Masalah khutbah pada shalat gerhana (khusuf/kusuf) merupakan tema yang diperselisihkan ulama. Perbedaan berpangkal pada dua hal pokok:
- Pemaknaan riwayat ‘Aisyah R.a—khususnya pada lafaz “فَخَطَبَ النَّاسَ” apakah ia menunjukkan khutbah syar‘iyyah yang berstruktur (sebagaimana khutbah Jum‘at/‘Id) atau sekadar mau‘izhah (nasihat) pasca-salat.
- Pendekatan qiyās (analogi) sebagian ulama menyamakannya dengan shalat ‘Īd dan istisqā’ (yang memiliki khutbah), sementara yang lain mengqiyaskannya dengan shalat nawāfil an-nahār (sunnah di siang hari) seperti sunah ba’diyah Zhuhur/‘Ashar (yang tidak memiliki khutbah).
Kendati berbeda, para ulama sepakat bahwa imam dianjurkan memberikan nasihat setelah shalat gerhana dengan seruan doa, dzikir, dan sedekah.
Kaidah Ushuliyyah yang Relevan
Beberapa waktu yang lalu, penulis membaca tulisan KH. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc., M.Ag., yang beliau bagikan sendiri melalui salah satu grup WhatsApp. Dalam tulisan tersebut, beliau berpendapat bahwa setelah shalat gerhana tidak disyariatkan adanya khutbah.
Argumentasi beliau didasarkan pada kenyataan bahwa kalimat-kalimat yang muncul dalam khutbah Nabi Saw itu merujuk pada peristiwa yang menjadi alasan Nabi Saw sampaikan khutbah. Berkembang gosip di kalangan non Muslim bahwa putra Muhammad yang bernama Ibrahim itu meninggal lalu terjadilah gerhana sebagai tanda sesuatu. Jadi khutbah Nabi Saw saat itu diperlukan karena ada suasana yang mengharuskan koreksi terhadap pandangan di tengah masyarakat itu perlu dilakukan.
Argumentasi beliau dibangun dengan merujuk kepada kaidah ushuliyah fiqhiyah:
ٱلْعِلَّةُ تَدُورُ مَعَ ٱلْحُكْمِ وُجُودًا وَعَدَمًا
“Keberadaan dan ketiadaan hukum tergantung pada ada atau tidaknya ‘illat.”
Semua ulama sepakat dengan kaidah ini. Lebih tepatnya perbedaan muncul karena keragaman interpretasi terhadap riwayat dan analogi. Namun, dalam konteks khutbah gerhana, lebih tepat digunakan kaidah:
العِبْرَةُ بِعُمُومِ الحَالِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang diperhatikan adalah makna yang umum, bukan sebab khusus yang melatarbelakangi.”
Artinya, setiap kali terjadi gerhana (matahari maupun bulan), keadaan itu secara umum merupakan momen untuk khutbah atau nasihat imam setelah shalat—tidak terbatas pada kasus khusus wafatnya Ibrāhīm, putra Rasulullah Saw.
Pendapat beliau beserta argumennya bukan hal yang baru, karena disebutkan di literatur fiqh klasik, misalkan pada kitab al-Nahr al-Fā’iq Syarḥ Kanz al-Daqā’iq:
وَخُطْبَتُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا كُسِفَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ مَوْتِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، لَيْسَتْ إِلَّا لِلرَّدِّ عَلَى مَنْ تَوَهَّمَ أَنَّهَا كُسِفَتْ لِمَوْتِهِ (ثُمَّ يَدْعُو) بَعْدَ الصَّلَاةِ جَالِسًا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ.
“Dan khutbah beliau Saw. ketika terjadi gerhana matahari pada hari wafatnya Sayyidunā Ibrāhīm, tidak lain hanyalah untuk membantah orang yang menyangka bahwa gerhana itu terjadi karena wafatnya beliau (Ibrāhīm). (Kemudian beliau Saw. berdoa) setelah shalat, dalam keadaan duduk menghadap kiblat.” Ibnu Nujaym, Sirāj al-Dīn, al-Nahr al-Fā’iq Syarḥ Kanz al-Daqā’iq, 375/1].
Pendapat yang Menetapkan Adanya Khutbah
Yakni Madzhab Syafi‘iyyah dan Badruddin al-‘Ainī al-Hanafi, dan sesuai dengan fatwa Tarjih.
Pertama: berdalil dengan hadits ‘Aisyah:
ثُمَّ انْصَرَفَ بَعْدَ أَنْ انْجَلَتِ الشَّمْسُ، فَقَامَ وَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لَا يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلَاةِ
“…Kemudian Rasulullah ﷺ selesai (shalat) setelah matahari kembali terang, lalu beliau berdiri, naik ke mimbar, dan berkhutbah kepada manusia. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana layak bagi-Nya, lalu bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Maka apabila kalian melihat hal itu, segeralah kalian menuju shalat.” (HR. An-Nasa’i).
Al-‘Ainī menegaskan bahwa frasa “فخطب الناس” ditambah dengan naik mimbarnya Nabi Muhammad Saw., kemudian beliau Saw. membaca hamdalah, dan memberikan mau‘izhah menunjukkan adanya khutbah syar‘iyyah. [al-Bināyah 3/149].
Kedua: Riwayat Samurah
Samurah bin Jundub berkhutbah setelah sholat gerhana sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw., :
ثَعْلَبَةُ بْنُ عَبَّادٍ الْعَبْدِيُّ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، قال: شهدت يوماً خطبة سمرة فَذَكَرَ فِي خُطْبَتِهِ حَدِيثًا فِي صَلَاةِ الْكُسُوفِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خطب بعد صلاة الكسوف خطبة فحمد الله وأثنى عليه، وشهد أنه عبده ورسوله
“Dari Ts‘alabah bin ‘Abbad al-‘Abdi yang merupakan penduduk Bashrah, berkata: “Aku pernah menghadiri khutbah Samurah (bin Jundub). Dalam khutbah itu ia menyebut sebuah hadis tentang shalat kusuf (gerhana), bahwa Rasulullah Saw. berkhutbah setelah shalat gerhana, beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, serta bersaksi bahwa beliau adalah hamba dan utusan-Nya…” (HR. Abu Daud, an-Nasai, dan al-Baihaqi, dishohihlan oleh imam al-Hakim dan imam Tirmidzi).
Ketiga: Qiyās
Diserupakan dengan shalat ‘Īd dan istisqā’, yang juga merupakan shalat sunnah berjamaah pada waktu khusus dan memiliki khutbah. [al-Qudūrī, at-Tajrīd 2/1011; Ibn Abī ‘Umar, asy-Syarḥ al-Kabīr 5/397].
Pendapat yang Menolak Adanya Khutbah
Yakni madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah (masyhur), mereka berargumen dengan :
Pertama: riwayat sejumlah sahabat (ʿAlī, al-Nuʿmān bin Bashīr, Ibn ʿAbbās, Jābir, Abū Hurairah) menyebutkan tata cara shalat gerhana tanpa menyebut adanya khutbah murattabah (dua khutbah dengan duduk di antaranya). [an-Nafrawī, al-Fawākih ad-Dawānī 1/278].
Kedua: Penakwilan Hadits ‘Aisyah
Kata “khutbah” ditafsir sebagai mau‘izhah (nasihat) dan bukan khutbah syar‘iyyah tetap. [‘Aliysh, Manḥ al-Jalīl 1/471; an-Nafrawī, al-Fawākih ad-Dawānī 1/278].
Argumentasi tersebut bisa dibantah, bahwa tujuan khutbah gerhana, bukan hanya meluruskan pemahaman yang salah terhadap fenomena gerhana melainkan juga mengingatkan kekuasaan Allah, mengajak shalat dan taubat, bahkan untuk menimbulkan rasa takut dan tunduk, bahkan ada beberapa rangkain yang Nabi Muhammad lakukan sebagaimana pada khutbah pada umumnya, seperti penyebutan hamdalah, dan syahadat.
Ketiga: hadits perintah saat gerhana hanya menyebut doa, takbir, shalat, dan sedekah, tanpa perintah khutbah:
فَإِذَا رَأَيْتُم ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَاكْبُرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
[Ibn Abī ‘Umar, asy-Syarḥ al-Kabīr 5/397].
“Maka apabila kalian melihat hal itu (gerhana), berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.”. Seandainya khutbah disunnahkan, niscaya Nabi Saw. memerintahkannya secara eksplisit.
Keempat: Qiyās
Shalat gerhana diserupakan dengan nawāfil an-nahār seperti Zhuhur dan ‘Ashar yang tidak ada khutbahnya, berbeda dari ‘Īd/istisqā’. [al-Raʿīnī/al-Ḥaṭṭāb, Mawāhib al-Jalīl 2/202].
Tarjih dan Fatwa Muhammadiyah
Dari uraian di atas tampak bahwa khilaf ulama cukup kuat, karena tidak ada dalil ṣarīḥ yang mewajibkan khutbah sebagaimana pada shalat ‘Īd. Namun, berdasarkan dalil shahih, kaidah umum, dan pertimbangan maslahat, penulis Majelis Tarjih Muhammadiyah menetapkan adanya khutbah setelah shalat gerhana.
Khutbah ini dilaksanakan: Satu kali khutbah, bukan dua, karena tidak ada dalil yang menegaskan dua khutbah. Isinya berupa nasihat, peringatan terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah, serta ajakan memperbanyak istighfar, sedekah, dan amal kebajikan.
Hal ini ditegaskan dalam: Maklumat Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 02/MLM/I.1/E/2023. (fatwatarjih.or.id – Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana).
Dengan mempertimbangkan dalil shahih, amalan sahabat, analogi dengan shalat ‘Īd dan istisqā’, serta kaidah fikih yang relevan, pendapat yang paling kuat adalah menyunnahkan khutbah setelah shalat gerhana.
Oleh karena itu, penulis lebih condong kepada tarjih Muhammadiyah, yaitu bahwa khutbah merupakan bagian dari kesempurnaan syiar shalat gerhana. Khutbah tidak hanya meneguhkan aspek ritual, tetapi juga memperkaya fungsi edukatif dan peringatan spiritual, sehingga jamaah dapat semakin dekat kepada Allah ketika menyaksikan peristiwa kosmik yang menakjubkan ini. Wallahu ‘alam.
Editor: Soleh

