Tahun 2024 di Indonesia adalah tahun yang angker. Mengapa demikian, sebab di tahun tersebut akan ada pertarungan politik untuk mendapatkan kursi strategis di negeri ini. Tahun 2024 juga akan menentukan masa depan bangsa Indonesia dalam waktu lima tahun kedepan.
Pesta demokrasi yang digelar separuh dekade ini sudah mulai ramai dengan perbincangan bursa capres cawapres yang akan bertarung di gelangkan pemilihan nanti. Partai-partai politik mulai menguatkan posisinya dengan berkonsolidasi bersama partai-partai lain yang memiliki gagasan dan ide yang sama, untuk membentuk koaliasi yang kuat.
Di Indonesia, partai politik terbilang sangat banyak, masing-masing partai tentu saja mengusung nilai-nilai dan ideologi yang menjadi pijakannya. Ada partai yang mengusung nilai-nilai nasionalisme, agamis, religius bahkan ada yang mengawinkan antara nasionalis dan religius. Perbedaan ideologi ini tidak menjadi masalah asalkan masih dalam rel Pancasila.
Dalam pertarungan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa golongan kiai dan pesantren ikut andil bahkan ambil bagian dalam percaturan politik nasional ini. Kiai dan pesantren dalam urusan politik nasional tentunya sudah sangat teruji, mengingat para pendiri bangsa ini juga berasal dari sendi-sendi pesantren. Hingga sekarang para kiai dan santri khususnya jaringan pesantren tradisional masih banyak yang duduk di kursi-kursi elit pemerintahan.
Lantas bagaimana para kiai pesantren mengkader para santri untuk berkiprah di dunia politik? dan bagaimana pendidikan politik di pesantren? Hal ini akan saya uraikan di bawah.
Pendidikan Politik di Pesantren
Pesantren adalah instansi pendidikan klasik yang sampai saat ini masih eksis di Indonesia. Kiai menjadi tokoh sentral dalam instansi tersebut, ia akan menyampaikan kajian-kajianya melalui berbagai media misalnya, masjid atau mushola, majelis ta’lim, pengajian umum, organisasi sosial keagamaan dan lain sebagainya.
Materi-materi yang disampaikan kiai tidak jauh dari bahasan yang ada dalam teks-teks kitab kuning, mengingat para kiai pesantren jika memutuskan suatu hal pasti ia akan merujuk pada keterangan-keterangan yang sudah disampaikan para gurunya (salafus shalih) yang termaktub dalam kitab-kitab kuning tersebut.
Melalui media-media tersebut sang kiai juga dengan mudah mendidik santrinya untuk menyampaikan pesan-pesan politik yang bermartabat. Dalam sesi wawancara dengan KH. Yahya Cholil Staquf sekaligus putra dari kiai politisi ulung yaitu KH. Cholil Bisri, ia mengatakan bahwa rata-rata para kiai di lingkungan kita ini selalu menganjurkan para santrinya untuk mengerti soal politik.
Politik disini adalah dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Misalnya pedagang, ia harus tahu politik dagang agar tidak rugi atau terjerumus dalam kesalahan-kesalahan dalam berdagang. Apalagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat harus mengetahui politik yang terkait dengan nasibnya.
Pandangan senada juga disampaikan oleh KH. Fathur Rahma Aly di Sarang Rembang bahwa ia mengingat pesan gurunya KH. Maimoen Zubair salah satu tokoh sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang istiqomah berpartai di PPP, mengatakan “Para santri harus menguasai persoalan politik, meskipun tidak harus terjun ke politik praktis,” ungkap Kiai Fathur.
***
Apabila kita urutkan dari pandangan politik yang diajarkan oleh Mbah Maimoen Zubair dan Mbah Cholil Bisri kepada santri dan masyarakat merupakan doktrin ideologis sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.
Ayat Al-Quran yang berimplikasikan pada keharusan mengetahui politik di antaranya adalah surah An-Nisa ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya dan ulil amri diantara kamu,” ayat yang lain juga disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 159:
“,,,,Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,”
Ayat-ayat tersebut sedikit memberikan titik terang bahwa Allah swt juga menganjurkan kita untuk taat kepada ulil amri yang didalamnya juga adalah pemerintah. Dari hal tersebut, dalam makna yang sangat luas bahwa umat Islam harus mengetahui kebijakan pemerintah dan pemerintahan itu sendiri atau juga ikut berpartisipasi dalam politik secara langsung.
Sementara ayat yang kedua tentang musyawarah. Para ulama juga menganjurkan kita untuk bermusyawarah dalam urusan yang menyangkut kepentingan bersama, sedikit terkait bahwa musyawarah adalah sistem dasar dalam demokrasi.
Selain itu juga Nabi Muhammad saw pernah memberi contoh bernegara dalam membangun masyarakat Madinah. Apabila kita lihat dari segi praktis dan diukur dengan variabel politik modern, bahwa Rasulullah saw juga berpolitik per excellence.
Para Imam yang menganut mazhab Sunni pastinya juga mengenal Imam Al-Mawardi, seorang ulama yang membidangi ilmu politik era klasik. Ia mengatakan imamah itu dilambangkan sebagai pengganti kenabian dengan fungsi mengatur agama dan negara. (al-imamah maudhu’at li al-khilafat an-nubuwwah fi kharasat al-din wa siyasat al-dunya)
Tiga Metode Pendidikan Politik ala Kiai Pesantren
Kiai pesantren memiliki metode tersendiri dalam mengenalkan politik kepada para santrinya. Dalam pengamatan saya, ada tiga metode yang sangat mendasar yaitu:
Pertama, melalui metode ceramah. Ceramah adalah metode yang paling klasik dan sering dilakukan, khususnya digunakan di beberapa lembaga pendidikan, khususnya pesantren. Melalui dialog monolog dua arah antara kiai dan santri sangat dominan dan tidak ada ruang dialog atau komunikasi bersaut dalam metode ini.
Kedua, metode keteladanan. Keteladanan ini sangat erat dengan posisi ulama yang sangat dihormati, karena ia memegang kendali keilmuan dan disebut sebagai pewaris Nabi yang harus diteladani ucapan dan tindakan nya. Hal ini sangat diyakini oleh para santri dan masyarakat sehingga muncul istilah “Nderek Kiai” berarti semuanya ikut apa yang dikatakan kiai.
Ketiga, metode nasihat. Para kiai pesantren adalah orang yang menjadi rujukan santri dan masyarakat saat dilanda masalah sehingga biasanya para kiai memberikan nasihat kepada mereka. Kekuatan nasehat ini membentuk relasi antar santri dan kiai menjadi hubungan yang erat. Oleh karena itu, metode nasihat ini sering digunakan untuk memberikan pemaknaan yang lebih luas mengenai pentingnya politik, demokrasi, dan etika dalam berpolitik.
Dengan demikian, para kiai pesantren tidak dapat dilepaskan dengan dunia politik, karena kiai paham betul bahwa politik adalah medan untuk menentukan perkembangan umat di kemudian hari. Namun para kiai memiliki cara tersendiri dalam mengartikan politik yang sesungguhnya, yaitu politik dalam arti luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Editor: Soleh