أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِأَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَمُضِلَ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ اِلآّ اَللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُهَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْ لُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٌ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
قآَلَ اَللهُ تَعَآلَي فِى ا لْقُرْآنِ الْكَرِيم
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وَ قآَلَ اَللهُ تَعَآلَي
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
اَمَا بَعْدُ
اُوْصِيكُمْ عِبَادَ اللهِ وَاِيآيَ بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
اَللَّهُ اَكْبَر اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ma’assiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Adha yang Berbahagia
Pertama-tama, marilah kita mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT, Alhamdulillah, atas nikmat dan karunia-Nyalah, di pagi hari yang cerah ini, 10 Zulhijah 1445 H bertepatan pada tanggal 17 Juni 2024 M, kita masih diberi nafas kehidupan untuk meningkatkan kadar ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Ibarat mudik ke kampung halaman yang memerlukan bekal, taqwa adalah bekal terbaik untuk mudik sesungguhnya ke kampung halaman abadi, negeri akhirat.
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal sehat.” (Al-Baqarah [2]: 197)
Shalawat dan salam, marilah kita curahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi akhir zaman, pembangun peradaban, penerang kegelapan, penuntun jalan kebenaran.
Di pagi hari ini, dengan khusyuk dan khidmat kita menunaikan shalat Idul Adha dan insya Allah nanti akan dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban. Ini merupakan wujud kesyukuran atas nikmat Allah yang tak terhingga yang telah dicurahkan kepada kita sebagaimana firman-Nya:
إِنَّآ أَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS Al-Kautsar [108]: 1-3).
اَللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Jamah Shalat Idul Adha Rahimakumullah
Ada banyak suri tauladan dan hikmah yang dapat kita petik dari kisah Nabiyullah Ibrahim AS dan peristiwa Idul Kurban. Allah SWT Berfirman dalam surat Al-Mumtahanah [60] ayat 4:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ
“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya”
Hikmah dan suri tauladan apa sajakah yang dapat kita petik dari peristiwa Idul Kurban dan Nabi Ibrahim AS? Setidaknya ada lima hikmah yang dapat kita petik sebagai bekal untuk membangun peradaban berkemajuan, yaitu:
Pertama, Taqwa Sebagai Landasan Utama
Apakah taqwa itu? Muhammad Abduh, dalam kitab tafsirnya Al-Manar, menyebutkan bahwa ‘taqwa’ bermakna menjauhkan diri dari kemudharatan. Muhammad Ali As-Shabuni, mendefiniskan taqwa dengan sikap takut terhadap murka Allah. Sikap takut tersebut diwujudkan dalam bentuk menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Ada suri tauladan ketaqwaan kepada Allah yang ditampilkan dari kisah Nabiyullah Ibrahim AS. Nabi Ibrahim adalah hamba yang hanifam muslima, orang yang senantiasa mengikuti perintah Allah dengan lurus dan tulus. Nabi Ibrahim menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya wujud cinta kita kepada Allah Hingga beliau mendapatkan julukan sebagai Halilullah, kekasih Allah.
Nabi Ibrahim tidak hanya menjalankan semua perintah-perintah Allah, namun beliau juga lulus dalam melalui semua ujian yang diberikan kepadanya. Di antara ujian yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim adalah ketika beliau dibakar hidup-hidup, beliau juga harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih balita di tengah padang pasir yang panas dan tandus, hingga puncaknya adalah perintah Allah untuk mengorbankan putra yang amat dicintainya, Ismail AS. Namun, Nabi Ibrahim lulus menghadapi semua ujian tersebut tanpa sedikit pun mengurangi ketaatan dan cintanya kepada Allah SWT.
Lalu apa janji Allah bagi orang-orang yang bertaqwa seperti Nabi Ibrahim AS dan orang-orang yang bersamanya? Janji Allah bagi orang-orang yang bertaqwa salah satunya digambarkan dalam surat Al-A’raf [7] ayat 96:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”
Kita mengetahui bahwa Arab Saudi adalah salah satu negeri yang diberkahi. Di sana ada Kota Makkah yang menjadi pusat ibadah umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Di sana ada mata air bernama Zam Zam yang tidak pernah kering. Di sana, walaupun sebagian besar lahannya tandus, namun tidak pernah kekurangan makanan dan buah-buahan. Hasil penelitian InsureMyTrip tahun 2022 juga menunjukkan bahwa Kota Madinah adalah kota paling aman di dunia bagi traveler perempuan. Arab Saudi juga merupakan negara kaya yang memiliki penghasilan utama dari minyak. Melansir dari Majalah Forbes, sekitar 16% cadangan minyak dunia ada di Saudi. Itulah negeri dimana Siti Hadjar dan putranya bernama Ismail yang dahulu ditempa di tengah gurun pasir yang tandus dan panas.
Pelajaran apa yang dapat kita kita petik? Jika Negara Indonesia ingin berkembang dan maju, maka takwa adalah kuncinya. Ketakwaan ini harus kita mulai dari diri dan keluarga kita. Dari keluarga-keluarga yang bertakwa inilah akan lahir masyarakat dan bangsa yang bertakwa. Sehingga negeri Indonesia menjadi negeri yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang alamnya banyak memberikan kebaikan dan semua masyarakatnya berprilaku baik.
اَللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ma’assiral Muslimin, Rahimakumullah
Kedua, Keluarga adalah Fondasi Kemajuan Bangsa
Kisah Nabiyullah Ibrahim juga menggambarkan bahwa keluarga sakinah adalah fondasi kemajuan suatu bangsa. Karena dari keluarga yang taat akan lahir bangsa yang kuat dan hebat. Tentu kita masih ingat peristiwa ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hadjar bersama balitanya bernama Ismail dalam kondisi yang sulit, di tengah gurun pasir Makkah yang panas, tandus dan tidak berpenghuni. Tatkala ia mengetahui ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT. Siti Hadjar pun meneguhkan hatinya dan bertawakal pada Allah. “Kalau begitu, Allah pasti akan mengurus kami. Berangkatlah! Semoga engkau dalam lindungan-Nya,” ujar Siti Hadjar kepada Nabi Ibrahim yang berpamitan untuk kembali ke Palestina (jarak Mekkah-Palestina 1.478 km atau sama dengan Yogyakarta-Jambi).
Kisah ini menggambarkan kesetiaan dan ketulusan seorang istri. Ketulusan dan kesetiaan tersebut tentu lahir dari keimanan dan ketakwaan yang menghujam di dalam hatinya. Keimanan dan ketakwaan Siti Hadjar adalah berkat bimbingan sang Suami, Nabi Ibrahim AS. Bagaimana kisah ini dimaknai dalam konteks kekinian? Bahwa seorang suami sebelum meninggalkan rumah untuk bekerja mencari nafkah maka terlebih dahulu pastikan kondisi penghuni rumah (istri dan anak-anak) telah dibekali pemahaman agama yang kuat. Sehingga ketika ditinggalkan, sang istri tidak muda mengeluh dan rapuh. Istri dari rumah kemudian mendoakan sang suami agar selamat dari segala macam marabahaya dan godaan.
Istri di rumah tidak pernah ragu kepada kesetiaan suami. Begitupun sebaliknya, sang suami tidak akan pernah mengecewakan kepercayaan yang diberikan istri kepadanya. Sehingga sang suami bekerja dengan hasil maksimal. Kesabaran dan kesetiaan dari Nabi Ibrahim dan Siti Hadjar merupakan suri tauladan bagi kita.
Keluarga Nabi Ibrahim juga menggambarkan kepatuhan dan bakti seorang anak. Ketika Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu untuk mengorbankan Ismail, tanpa ragu Ismail menjawab:
قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (As-Saffat [37]: 102)
Ayat ini menggambarkan bahwa Ismail sebagai anak tidak membantah orang tuanya. Ini menunjukkan kepatuhan dan bakti yang luar biasa seorang anak kepada orang tuanya. Kepatuhan dan bakti Ismail ini harus dapat kita tiru dalam kehidupan nyata saat ini. Selain itu, dialog Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail juga mengajarkan kepada kita bahwa menjadi orang tua tidak boleh otoriter. Nabi Ibrahim ketika mendapatkan wahyu untuk mengorbankan putranya tidak serta merta langsung menunaikannya kecuali terlebih dahulu meminta pendapat dan musyawarah dengan putranya. Ini menggambarkan bahwa menjadi orang tua haruslah bijaksana.
اَللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ma’assiral Muslimin, Rahimakumullah
Ketiga, Jangan Mengorbankan Manusia
Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan Ismail terdapat di dalam surat As-Saffat [37]: 102-107. Ketika keduanya telah berserah diri dan saat Nabi Ibrahim sedang membaringkan putranya untuk melaksanakan perintah Allah, tiba-tiba Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan. Allah berfirman:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Ada makna simbolis ketika Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan. Ada pelajaran yang hebat dan sangat penting dibalik makna simbolis ini yang bisa kita petik dan kita implementasikan dalam kehidupan kekinian. Maknanya adalah bahwa manusia tidak boleh dikorbankan. Mengorbankan sesama umat manusia untuk meraih suatu tujuan atau kejayaan tidaklah dibenarkan. Namun faktanya hari ini, kita masih banyak menyaksikan antar sesama umat manusia saling menjatuhkan satu sama lain demi tujuan dan kejayaannya masing-masing.
Pertumpahan darah masih banyak terjadi. Saling sikut, saling fitnah, saling menyakiti dan lain sebagainya. Bahkan ada kelompok yang mengklaim bisa masuk surga dengan dalih “jihad” namun caranya dengan merampas nyawa sesama umat manusia. Di beberapa negara hari ini juga masih terjadi peperangan yang banyak menimbulkan korban jiwa. Seperti yang terjadi di Palestina. Tentu hal-hal semacam ini harus diakhiri dan dihentikan.
Bukankah manusia antara yang satu dengan yang lainnya harus saling mencintai dan menyayangi? Seumpama tubuh, jika ada satu anggota tubuh kita ada yang sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakan sakit. Begitulah hakikatnya sesama manusia. Nabi juga mengingatkan bahwa manusia antara yang satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang fungsinya saling menguatkan (HR. Muslim). Bukan malah dikorbankan demi suatu kepentingan.
اَللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ma’assiral Muslimin, Rahimakumullah
Keempat, Menyembelih Sifat Kebinatangan
Hakikat kurban bukan hanya wujud spirit dalam menyembelih hewan kurban semata. Namun hakikat kurban yang sesungguhnya adalah wujud spirit dalam menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita. Ketika hewan kurban disembelih, pada saat itu pula seharusnya sifat-sifat kebinatangan kita juga ikut disembelih. Sehingga lenyaplah nafsu-nafsu hewani seperti sikap merasa paling hebat, merasa paling kuat, merasa paling benar, merasa paling pintar, tidak peduli pada sesama, menindas, serakah, rakus, acuh tak acuh, tidak bisa membedakan halal-haram dan lain-lainnya.
Bukankah perbedaan manusia dengan binatang terletak pada akal dan pikirannya? Aristoteles (384-322 SM) seorang filsuf besar dari Yunani, pernah mengemukakan bahwa manusia adalah termasuk jenis hewan yang berakal sehat, yang berbicara dan bertindak berdasarkan akal dan pikirannya. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut sebagai al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah binatang yang berfikir). Karena dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Sehingga, tepat, jika manusia dalam berbicara dan bertindak tidak berdasarkan akal dan pikirannya tak ubahnya binatang dalam wujud manusia.
Hari ini, betapa banyak binatang-binatang dalam wujud manusia yang bertebaran di muka bumi dan telah merusak tatanan alam dunia dengan keserakahan dan kerakusannya. Tidak dipungkiri bahwa kerusakan yang telah tampak, baik di darat maupun di laut saat ini, adalah disebabkan karena ulah tangan manusia-manusia yang tidak menggunakan akal dan pikirannya (QS. Ar-Rum [30]: 41). Perbuatan tangan manusia yang tidak didasari akal dan pikirannya hanya akan menimbulkan kerusakan dan kekacauan dunia. Sebab itu, peranan akal sangat penting karena disitulah letak perbedaan kita dengan makhluk-makhluk yang lainnya.
Bukankah Al-Qur’an sering menyindir kita dengan: “Afala Tatafakkarun” (apakah kamu tidak memikirkan?), “Afala Ta’qilun” (apakah kamu tidak menggunakan akalmu?). Ibadah kurban mengingatkan kembali bahwa manusia haruslah hidup selayaknya manusia yang menggunakan akal dan pikirannya, bukan selayaknya binatang yang memperturutkan hawa nafsunya. Sebab itu, nafsu-nafsu hewani yang melekat pada diri kita harus dilenyapkan agar manusia terlepas dari belenggu hawa nafsunya dan berganti dengan jiwa takwa.
اَللهُ اَكْبَرُاللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Ma’assiral Muslimin, Rahimakumullah
Kelima, Keshalihan itu Bukan Milik Pribadi
Ibadah kurban mengandung unsur kepasrahan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah Swt. Seraya dilanjutkan dalam bentuk penguatan relasi kemanusiaan. Hakikat kurban tidak hanya ekspresi keshalihan individual saja, namun hakikat kurban adalah wujud dari keshalihan sosial yang mengandung unsur penguatan relasi kemanusiaan melalui momen berbagi antar sesama. Ini menunjukkan bahwa keshalihan itu bukan milik pribadi. Keshalihan adalah milik bersama.
Ibadah kurban mengandung pesan moral yang kuat untuk merekatkan ikatan persaudaraan dalam bentuk ta’awun: berbagi dan peduli. Sehingga pasca berkurban kadar keshalihan sosial kita seharusnya semakin meningkat. Menjadi pribadi yang hebat. Pribadi yang bukan hanya taat, namun pribadi yang senantiasa menebar kebaikan dan manfaat di tengah masyarakat.
Inilah yang disebut kurban transformatif. Kurban yang dapat memberikan dampak perubahan sosial berskala besar. Bukankah Allah melabeli mereka yang tidak peduli kepada fakir miskin dan anak-anak yatim sebagai “pendusta agama”? (QS. Al-Maun [107]: 1-7) Idul kurban adalah momentum terbaik kita untuk memerangi dan menghapus sifat-sifat pendusta agama yang melekat pada diri kita.
Demikianlah lima hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ibadah kurban. Semoga kita dapat menghayati dan menerapkannya dalam kehidupan kita. Mari kita tutup khutbah ini dengan berdoa.
.اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَ عَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَخْمَعِيْنَ
اَلّلَهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسِلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعُ قَرِيْبُ مُخِيْبُ الدَّعْوَاتِ يَاقَظِيَ الْحَخَاتِ
اَلَّلهُمَّ اِنَّا نَسْاءَلُكَ سَلَمَتً فِي الدِّيْنِ وَعَافِيَتَ فِي الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِي الْعِلْمِ وَبَرَكَهً فِي الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ بِرَحْمَتِكَ يآاَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّالْإِسْلَامَا وَ لْمُسلِمِين اللَّهُمَّ انْصُرْإِخْوَاننَاَ الْمُسلِمِين المُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِين اللَّهُمَّ ثَبِّتْإِ يمَانَهُمْ وَأَ نْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَىقُلُوبِهِم
اَلَّلهُمَّ تَقَبَّلْ مِنّآ صَلاَتَنا َوَجَمِيعَ عِبآدَتِنآ بِرِضآكَ وَفَضْلِكَ الْكَرِيْم وَتُبْ عَلَيْنآ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَابُ الرَّحِيْمُ
رَبَّنآ هَبْ لَنَآ مِنْ أَزْوَاجِنَآ وَذُرِّيَتِنَآ قُرَّةً أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَآ لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا.
رَبَّنَآ أَتِنَآ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَآ عَذَابَ النَّار. سُبْحَانَ رَبكَ رَبّ الْعِزَةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمُ عَلىَ الْمُرْسَلِيْن وَالحَمْدُ ِللهِ رَبّ ِاْلعآلَمِيْنَ
أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ