Gundono, itulah nama kecil yang dilekatkan oleh orang tuanya. Afrizal Malna menyebut nama Gundono sebagai—nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Nama belakang “Slamet” diperoleh dari gurunya waktu di sekolah dasar.
Nama itu dipakai untuk menghormati gurunya hingga akhir hayatnya. Semula Gundono kecil enggan menjadi dalang. Ia ogah meneruskan jejak bapaknya. Bocah kecil itu semula melihat profesi dalang sebagai profesi yang lekat dengan minuman keras dan perempuan. Ia lalu nyantri di Pondok Pesantren di daerah Lebaksiu hingga Madrasah Aliyah.
Masa Kecil Gundono
Tumbuh besar di daerah Tegal yang akrab dengan kehidupan desa membuat Gundono meresapi nilai-nilai sebagai wong cilik, wong ndeso. Nuansa alam pedesaan yang masih banyak tetumbuhan dan persawahan serta sungai membuat Si Bocah makin mencintai tanah airnya.
Nama tegal sendiri memang lekat dengan warteg atau warung tegal yang menjadi jujugan para pekerja kantoran yang berjuang dari desa. Mereka memilih makan di warung tegal (warteg) karena kantong mereka tak cukup makan di Mall atau restauran di Jakarta.
Tegal juga karib dengan bahasanya yang medok yang membuat orang langsung mengenali bahasa logat ngapaknya yang sudah terkenal.
Kenang-kenangan di masa kecilnya itulah yang kelak melahirkan kreativitas yang bakal dikenang sampai saat ini. Ingatan tentang desa yang masih subur makmur, penuh dengan rerumputan dan tanaman hijau dan pepohonan diolahnya menjadi inspirasi berkarya yang menjadi rahim lahirnya “wayang suket”.
Slamet Gundono kecil memang terlahir dari keturunan orang tua yang gemuk. Gundono tidak pernah menimbang berat badannya. Ia menikmati berat badannya sebagai anugerah Tuhan. Gundono juga tidak pernah sakit hati atau kecewa dengan tubuh gemuknya.
Tubuh itu kelak yang akan membuat penampilan panggungnya menjadi memukau secara alami. Dengan tubuhnya itu pula, ia memikat dengan kesederhanaan serta segala daya yang dimilikinya. Justru dengan tubuh yang dipandang orang menjadi masalah itu, Gundono mengolahnya dengan kreativitas untuk menghadirkan energi positif bagi publik.
Kehidupan Slamet Gundono di Pesantren
Itulah pakeliran wayang yang membuka dunia kecil Sang Dalang sebelum ia memasuki dunia pesantren yang kelak akan membuka jalan hidupnya sebagai dalang. Di pesantren, Gundono justru semakin tertarik dengan dunia wayang yang dulu tidak disukainya.
Gundono dididik oleh Kiai yang membebaskan santrinya berekspresi kesenian. Dengan kebebasan yang diberikan Kiai di pesantren itulah, Gundono merasa bebas berekspresi dan memperdalam wayang yang menjadi kegemarannya itu.
Kebebasan yang ada di Pondok Pesantrennya ia manfaatkan betul. Bahkan Gundono juga sempat mementaskan wayang di Pondok Pesantrennya sebelum ia tamat dari Pondok tersebut.
Pandangan Slamet Gundono Terhadap Dunia Pesantren
Di Pondok Pesantren, Gundono menemukan dunia religiusitas yang sejati. Ia mendapati pesantrennya tempat banyak dan ragam orang. Para mantan pemabok, mantan penjudi, preman, dan aneka ragam orang.
Gundono melihat dunia pesantren kelak sebagai dunia yang lentur dan tidak kaku. Ia pun mengakui bahwa dirinya hanyalah seorang anak pesantren yang sedang berdakwah melalui wayang.
Dalam rahim pesantren ini Gundono menggeluti tembang suluk dan pujian kepada nabi. Apa yang didapatnya ini bakal dipadukan dengan wayang yang kelak dimainkannya dengan sangat indah.
Suluk dalam Pewayangan
Suluk-suluk di pesantren yang semula milik santri, menjadi milik penonton wayang Gundono yang beragam itu. Gundono berhasil membawa suluk dan barzanji menjadi nafas baru yang menyejukkan dalam dunia pewayangan tanah air.
Suara suluk Gundono seperti orang tilawah. Gundono memainkan suluknya seperti menyanyikan suara hatinya. Kemampuan vokal Gundono yang memukau membuat para penonton wayangnya meneteskan air mata atau terpingkal-pingkal mendengar Gundono menghibur penonton. Kemampuan suaranya yang merdu itu dipadu dengan suara gitar kecil yang ia bawa setiap ia pentas.
Musik, tubuh, hingga suara yang ia bawakan membuat wayang yang ia tampilkan seperti perpaduan musik tradisional yang membawa penonton memasuki alam cerita Gundono.
Agama dan Seni
Sebagai seorang santri, Gundono mengolah apa yang ia dapat dari pesantren ke dalam dunia kesenian. Dengan begitu, ia memahami agama sebagai sesuatu yang lentur, tidak kaku dan membasuh dahaga.
Dengan kesenian yang indah itulah, dakwah dituturkan dengan tanpa menggurui, dakwah dikemas dengan tanpa teriakan. Melalui wayang, Gundono bisa memasukkan nilai-nilai religiusitas dengan lihai. Ia memahami bagaimana posisi wayang atau kesenian sebagaimana dulu Sunan Kalijaga berdakwah bisa membuat orang tersentuh dan sadar.
Slamet Gundono mampu memadukan yang modern dan tradisional. Ia mampu membawa lakon atau cerita dengan situasi sekarang. Gundono juga membawa wayangnya dengan lakon yang “memberontak”dari pakem. Tak heran banyak dalang menjuluki ia sebagai—“dalang mbeling”. Kenakalan Gundono adalah kenakalan yang kreatif.
Di kemudian hari, kreativitasnya kelak diakui dan membuat publik kagum pada kepiawaiannya menyuguhkan wayang dengan era kekinian. Ia adalah dalang yang penuh talenta. Ia memiliki dua aspek penting dalam dunia pewayangan, ia menguasai olah tubuh (teater), dan juga kemampuan kosmologi pedalangan melalui kerja literer.
Sebagai seorang dalang, tentu saja kreatifitas dan ciri khas menjadi daya tarik tersendiri yang memikat penonton. Gundono adalah pekerja seni yang terus belajar tentang Jawa dan wayang yang ia serap dari gurunya maupun dari kerja literasinya membaca dan mempelajari khazanah kesusasteraan jawa. Keteguhannya untuk terus belajar dan egaliter, membuat Gundono menjadi dalang yang kelak dikenal dan dicintai publik.
Editor: Yahya FR