Inspiring

Ki Slamet Gundono (3): Wayang Mbeling Sebagai Bukti Kreativitas Sang Dalang

3 Mins read

Wayang Suket dan Karya Setelahnya

Gundono mungkin tak menyangka apa yang dipentaskannya saat di Riau justru menjadi ikon dan disukai publik. Laku kreatif Gundono membuat wayang menjadi terus hidup di mata anak muda.

Penemuannya ini menjadi perbincangan menarik di media massa maupun dalam penelitian. Saat di Riau, ia tidak membawa perangkat gamelan dan juga sinden dan timnya yang biasa diajak manggung.

Ingatannya melamun di kala masa kecilnya. Ia ingat rerumputan yang berada di pinggir, tidak dipedulikan, dicampakkan bahkan dibuang. Ia pun membuat wayang bermedia suket atau rerumputan ini. Dibuatnya wayang dari suket dan jadilah lakon bertajuk Kelingan Lamun Kelangan di tahun 1997.

Dalam wawancaranya dengan Harian Republika (1/6/2003) Gundono menuturkan pengalamannya mengenai wayang suket. “Karena bapak dan simbah saya itu kan petani. Tiap hari ke sawah. Tiap hari saya melihat suket.

Suket itu kan di sawah tidak sengaja dimainkan. Jadi, orang membuat wayang begitu. Misalnya, petani lagi santai lalu main suket. Dijadikan sebuah bentuk lalu diletakkan begitu saja. Dibuang bubar.

Tak dimainkan dalam pentas sesungguhnya. Pengertian wayang itu kan oleh kita, seniman. Pengertian wayang suket pada awalnya ya seperti itu. Tidak dengan sendirinya dimainkan.

Ia memainkan wayang yang oleh dalang disebut sebagai “wayang mbeling”. Alexander Clark dalam bukunya Wayang Mbeling: Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru (2008) menulis, “wayang Mbeling  adalah wayang yang sengaja ditulis melenceng dari pakem.”

Kelakuan Mbeling Gundono

Kelakuan Mbeling Sang Dalang sudah nampak sejak ia masih di bangku kampus. Alkisah kala itu, di tahun 1995, digelar Festival Greget Dalang. Dalam pertunjukan itu, tampil para “dewa” dalam dunia pedalangan. Waktu itu, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, dan Ki Purbo Asmara ikut pula dalam festival tersebut.

Baca Juga  Ki Slamet Gundono (2): Filosofi Wayang Suket

Satu persatu dalang senior menampilkan lakonnya masing-masing. Setelah itu, tibalah giliran Slamet Gundono untuk tampil perdana. Seperti tidak ingin melewatkan momen, Gundono pun menggebrak panggung dengan sesuatu yang baru. Gundono berani membunuh lima pandowo. Ia menolak pakem suci, dan melakukan dekonstruksi dalam dunia wayang.

Sebagai dalang yang kreatif, Gundono juga menampilkan wayangnya dengan sebutan “wayang lindur” dan ia terbitkan di media massa/ koran.

Dalam penelitiannya Sri Indratmi Yudiarti (2010), ia mengupas bagaimana kreativitas Gundono yang mengangkat persoalan sehari-hari dan persoalan kaum bawah yang selalu aktual dan menjadi juru bicara “wong cilik”.

Karya Wayang Mbeling

Dalam karya “wayang mbeling”, Slamet Gundono tampil sebagai komunikator sosial sekaligus seniman tangguh di bidangnya. Tercatat bahwa Slamet Gundono menulis wayang di koran selama dua tahun 2006-2008.

Berbeda dengan wayang yang biasa membutuhkan perangkat seperti sinden, gamelan, serta panggung yang cukup tertata. Wayang lindur atau wayang Mbeling, yang dibutuhkan adalah kreativitas dalang untuk menentukan setting sendiri, tokoh sendiri dan juga lakon atau jalan cerita sendiri.

Dengan wayang lindur ini mengukuhkan sisi intelektualitas Gundono. Dalam wayang lindurnya, Gundono bisa bergerak dan meloncat sana sini dari tema ke tema.

Melalui wayang lindur itulah, Gundono juga menemukan panggung barunya selain dari wayang suket temuannya. Ibarat sentilan-sentilunnya Butet Kertaradjasa, wayang lindur pun juga menjadi lentur untuk menyindir pemerintah atau siapapun yang menjadi sasaran kritik/kegelisahan Sang dalang.

Fenomena wayang lindur menunjukkan bahwa budaya Jawa bisa sangat lentur beradaptasi dengan kemajuan zaman. Kreativitas seniman/dalang membuat budaya Jawa khususnya wayang menjadi kesenian yang tak lekas punah ditelan zaman. Pakem boleh berubah, tapi semangat atau fungsi wayang sebagai medium (penyampai pesan) tetap akan menjadi media kesenian yang abadi.

Baca Juga  Jalan Terjal Dakwah Ustazah Ninin Karlina Melawan Konservatisme

Khummamah Nuhzuliya (2009) juga meneliti bagaimana koran digunakan sebagai media kritik dalam kolom wayang lindur yang digarap Slamet Gundono. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gundono memberi kritik kepada pemerintah yang ternyata minim perhatian kepada wong cilik atau rakyat kecil. Harga BBM, serta isu-isu yang merugikan rakyat diangkat melalui tokoh-tokoh wayang yang ia munculkan. Gundono mengambil setting di istana atau kerajaan sebagai simbol penguasa atau menggunakan pelataran rakyat.

Gundono Sebagai Musisi

Selain mendalang, ia juga seorang musisi. Ciri penampilan wayangnya yang meletakkan dirinya sebagai pusat dan juga bisa dengan mudah keluar masuk berinteraksi menjadi wayang, sinden, dan menjadi penonton sekaligus menarik dan memikat publik.

Gundono sendiri juga seorang yang pandai bermain teater melalui wayang yang ia mainkan. Dengan melihat kelihaiannya bermain musik ia juga seorang musisi yang baik. Kemampuannnya dalam bermusik juga menelorkan karya yang menjadi perhatian publik.

Slamet memainkan musik tambolin maupun gitar kecilnya di gelaran musik jazz. Gundono melahirkan album musik di tahun 2009 bertajuk Tuhan Maha Dalang yang diproduksi Mizan Musiqa. Ia menggandeng Mustafa El Habsy memproduksi album Blues Pesisir dan Gambus Jawa.

Di tahun 2021, ia menelorkan album musik berjudul Julung Sungsang (2012).[1] Dalam wawancaranya ia mengatakan” Album terbaru saya lebih kaya dengan musik. Semua saya masukkan mulai dari musik gambus, gamelan dan kentrung. Kalau yang album laawas kan hanya salah satu saja yang saya usung.”

Kreativitas Slamet Gundono lahir dari kerja kesenian yang memadukan berbagai genre musik. Terkadang gambus, rock, hingga aliran religius dalam albumnya. Alat musiknya bisa berasal dari alat musik modern dan tradisional.

Perpaduan itu melambangkan bahwa Gundono bukan musisi yang mandeg pada satu gaya musik semata. Gundono ingin menunjukkan bahwa seorang seniman mesti kreatif dalam berkarya tidak terpaku pada satu hal semata.

Baca Juga  Politik Kebangsaan Muhammadiyah: Pelopor Nasionalisme Indonesia

Kekuatan kreativitas Slamet Gundono ia pupuk dari membaca dan terus belajar kepada para seniman lain dan membaca buku. Literasi menjadi daya dukung serta modal penting dalam menelorkan karya-karyanya. Sebagai seorang dalang, ia bukanlah sosok dalang yang cepat puas pada satu penciptaan karya seni.


Editor: Yahya FR

Avatar
35 posts

About author
Pegiat Literasi
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *