maupun tidak. Sugesti yang disegaja dilakukan oleh guru-guru di sekolah maupun orang tua di rumah. Sugesti yang paling efektif adalah dengan memberikan contoh dan teladan kebaikan. Guru dan orang tua yang mampu memberikan teladan atau contoh yang baik akan membuat mereka berwibawa di mata anak-anak.
Hadisiswaya dan Pendidikan
Ketika membicarakan tujuan pendidikan, Hadisiswaya membandingkan tujuan pendidikan di berbagai negara di dunia. Tujuan pendidikan Yunani kuno untuk melahirkan manusia yang kuat berperang, pendidikan Amerika bertujuan agar manusia bisa beerja dengan gembira. Sementara itu, di Jerman tujuan pendidikan untuk melahirkan manusia yang cendekia dan bijaksana.
Dalam Islam, tujuan pendidikan agar manusia diperdalam keislamanya, terasah otaknya, serta ditebalkan iman dan keyakinan mereka. Anak-anak dijernihkan hatinya, dibaktikan badan dan ruhnya terhadap Allah. Terakhir, dasar pendidikan Islam adalah cinta. Cinta merupakan landasan pendidikan Islam dalam mendidik anak-anak. Tetapi, bukan cinta buta sehingga apa yang dikehendaki anak diberikan seluruhnya padahal tidak sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang mereka. Cara demikian, cinta buta, bukan landasan pendidikan, tetapi justru mengkhianati dan meruntuhkan pendidikan dan menghancurkan anak-anak.
Demikian sketsa biografis, perjuangan, dan pemikiran Hadisiswaya. Beberapa motto hidupnya berikut, layak direnungkan: “mengajar, menulis, dan mengarang”, “pemimpin adalah abadi rakyat, guru adalah abdi anak”, “laksana anak panah, jiwa nan gagah menuju fi sabilillah”. Tiga motto ini mencerminkan kepribadian dan menjadi laku sepanjang hidup, sehingga mampu tumbuh secara berkelanjutan untuk menjadi seorang guru pembelajar yang menggerakkan perubahan.
Kisah perjuangan Hadisiswaya menjadi guru pembelajar penggerak perubahan layak menjadi cermin dan teladan. Bukan hanya bagi guru, mubaligh, intelektual, maupun aktivis, tetapi juga mereka yang merasa terpanggil untuk turut terlibat aktif dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik dan masyarakat yang bertambah maju.
*Kaprodi PAI Universitas Muhammadiyah Surakarta
.