Inspiring

Ki Slamet Gundono (4): Dalang yang Rendah Hati

2 Mins read

Wayang Yang Tak Selesai

Haris Firdaus pernah menulis liputan tentang Slamet Gundono dengan tajuk “Wayang yang Tak Selesai” (17/10/2009). Wayang bagi Slamet Gundono adalah pertunjukan kreatif yang memang tak selesai.

Ia bisa berlanjut di pikiran penonton, bahkan pikiran Sang Dalang sendiri. Lakon dalam wayang bukanlah hal yang bisa selesai sekali pentas. Afrizal Malna pernah menyebut wayang adalah sesuatu yang bisa bergerak ke dalam dan ke luar, dari teks ke konteks. Dari cerita ke realitas. Inilah yang dimainkan oleh Slamet Gundono melalui wayang-wayang kreasinya.

Gundono Membuat Wayang Tidak Kaku

Di tangan Slamet Gundono, wayang bukanlah sesuatu yang kaku. Ia bergerak mengalir seperti air. Wayang hanyalah medium penyampai semata. Yang utama adalah pesan dan juga makna dari pertunjukan itu sendiri.

Itulah mengapa di tahun 2009 ia memainkan wayang kondom yang mungkin sedikit kontroversial. Ia menggaet Elizabeth D Inandiak melakonkan Minggatnya Cebolang.

Di tahun sebelumnya, tepatnya di tahun 2003, Gundono mementaskan wayang air dalam Festival Wayang Internasional. Ide dasar Gundono menjadi menarik karena mengangkat air yang saat ini menjadi problem bagi manusia.

Banyu, Isun takon Apa sira Punya Ibu? (Air, Aku Bertanya Apa Engkau Punya Ibu?), itulah lakon yang dibawakan Slamet Gundono. Ia memadukan antara kisah sungai Gangga dalam pewayangan dengan keadaan atau konteks realitas persoalan air saat ini.

Meengajak Batin untuk Berdialog

Apa yang ditampilkan Gundono melalui lakon wayang seolah seperti mengajak dialog ke dalam batin kita sendiri tentang refleksi tema-tema atau lakon cerita yang dibawakan. Perasaan kehilangan saat menyaksikan sosok Aswatama misalnya digambarkan ke dalam jiwa kita bagaimana seseorang yang digambarkan sudah kalah, dalam kesedihan mendalam dan hendak menaklukkan pemenang.

Baca Juga  Ki Slamet Gundono (1): dari Pesantren Menjadi Dalang

Aswatama dalam lakon terakhir menjelang Duryudana wafat, ia justru diangkat jadi Senopati. Dalam pementasannya Slamet justru ingin menghadirkan sifat manusia yang setelah mendapatkan kekuasaan seolah lupa diri dan mengejar balas dendam. Ketidakberdayaan, kekalahan, serta kesedihan seorang manusia yang kalah diangkat oleh Gundono dan ditampilkan dalam sosok Aswatama.

Dalam pengalaman menyaksikan Celengan Bisma misalnya, saya diajak untuk memasuki sebuah dunia Bisma yang bukan hanya dituntut oleh kesetiaan sumpahnya pada satu sisi, namun juga dituntut pada satu kesalahan dirinya yang melakukan hal yang tidak wajar kepada istrinya.

Bisma harus menempuh laku yang menjadi konsekuensi hidupnya. Ini dilakukan oleh Bisma yang teguh dengan sumpahnya sendiri namun menjadi nasib perih yang harus didera Dewi Amba. Gundono seolah memainkan Amba sebagai tokoh utama yang bukan Bisma sendiri. Dewi Amba yang memberontak, mengamuk, dan marah menjadi cerita menarik tersendiri yang diangkat oleh Gundono. Ia justru ingin mengangkat bagaimana perasaan Si Amba, bagaimana hati seorang perempuan yang harus menanggung apa yang dilakukan sendiri oleh Bisma.

Gundono dalam hal ini tidak hanya bermain tafsir tapi juga memainkan wayang seolah hanya perantara dari pesan. Itulah mengapa Bisma hanya ditampilkan dengan buah-buahan seperti Timun, Apem, Ayam Ingkung, Tomat, yang menjadi tokoh dalam wayangnya itu. Selain mendobrak pakem, Gundono hendak membalik bahwa Bisma tidak selalu selamanya suci. Inilah keberanian Gundono menafsir wayang. \

Gundono Dalang yang Rendah Hati

Ganjaran penghargaan Internasional yang didapatnya tidak merubah siapa dirinya. Ia tetap dalang yang rendah hati, merakyat, dan konsisten mengangkat tema-tema sosial serta kalangan bawah. Dalang wayang suket ini pun kelak meninggalkan warisan yang sederhana sekaligus penting dalam dunia wayang, dan dunia kesenian pada umumnya.

Baca Juga  Buya Hamka: Difitnah Secara Keji, Dipenjara Tanpa Diadili

Suket yang menjadi ikon wayangnya telah mengajak kita merenung kembali bahwa sejatinya kita sering mengabaikan yang pinggir, yang dibuang dan disingkirkan ternyata adalah nyawa yang ada dalam laku kesenian kita. Kita sering lupa suket atau rumput juga makhluk Tuhan, dan kita sejatinya adalah wayang yang dimainkan oleh Tuhan, tapi sering melupakan dalang dari Sang Maha Dalang.

Gundono tutup usia meninggalkan daya hidup dan kreativitas hidup yang tinggi yang mengingatkan kita bahwa hidup adalah cara kita menunjukkan kepada Sang Dalang bahwa kita telah menjadi wayang yang sebaik-baiknya.

Editor: Yahya FR

Avatar
35 posts

About author
Pegiat Literasi
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *