Pada masa tiga khalifah sebelumnya, Ali bin Abi Thalib terus menyertai mereka. Hingga sampai pada suatu peristiwa terbunuhnya Utsman (18 Dzulhijjah 35 H), umat Islam kehilangan imam. Kisah Ali bin Abi Thalib pun berlanjut. Bisa dikatakan bahwa kursi kekhilafahan kosong selama dua atau tiga hari. Perlu dicatat bahwa peristiwa terbunuhnya Utsman, menjadi sebuah fitnah besar yang akan berpengaruh dalam dunia Islam, baik dari segi politik, akidah, maupun keilmuan. Setelah peristiwa tersebut, para sahabat mendorong pembaiatan Ali sebagai khalifah baru umat muslim.
Kisah Pembaiatan Ali bin Abi Thalib
Sepeninggal Utsman, umat Islam dihadapkan pada sebuah problem yang menjadi tantangan khalifah selanjutnya, yaitu membersihkan ‘penjilat’ zaman kekhalifahan Utsman. Selain itu, umat Islam juga harus mengungkap dan menangkap mereka yang terlibat dalam pembunuhan. Maka Ali yang didesak untuk menerima pembaiatan, melihat ini adalah suatu tanggung jawab yang besar.
Setelah peristiwa syahidnya Utsman, maka para sahabat yang ada di Madinah menyatakan sumpah setia kepada Ali sebagai seorang khalifah. Hal ini berlandaskan bahwa tidak ada seorang yang lebih baik dan utama dari pada saat itu. Tidak ada orang lain yang layak dan mampu mengemban kepemimpinan umat setelah Utsman kecuali Ali.
Awalnya Ali bin Abi Thalib tidak berhasrat terhadap jabatan ini, dan dia baru setuju untuk menerima pembaiatan setelah perdebatan dan waktu yang panjang dengan para sahabat. Di samping tanggung jawab terhadap darah Utsman, Ali juga takut akan fitnah yang mungkin akan berlarut larut setelahnya. Dan nantinya, hal yang ditakutkan tersebut menjadi kenyataan, Ali akan menanggung kebencian, sebagai akibat dari Perang Jamal dan Shiffin.
Detail Pembaiatan Ali
Melalui Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, at-Thabari menyebutkan beberapa detail kisah pembaiatan Ali bin Abi Thalib di antaranya; dari Jafar bin Abdallah al Muhammadi – Amr bin Hammad dan Ali bin Husain – Husain – dari ayahnya – Abdul Malik bin Abi Sulaiman al Fazari – Salim bin Abi al Jaad al Asyjai – Muhammad bin al Hanafiyyah:
“Aku bersama ayahku ketika Utsman terbunuh. Dia bangkit dan masuk ke dalam rumah Utsman, dan para sahabat Rasulullah mendatangi ayahku dan mereka berkata ‘Utsman telah dibunuh dan orang-orang harus memiliki seorang Imam. Kita tahu bahwa tidak ada orang pada saat ini yang lebih pantas untuk tugas ini, dari segi yang ber-Islam pertama kali dan yang memilki hubungan kerabat terdekat dengan Rasulullah kecuali engkau’.”
Ali menjawab, “Jangan lakukan ini. Akan lebih baik bahwa aku menjadi seorang wazir dari pada seorang Imam’. Mereka membalas, ‘Tidak, demi Allah!, kami akan tetap kukuh hingga kami memberi baiat untukmu’. Ali menjawab, ‘Perihal Ini harusnya dilakukan di dalam masjid. Baiat harusnya tidak diberikan dengan rahasia atau tanpa persetujuan kaum Muslimin’.“
Dari Salim bin Abi al Jad – Abdallah bin Abbas mengatakan, “Aku tidak menyukai ide Ali, untuk melakukan baiat di Masjid. Aku khawatir akan terjadi kerusuhan di sekitarnya. Tapi dia (Ali) tetap pergi ke Masjid. Ketika dia masuk ke dalam masjid, Kaum Muhajirin dan Anshar ikut masuk juga dan memberikan baiat, dan kemudian diikuti oleh setiap orang.” Demikianlah bagaimana pembaiatan Ali sebagai khalifah berlangsung.
Peran Thalhah dan az-Zubair
Dari Jafar bin Abdallah yang sanadnya sampai kepada Abu Basyir al-Abidi, “Aku sedang berada di Madinah ketika Utsman dibunuh. Kaum Muhajirun dan Anshar berkumpul, di antara mereka terdapat Thalhah dan az-Zubair, dan mereka datang kepada Ali dan berkata, “Abu Hasan (kunyah Ali), biarkanlah kami memberikan baiat kepada engkau.”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak berkeinginan untuk menjadi khalifah, aku (setuju) bersama kalian apapun dan siapapun yang kalian pilih, aku akan setuju. Maka silakan buat pilihan kalian.” Mereka membalas, ‘Kami akan memilih engkau’.”
Setelahnya, mereka datang dan menemui Ali beberapa kali, berusaha untuk mendorong pembaiatan Ali. Pada pertemuan mereka yang terakhir, mereka berkata kepada Ali, “Urusan umat Islam tidak akan bisa dilayani kecuali oleh seorang Imam, dan hal ini (perdebatan untuk membaiat Ali ) telah berlarut larut.”
Ali membalas, “Kalian telah datang menjumpaiku beberapa kali, dan di sinilah kalian lagi, maka biarkan aku memberi sebuah saran. Jika kalian menerimanya, aku akan setuju untuk mengambil kepemimpinan, tapi jika kalian tidak (tidak menerima), aku akan berlepas diri dari permasalahan ini”.
Mereka membalas, “Apapun yang engkau katakan kami akan menerimanya, Insya Allah.” Maka Ali naik ke atas mimbar, sedang orang-orang mengerubunginya. Ali berkata, “Aku tidak memilki keinginan untuk mengambil kepemimpinan atas kalian, akan tetapi kalian bersikeras agar aku melakukannya. Ketahuilah juga bahwa aku tidak akan mengambil satu dirham pun tanpa izin kalian. Apakah ini diterima?”, Mereka semua setuju. Maka Ali berkata, “Ya Allah, engkaulah saksi atas mereka.” dan dia menerima baiat mereka.
Al-Waqidi berkata, “Orang orang di Madinah membaiat Ali. Namun tujuh orang menarik diri dan tidak ikut berbaiat. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqash, Shuhaib, Zaid bin Tsabit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Salamah bin Waqsy dan Usamah bin Zaid. Dan tidak ada seorang sahabat Anshar pun yang tertinggal, mereka semua ikut berbaiat sejauh sepengetahuan kami.”
***
Sebagian ulama memberi komentar, bahwa yang benar adalah semua sahabat yang disebutkan di sini telah membaiat Ali. Namun setelahnya, mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri. Demikianlah kisah pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Wallahu a’lam.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan