Review

Kisah-Kisah Unik Cak Dlahom, Sufi dari Madura

4 Mins read

Buku dengan judul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura merupakan tulisan dari Rusdi Mathari yang berisikan sekumpulan cerita bersambung berjumlah 30 cerita yang rutin dipublikasikan secara teratur semasa Ramadan 2015 dan 2016 di Mojok.co.

Dalam buku “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya”, penulis mengisahkan tokoh utama yang kerap dipanggil “Cak Dlahom” dengan penokohan yang nyentrik dan tidak biasa. Cak Dlahom sering dianggap tidak waras dan kerap melakukan aksi nyeleneh seperti berbicara pada air, memanjat pohon, tidur di kandang kambing, sehingga tingkahnya itu selalu mengundang gelak tawa warga kampung.

Di samping tingkahnya yang demikian, Cak Dlahom kerap dimintai pendapat atau dengan inisiatif mengomentari kejadian-kejadian di Desa Ndusel yang berkaitan tentang agama. Pendapat yang akan membuat pembaca tercengang dan merenungkan kembali pemahaman atas agama kita selama ini.

Penulis dalam bukunya selalu meninggalkan jejak kaki, bahwa cerita yang ditulis terinspirasi dari penulis-penulis terdahulu. Sebut saja Hizboel Wathany Ibrahim, Gus Ubaidillah Semarang, dan Cak Nun. Adapun hasil original pemikiran penulis, bisa kita lihat dan kulik lebih lanjut dalam rekomendasi setelah membaca buku ini.

Kerap Memberikan Pertanyaan Nyeleneh, Namun Sarat Ilmu

Dengan penggambaran tokoh utama yakni “Cak Dlahom” yang kurang waras ketika berdialog dengan warga, mungkin akan terkesan mbulet atau berputar-putar. Namun bila kita cermati baik-baik, tiap apa-apa yang diucapkannya akan memberikan pemahaman yang tidak terduga dari seorang Cak Dlahom. Sosok yang dikenal tidak waras namun memiliki pemahaman agama yang cukup matang.

Pada cerita pertama dengan judul “Benarkah Kamu Merindukan Ramadan?” pembaca akan disuguhkan dengan cerita sehari menjelang bulan Ramadan di kampung Ndusel, dimana warga tengah sibuk bersih-bersih serta bergotong royong sembari memasang atribut khas menyambut Ramadan pada umumnya, termasuk memasang spanduk bertuliskan “Selamat datang ya Ramadan. Kami rindu padamu.”

Spanduk tersebut sangat menarik perhatian Cak Dlahom. Ia membacanya berulang-ulang kali hingga dikira belajar membaca oleh Mat Piti, sohib dekat Cak Dhalom dalam cerita. Cak Dlahom mengusulkan untuk kata-katanya diganti dengan ucapan “Ramadan kami masih merindukanmu, tapi kau cepat berlalu.” Lalu Cak Dlahom melontarkan pertanyaan pada Mat Piti.

Baca Juga  Melihat Kongres Syarikat Islam 3 Maret 1913 Melalui Novel Student Hidjo

“Benar kamu suka berpuasa?,” tanya Cak Dhalom.

“Insya Allah benar, Cak,” Jawab Mat Piti.

“Kalau manusia suka melakukannya untuk apa diwajibkan, Mat? Kalau begitu, kita usulkan pada Allah agar puasa Ramadan tidak diwajibkan, apalagi hanya sebulan sekali dalam setahun, sebab manusia termasuk kamu sudah suka dengannya. Mestinya kamu juga berterus terang pada Allah, bahwa kamu tidak suka salat dan tidak suka berpuasa. Tapi kamu sudah siap dan ikhlas melakukan sesuatu yang kamu tidak suka itu, sehingga derajatmu tinggi di hadapan Allah. Kalau kamu suka, ya tidak tinggi derajatmu, Mat.”

Dalam sub bab cerita yang berjudul “Pak Haji, Bu Puasa…Mbah Syahadat” Pak Lurah memasang papan nama di tembok rumahnya dengan embel-embel “Haji” di depan namanya. “Haji Sidik Khairil, Kepala Desa Ndusel.”. Melihat itu, Cak Dlahom yang sedang berada di rumah Mat Piti sembari berbuka puasa kembali bertanya;

“Aku ingin tahu sejak kapan Pak Lurah punya nama baru, di depan namanya ada haji,” tanya Cak Dhalom kepada sohibnya, Mat Piti.

“Bukan, Cak. Itu kebiasaan. Orang yang sudah berhaji biasanya memakai gelar haji. Dipanggil Pak Haji. Untuk menghormati, Cak,” jawab Mat Piti.

“Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil Pak Salat? Orang yang puasa dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat dengan Pak Zakat? Kenapa orang-orang yang menunaikan Rukun Islam lainnya tidak dipanggil dengan sebutan sesuai nama Rukun Islam.”

Cak Dlahom Kerap Menggunakan Analogi Menarik dan Dekat dengan Keseharian Kita

Meskipun dengan sederet aksi nyeleneh di kampung dan terkesan tidak waras dalam penyampaian pesan nasihat soal agama, namun Cak Dlahom pandai memilih analogi yang dapat mudah dipahami orang awam dengan bahasa yang sangat membumi atau merendah, sehingga lagi-lagi memberikan pencerahan kepada warga kampung.

Baca Juga  Greendeen: Agama yang Cinta Lingkungan

Rasanya figur guru kehidupan seperti Cak Dlahom yang merupakan tokoh fiksi ini juga harus hadir di tengah masyarakat untuk menjadi figur tandingan agar orang-orang yang terlanjur pongah atau sombong atas ilmunya dapat lebih merendah diri. Supaya tak selalu merasa paling benar dan paling baik.

Coba kita tengok figur Cak Dlahom yang digambarkan oleh penulis, Rusdi Mathari. Dipanggil sebutan guru pun enggan, ia tapi faham agama. Bahkan ia mengaku-mengaku dirinya sebagai seorang yang stress.

Dalam cerita berjudul “Ikan Mencari Air, Mat Piti Mencari Allah” Mat Piti merasa sungguh penasaran atas keberadaan Allah dan ingin menyaksikan serta melihat Allah. Sebab sebelumnya Cak Dlahom memberi tahu bahwa Allah itu tampak, namun masih menjadi pertanyaan dalam hati Mat Piti sehingga Cak Dhalom menjawabnya analogi seperti ikan dalam air. Mereka tidak tahu selama ini berada di dalam air, tapi mereka malah mencari air.

Cak Dhalom melanjutkan dengan anologinya dengan analogi denyutan nadi manusia. “kenapa kamu selalu bertanya dan ingin mencari Allah, padahal Allah meliputimu setiap saat. Lebih dari denyutan nadi yang paling halus yang pernah kamu dengar atau kamu rasakan. Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kau tulis di pembukuan laba untung-rugi kehidupanmu. Ilmumu kau gunakan untuk mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar, bodoh saja tak punya”.

Menurut Mat Piti, ikhlas adalah berbuat atau melakukan sesuatu karena Allah, dengan Allah, hanya untuk Allah. Namun dalam pemahaman Cak Dlahom, ikhlas dianalogikan dengan sedikit saru tapi banyak betulnya dan bisa jadi itu betul semuanya bila kita renungkan  cerita berjudul “Menghitung Berak dan Kencing.” ini.

Baca Juga  Menyelami Jagat Cerita Jawa

Cak Dlahom memulai pertanyaan kepada Mat Piti, “berapa kali kamu kencing dan berak dalam seminggu, setahun, sejak lahir? tapi tak ada yang bisa menjawab, keduanya sama-sama tidak. Poinnya “Ikhlas ialah amal perbuatanmu yang tidak pernah diingat-ingat.”  Cak Dhalom melanjutkan penjelasannya kepada Mat Piti sebagai berikut;

“Kencing dan berak itu amalmu, Mat. Kamu mengeluarkan sesuatu dari badanmu dengan tidak menahan-nahannya dan segera melupakannya. Tidak mengingat-ingat bau, warna, dan bentuknya seperti apa. Kamu menganggap kencing dan berak tidak penting, meskipun itu termasuk mengeluarkan sesuatu yang sangat penting bagi lambung atau ginjalmu. Buat peredaran darahmu. Untuk kesehatanmu.”

Serupa dengan diksi yang dipilih sebelumnya, Cak Dlahom di beberapa kesempatan menjadi pembicara saat pengumpulan zakat menjelang lebaran di kampung halamannya sebagaimana diceritakan dalam sub bab cerita “Zakat dan Sekantong Taek” ia diminta untuk menjelaskan makna zakat.

Cak Dlahom menjawab, “Zakat itu kotoran. Sama dengan sedekah, infak dan sebagainya. Kita semua harus membuangnya. Jangan eman-eman. Zakat wajib dikeluarkan untuk membersihkan harta. Membersihkan hati kita.”

Cak Dlahom menambahkan bahwa, jangan menjadi sombong dan lebih pandai atau si paling- paling lebih dari orang lain karena kita semua tidak lebih adalah sekantong taek.

“Di usus sampean, di lambung sampean ada apa, Pak Lurah selain Taek? Sama dengan yang tersimpan di perut manusia yang lain. Tak ada bedanya. Kita semua yang mengaku ganteng atau cantik setiap hari ya diganduli sekantong Taek. Yang miskin dan kaya juga membawa sekantong taek. Kita semua cuma sekantong Taek. Lalu apa yang mau disombongkan, lah wong kita ini hanya sekantong taek?,” ucap Cak Dhalom.

Identitas Buku

Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura

Penulis: Rusdi Mathari

Penerbit: Buku Mojok, D.I. Yogyakarta.

Cetakan Pertama: September 2016

Jumlah halaman: 226 halaman

Ukuran: 13 x 20 cm

ISBN: 978-602-1318-40-9

Editor: Soleh


Iklan kemitraan Lazismu.org

Fahris Haria Febrilian
3 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi PDM Kabupaten Pasuruan. Penerjemah Mandarin.
Articles
Related posts
Review

Dune 2: Perjuangan Masyarakat Adat Melawan Imperialisme

2 Mins read
Beberapa bulan lalu, baru saja dirilis film Dune 2, sekuel dari film Dune yang pertama garapan sutradara Denis Villeneuve. Film ini digadang-gadang…
Review

Dari Privat ke Publik: Pergeseran Wacana Seksualitas Masyarakat Jawa Abad 20

3 Mins read
Berbicara mengenai seksualitas, kita mungkin hanya memahaminya sebagai pertemuan antara dua jenis kelamin semata. Namun, jika ditarik secara lebih dalam, seksualitas terlalu…
Review

Burung-Burung Manyar: Kisah Nasionalisme Orang-orang yang Gagal

3 Mins read
“Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”(Burung-Burung Manyar, hlm….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds