Perspektif

Khittah Politik Muhammadiyah: Wujud Ikhtiar Menyelamatkan Semesta

6 Mins read

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah kian melebarkan sayap perjuangannya ke berbagai sektor. Salah satunya melalui upaya perkhidmatan global. Sebagaimana termaktub dalam Risalah Islam Berkemajuan, di era modern ini Muhammadiyah dituntut tidak hanya berkiprah dalam kancah nasional, melainkan juga secara internasional. Hal ini sebagai manifestasi dari semangat risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang membawa rahmah bagi semesta.

Internasionalisasi peran sesungguhnya telah diisyaratkan sejak awal perkembangan Muhammadiyah. Kiai Dahlan memiliki perhatian terhadap pentingnya kesatuan umat manusia secara global. Setidaknya gebrakan awal dengan upaya menggeser arah kiblat menggunakan kompas dan peta buatan ‘Barat’ menjadi terobosan cemerlang di era penuh kecurigaan dan ketakutan kala itu. Dalam konteks inilah, penting untuk memahami sejarah perkembangan Muhammadiyah agar arah dan strategi perjuangan menyongsong masa depan dapat lebih mencerahkan peradaban.

Substansi Khittah

Kata khittah dalam bahasa Arab berasal dari kata khaththa yang berarti baris (al-madd). Dari makna tersebut, al-Raghib al-Asfahani memahami makna setiap tempat yang diberi garis oleh seseorang untuk dirinya kemudian menggalinya disebut dengan khattun atau khittathun. Secara rasional, garis adalah penanda, simbol dan identitas terhadap sesuatu, sekaligus membatasi atau membedakannya dengan yang lain.

Karenanya dapat dipahami bahwa dalam konteks berorganisasi, kata khittah diartikan sebagai garis strategi perjuangan. Sehingga khittah Muhammadiyah atau khittah NU berarti garis langkah perjuangan yang dilakukan oleh Muhammadiyah atau NU dalam rangka mencapai tujuan organisasinya. Khittah merupakan unsur penting dari sebuah ideologi. Sebab ideologi secara umum mengandung paham dan cita-cita tetapi pada saat yang sama juga membutuhkan strategi untuk mewujudkan cita-citanya. Dalam hal ini, ideologi Muhammadiyah tidak lain adalah ajaran Islam dengan corak reformis-modernis atau ideologi yang berkemajuan.

Muhammadiyah dan Politik Praktis

Sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, tujuan didirikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam prakteknya, Muhammadiyah memilih strategi perjuangan dakwah non-politik yang lebih menekankan pada pembinaan masyarakat dan tidak pada perjuangan merebut kekuasaan politik pemerintahan (politik praktis) sebagaimana partai politik.

Meski secara organisasi, Muhammadiyah tegas menolak untuk bergerak dalam politik praktis, tetapi bukan berarti Muhammadiyah apatis apalagi pragmatis dengan politik.

Menurut Hajriyanto Thohari dalam buku Muhammadiyah dan Orang-orang Bersahaja: Sketsa-sketsa Etnografi dari Beirut, setidaknya ada empat alasan kenyataan Muhammadiyah tidak dapat lepas dari dinamika politik. Pertama, sebagai gerakan reformis Islam tentu Muhammadiyah tidak bisa memisahkan antara Islam dan politik, bahkan menyatakan bahwa pemisahan antara keduanya merupakan upaya sekularisasi yang ditentang oleh Muhammadiyah.

Kedua, sebagai gerakan Islam yang mempunyai jumlah pendukung yang sangat besar, tentu Muhammadiyah memiliki political magnitude. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana organisasi ini sering ditarik ke sana dan ke mari untuk kepentigan lobi politik sesaat. Melihat realita ini, penting untuk menggali khittah Muhammadiyah, bagaimana langkah dan strategi organisasi ini dalam kehidupan politik Indonesia.

Baca Juga  Jangan Jadi "Muhammadiyah Garis Nesu"!

Ketiga, sebagai gerakan Islam masif yang terorganisasi secara baik dan memiliki tradisi ketaatan kepada keputusan organisasi, para pimpinan di daerah dan para anggota Muhammadiyah tidak jarang meminta keputusan PP Muhammadiyah atas beberapa persoalan politik, sebagaimana yang saat ini terjadi menyongsong pemilu tahun 2024 mendatang.

Dan keempat, Muhammadiyah juga adalah organisasi kader. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah selama ini menyiapkan kader-kader terbaiknya dalam tiga dimensi kekaderan, yaitu kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa, baik di lapangan profesional maupun politik.

Lima Fase Khittah Muhammadiyah

Lantas, bagaimana sejarah dan dinamika khittah Muhammadiyah dari masa ke masa? Setidaknya khittah Muhammadiyah melewati lima fase, yaitu khittah Palembang, Ponorogo, Ujungpandang, Surabaya, dan Denpasar. Sebagian besar penjelasan khittah ini akan mengutip dari buku Pak Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah.

Khittah Palembang

Khittah Palembang ini adalah keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang tahun 1956. Saat itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah A.R. Sutan Mansyur. Khittah ini dibuat dan diberlakukan untuk waktu tertentu, yaitu 1956-1959.

Khittah Palembang bertujuan untuk mengarahkan organisasi Muhammadiyah menjadi organisasi yang tertib secara administrasi dan berperan sebagai keteladanan dan pemersatu di tengah masyarakat yang majemuk. Hal ini dapat dipahami, sebab khittah ini lahir pada usia ke-44 tahun Muhammadiyah. Setelah melalui masa perjuangan kemerdekaan RI, Muhammadiyah mulai berbenah untuk tertib secara organisasi.

Khittah Ponorogo

Khittah ini merupakan keputusan yang ditetapkan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo tahun 1969. Saat itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah KH. A.R. Fakhrudin. Khittah ini secara historis lahir dari ijtihad pimpinan Muhammadiyah kala itu dalam rangka membuat partai politik dari rahim Muhammadiyah.

Keputusan tersebut merespons kegagalan para pemimpin Muhammadiyah menghidupkan kembali Partai Masyumi yang ditolak oleh Presiden Suharto. Setelah pertemuan para tokoh Islam di Malang tahun 1968, pimpinan Muhammadiyah bersama komponen Islam lainnya melahirkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini adalah partai resmi yang didukung oleh Muhammadiyah. Awalnya berhasil dengan membentuk kepengurusan di bawah komando Djarnawi Hadikusuma sebagai Ketua Umum dan Lukman Harun sebagai Sekretaris Umum.

Salah satu isi utama dari khittah ini adalah menegaskan semangat dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang ditekankan Muhammadiyah sejak awal. Menurut khittah ini, dakwah tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu saluran politik kenegaraan dan saluran masyarakat. Jika melihat penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa pada masa ini, Muhammadiyah memainkan peran untuk melakukan upaya terlibat dalam politik praktis. Namun, kemudian keputusan ini di-nasakh dengan keputusan selanjutnya yaitu khittah Ujungpandang.

Baca Juga  Muhammadiyah Makin Lama Makin Muda

***

Khittah Ujungpandang

Khittah ini berasal dari keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971. Sama dengan khittah di Ponorogo, masa ini kepemimpinan Muhammadiyah masih dipimpin oleh KH. AR. Fakhrudin. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, khittah ini lahir merespons kegagalan Parmusi yang digerakkan oleh kader Muhammadiyah. Melihat adanya dinamika tersebut, khittah ini membahas relasi Muhammadiyah dengan partai politik dalam usaha meningkatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam.

Salah satu poin utama dari khittah ini adalah menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun. Poin tersebut tegas mengeluarkan Muhammadiyah dari pusaran kepentingan politik praktis. Bahkan dapat dikatakan bahwa khittah Ujungpandang ini termasuk yang paling tegas dalam menentukan hubungan Muhammadiyah dan politik praktis.

Prof. Amin Abdullah menyebut pemilihan perjuangan Muhammadiyah dalam bentuk organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi sosial politik adalah pilihan “genius”, orisinal dan autentik.

Khittah Surabaya

Khittah ini lahir dari keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978. Periode ini pun masih dipimpin oleh tokoh yang sama. Sebab memang sejarah mencatat, Pak A.R. Fakhruddin menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama dari 1971-1990.

Salah satu poin penting dari dokumen ini adalah upaya meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan dan kesulitan hidup masyarakat.

Pemahaman ini melanjutkan penjelasan khittah sebelumnya, bahwa meskipun Muhammadiyah tidak bermain politik praktis, tetapi organisasi ini juga tidak apatis melihat kondisi negeri. Karenanya ormas ini mendorong anggotanya untuk terlibat aktif dalam menjalankan peran sebagai warga negara dan menjawab tantangan zaman.

***

Khittah Denpasar

Khittah ini berdasarkan keputusan Tanwir Muhammadiyah di Denpasar tahun 2002 pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Khittah ini secara umum berisi panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen ini harus dilihat setidaknya dari dua aspek kesejarahan. Pertama, lahir pasca-reformasi, karenanya semangat khittah ini sarat dengan optimisme untuk membangun negeri sesuai dengan cita-cita reformasi.

Kedua, lahir merespons gerakan politik praktis yang dikomandoi oleh Prof. Amin Rais ketika membuat Partai Amanat Nasional tahun 1998. Atas inisiasi tersebut jugalah, kursi kepemimpinan Ketum PP Muhammadiyah dari Pak Amin Rais diserahkan kepada Buya Syafi’i Ma’arif.

Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu, diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meski secara organisasi Muhammadiyah menjaga jarak dengan politik praktis, tetapi dalam khittah ini juga Muhammadiyah tidak melarang anggotanya berperan dalam dunia politik. Dalam khittah poin ke delapan dan sembilan disebutkan:

Baca Juga  Berdakwah Melalui Stand Up Comedy

(8) Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah).

(9) Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.

Oleh karena itu, dengan melihat keputusan khittah Muhammadiyah dari masa ke masa, dapat dipahami beberapa hal: pertama, Muhammadiyah tegas tidak berafiliasi dengan partai maupun organisasi mana pun. Kedua, Muhammadiyah fokus pada urusan keumatan dan kebangsaan. Dalam hal ini, sejatinya Muhammadiyah juga mengambil peran politik, tetapi bukan politik praktis, melainkan politik kebangsaan.

Dari Khittah Menuju Risalah Islam Berkemajuan

Risalah Islam Berkemajuan yang dihasilkan pada Muktamar ke-48 di Surakarta 2022 silam merupakan rumusan yang menguatkan kembali pikiran dan gerakan yang dilahirkan oleh Muhammadiyah sejak periode awal. Isi pokok risalah ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dirumuskan secara resmi oleh Muhammadiyah termasuk khittah Muhammadiyah.

Poin penting yang menjadi keberlanjutan Risalah Islam Berkemajuan adalah terkait perkhidmatan Islam Berkemajuan. Jika khittah merumuskan langkah dan strategi untuk mencapai cita-cita, maka Risalah Islam Berkemajuan memperluas sasaran dakwah Muhammadiyah dalam kancah global dan keberlanjutan dakwah di masa depan.

Dalam konteks global dan masa depan, menyongsong Milad ke-111 Muhammadiyah ini, ada dua hal yang dilakukan. Pertama, turut berkontribusi dalam menyebarkan perdamaian dunia, salah satunya mengirim bantuan moril sebesar 45 Miliar ke Palestina yang dihasilkan dari urunan seluruh warga Persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Kedua, Muhammadiyah bersama Menlu RI dan mitra lainnya menyelenggarakan acara Global Forum for Climate Movement: Promoting Green Culture, Innovation, and Cooperation di kampus Universitas Ahmad Dahlan 17-18 November ini. Dalam agenda ini, Muhammadiyah akan merilis Muhammadiyah Climate Center (MCC) sebagai wujud organisasi ini terhadap isu perubahan iklim dan keberlanjutan masa depan.

Refleksi Milad Muhammadiyah

Apa yang bisa kita pahami dari sejarah panjang khittah Muhammadiyah? Alih-alih hanya terjebak dalam pusaran kepentingan politik praktis, Muhammadiyah telah membuktikan perjuangan politik kebangsaan dan kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyelamatkan semesta.

Karenanya, dalam rangka merayakan milad Muhammadiyah ke-111, sudah selayaknya segenap warga Persyarikatan bersuka cita dan membawa organisasi sang pencerah ini untuk terus on the track of khittah. Bahwa politik memang penting untuk dijalankan, tetapi politik yang menyelamatkan semesta berperadaban, bukan politik yang menghancurkan semesta dengan kebiadaban. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Avatar
11 posts

About author
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Guru SMK Muhammadiyah dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah (STITM) Berau
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds