Perspektif

Kiai, Santri, dan Kekuatan Pesantren sebagai Institusi Tradisi

3 Mins read

Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari konteks kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan Islam di Nusantara. Sejarah pesantren adalah kaleidoskop perjuangan umat Islam dalam mempertahankan eksistensinya di tengah dinamika zaman yang terus berkembang. Meskipun berbagai sumber menyatakan bahwa pesantren disinyalir merupakan hasil Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari Hindu-Budha di Nusantara yakni padepokan dan dukuh. Namun, dalam perjalanannya, pesantren dan tradisi Islam Nusantara telah menyatu membentuk identitas keislaman yang khas. Pesantren memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri yang membuatnya tetap lestari hingga hari ini sebagai penjaga tradisi sekaligus pelopor perubahan

Pada abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus pemberdayaan masyarakat terasa sangat bernas, terutama dalam istilah Dawam Rahardjo—bidang penyiaran Islam. Keberadaan pesantren kala itu selalu diawali dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dan masyarakat sekitar, yang berujung pada kemenangan di pihak pesantren. Kasus ini sudah banyak terjadi di Nusantara, sebut saja Pondok Pesantren Tebu Ireng. Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, dan lainnya. Hal ini menunjukkan pesantren memiliki daya juang sekaligus daya tahan yang begitu kuat (strong endurance) menghadapi gempuran nilai-nilai asing.

Durabilitas pesantren dalam merespons, mendialogkan, dan mengarifi segala nilai asing tersebut sekaligus menunjukkan fleksibilitasnya dalam berdialog dengan zaman. Dari proses dialog itulah, seperti yang dikemukakan Masdar Hilmy, pesantren muncul menjadi kekuatan pendidikan yang matang, dewasa, dan mandiri (established), yang darinya lahir ulama-ulama besar dan generasi muda Islam terbaik, baik di kancah nasional maupun internasional.

Pesantren sebagai Institusi Tradisi

Sekalipun sejarah mengguratkan “kedigdayaan” pesantren dalam menghadapi tantangan zaman dan mengonversinya menjadi sebuah “kekuatan baru,” tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan-tantangan di masa mendatang akan semakin kompleks. Tantangan-tantangan tersebut bukan hanya perlu direspons, tetapi juga menuntut pesantren untuk memiliki kreativitas dalam menciptakan produk-produk budaya baru yang adaptif terhadap kebutuhan zaman. Di sinilah pesantren memerankan fungsi organiknya: sebagai institusi tradisi.

Baca Juga  Karakter Tawakal: Sandaran Hati atas Ketetapan Ilahi

Sebagai institusi tradisi, pesantren selama berabad-abad, tidak hanya menjadi pusat pembelajaran (center of knowledge), dakwah, dan pembentukan karakter umat. Tetapi juga menjaga dan membentengi keberlangsungan nilai-nilai keislaman dan kebudayaan. Hal ini tidak hanya meliputi diseminasi ilmu-ilmu keislaman klasik (seperti kitab kuning). Melainkan juga upaya menjaga kesinambungan nilai, mengarifi tradisi, membentuk budaya dan norma baru. Serta meredistribusi identitas keislaman masyarakat Muslim Indonesia yang lebih kompatibel.

Dalam konstruk pemikiran Ismail Fajrie Alatas, tradisi yang selama ini dikelola dan dilestarikan pesantren tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang beku atau entitas pasif. Tetapi sebagai proses “pewarisan aktif” (active transmission) dan “keterlibatan kreatif” (creative engagement). Pandangan Alatas ini memberikan perspektif baru dalam membaca peran pesantren sebagai aktor yang tidak hanya mempertahankan legasi. Melainkan terus menegosiasi, mereinterpretasi, dan mentransformasikan kembali tradisi agar tetap bermakna dalam konteks kekinian. Oleh karena itu, perubahan dalam praktik pendidikan, kurikulum, bahkan struktur sosial pesantren harus dilihat sebagai bagian dari dialektika tradisi dan modernitas.

Kinerja Artikulasi

Memang tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat agar menerima “bid’ah” tradisi baru yang sudah dimodifikasi oleh pesantren. Namun, pesantren juga tidak kehabisan akal dan siasat dalam mendiseminasikan corak keberagamaan baru yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Di sinilah—mengutip istilah Alatas—kerja-kerja artikulatif (articulatory labor) pesantren diberdayakan.

Dalam konteks kinerja artikulatif, Alatas membaca pesantren sebagai ruang produksi normativitas Islam yang bersifat historis, dinamis, dan terus dibentuk oleh praksis sosial keagamaan para aktornya. Bagi Alatas, Islam termasuk pesantren sebagai lembaga penyemai Islam. Sebagai “realitas sosiologis” selalu merupakan hasil dari apa yang ia sebut sebagai kinerja artikulasi (articulatory labor), yakni upaya mengartikulasikan masa lalu kenabian dan perwujudannya dalam komunitas sehingga memungkinkan pengamalannya sebagai sebuah sunnah/norma kehidupan.

Baca Juga  Mahasiswa Stres, Bukti Pendidikan Agama Cuma Dianggap Formalitas

Di sinilah aktor pesantren (baca: kyai) menunjukkan kepiawaiannya dalam “mengunyah” budaya dan menghidangkannya kembali dalam bentuk yang layak konsumsi untuk publik. Dalam bahasa Geertz, kepiawaian ini disebut sebagai cultural broker (pialang budaya). Kyai memainkan perannya sebagai cultural broker yang menyeleksi aspek-aspek budaya dari luar, kemudian mengolah dan menafsirkannya ulang untuk disajikan kepada komunitasnya.

Lebih dari itu, seorang kyai tidak bisa tidak harus mengaitkan komunitasnya dengan sejarah kenabian. Karena ia mampu menggambarkannya dengan cara yang dapat diterima, dipahami, dan diterapkan dalam komunitas tersebut. Sehingga tetap berada dalam bingkai dan koridor sanad (keterhubungan ajaran dengan masa lalu kenabian).

Kyai dan Santri di Pesantren

Pesantren sebagai arena articulatory labor menunjukkan bagaimana para aktornya—terutama kyai dan santri—melakukan kerja artikulatif untuk mengkoneksikan khazanah tradisi Islam yang kaya dengan kompleksitas zaman modern. Ini bukan sekadar pelestarian, melainkan proses dinamis membentuk ulang otoritas, identitas, dan legitimasi dalam lanskap sosial-politik yang terus berubah.

Dalam prosesnya, kinerja artikulatif tersebut bukan semata-mata academic enterprise, tetapi juga personal repertoire yang penuh dengan kisah suka-duka. Dalam konteks inilah selalu terdapat banyak cerita yang mengiringi perjalanan pesantren—di antaranya ada yang mengusik, mengooptasi, atau mengintervensi kemandirian pesantren. Semua itu menjadi bagian dari dinamika pesantren di balik gegap gempita dan kemapanan yang kita saksikan hari ini.

Hal ini dapat dimaklumi karena berdirinya pesantren di Indonesia melalui proses seleksi alam yang begitu ketat. Proses tersebut tidak jarang didahului dengan serangkaian tirakat dan riyadhah agar pesantren benar-benar hadir menjadi solusi di tengah problematika umat. Dibutuhkan energi dan komitmen sepenuh hati untuk menuntaskan seluruh rangkaian laku tirakat sehingga memunculkan blessing in disguise. Maka, tidak heran jika kebertahanan pesantren hari ini bisa dibaca dalam kerangka tersebut.

Baca Juga  Pentingnya Menjaga Lingkungan Menurut Ajaran Islam

Editor: Assalimi

Avatar
35 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Anti Filsafat: Membaca Ulang Pemikiran Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Ketika sejarah mencatat guncangan besar dalam dunia Islam pada abad ke-13, satu nama yang terus bergema hingga hari ini adalah Ibn Taimiyyah….
Perspektif

Dua Wajah Pengurus Masjid

5 Mins read
Kata matsal atau perumpamaan dalam kamus Bahasa Arab Lisanul Arab karangan Imam Ibn Mandhur al-Afriqiy atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Mandzur…
Perspektif

Wali yang Membumi: Gagasan Ibn Taimiyyah

4 Mins read
Di tengah gejolak dunia Islam abad ke-13 dan 14 — ketika invasi Mongol mengguncang Baghdad dan kekuatan Salib masih mengancam dari Barat….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *