Tarikh

Kisah “Menteri Penerangan Desa” dan Perubahan Komunikasi

5 Mins read

Pada era 1990-an dan sebelumnya untuk komunikasi penyampaian berita darurat dari dusunku digunakan telegram. Telegram terkirim dari Kerinci bisa diterima pada jam yang sama di Jogja. Tetapi dari dusunku tentu harus ditambah waktu perjalanan mencapai kantor telegram di kota kabupaten. Telegram terakhir aku terima dari Wo Mursal pada 1988 berisi berita sedih.

Telegram dan Perubahan Komunikasi

Saat itu aku sedang mengikuti kuliah di Pondok Shabran UMS Solo. Tiba-tiba seorang staf masuk ke kelas menghantarkan sepucuk telegram untukku. Kalimat pendek dalam telegram itu yang membuatku lunglai ”Upoak meninggal dunia tadi pagi…” Sore itu juga aku menuju terminal Kartasura untuk pulang ke Kerinci melalui Jakarta.

Tetapi, sesampai di rumah Cik Rustam di Klender Jakarta Timur keputusaanku berubah. Para saudara meminta aku menunda kepulangan. Toh sudah tidak bisa mengikuti pemakaman Upoak. Sudah terlambat dua hari. Sedangkan minggu depan ujian semester sudah menunggu. Dusun asalku memang terasa sangat jauh kala itu. Maka sore harinya aku putar haluan, pulang ke Solo.

Wesel yang Membahagiakan

Tentu aku tidak bisa melupakan wesel sebagai media komunikasi lainnya. Wesel lebih digunakan untuk pengiriman uang. Tetapi pada bagian pinggir kertas tebal wesel ada kolom kecil, dua kali sepuluh senti, yang disediakan untuk menulis berita pendek. Wesel terakhir aku terima pada 1991.

Berbeda dengan telegram terakhir, wesel terakhir ini sangat menggembirakan bagiku. Wesel aku terima dari Indok menjelang wisuda. Nilai rupiahnya cukup besar. Berita pendeknya adalah agar aku menggunakan uang untuk modal menghadapi masa-masa setelah kuliah. Selama lima tahun kuliah aku memang tidak lagi merepotkan keluarga. Aku kuliah dengan beasiswa penuh dari Persyarikatan Muhammadiyah. Aku makin gembira karena berita wesel itu ditutup dengan kalimat, ”Kalau ada perlu apa-apa kirim kabar. Nanti kami kirim wesel lagi.”

Seiring dengan pergantian waktu giliran aku menjadi pengirim wesel. Sejak memiliki penghasilan tetap pada 1992 aku menyisihkan sebagian rezeki guna diweselkan bulanan untuk Indok. Aku tidak menunggu penghasilan berlebih. Ini bukan soal jumlah uang tetapi lebih sebagai bentuk kedekatan. Setelah Indok wafat pada 2003 pengiriman dana tanda kasih ini aku lanjutkan untuk kakak-kakakku, sampai hari ini.

Baca Juga  Islam Maju Karena Peradaban Ilmu

Jumlah yang diterima kakak-kakakku meningkat seiring dengan bertambahnya penghasilanku dan berkurangnya jumlah penerimanya. Setelah jasa pengiriman uang melalui wesel lenyap aku menggunakan cara lain, transfer uang ke rekening salah satu kemenakanku. Lalu aku meminta dia berkunjung ke rumah kakak-kakakku. Di samping menyampaikan kirimanku aku berharap kemenakanku ikut berbagi dengan menyertakan dananya sendiri untuk para paman-bibinya itu.

Era Telepon yang Mendekatkan

Lalu masuklah era komunikasi via telepon. Maka selamat tinggal surat dan terima kasih telegram. Dengan telepon lenyap sudah semua hambatan jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Dusunku tidak lagi terasa jauh. Dari manapun aku berada desaku terasa seperti desa sebelah saja. Untuk mengirim berita orang di desaku tidak lagi harus pergi kota kabupaten.

Kemudahan ini dimulai sejak wartel pertama berdiri di desaku pada tahun 2002. Hobiku menjalin silaturrahmi dengan saudara dekat maupun jauh juga menjadi makin mudah. Sebelummya setiap berada di suatu daerah aku berusaha mencari alamat teman atau saudara yang berdomisili disana. Terutama mereka yang lebih tua dariku. Apalagi mereka adalah sahabat almarhum Upoak. Dengan telepon aku bisa menjalin komunikasi, menjangkau mereka kapan saja aku mau. Tentu saja mereka yang memiliki pesawat telepon di rumah masing-masing.

Ada rasa bahagia yang tidak terkira ketika bisa bersilaturahmi. Walaupun hanya melalui telepon. Mendengar suara orang satu desa yang berada di berbagai penjuru merupakan kenikmatan tersendiri bagiku. Apalagi kami bisa bertukar informasi dan saling berbagi cerita tentang kampung halaman. Mungkin ini terkait dengan diriku yang sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman. Aku terlalu lama jauh dari keluarga. Maka untuk urusan telepon menelepon ini aku menyediakan anggaran khusus. Setiap bulan ada saja keluarga jauh atau dekat yang aku telepon. Intensitasnya meningkat menjelang dan sesudah Idul Fitri. Ketika berada di suatu daerah dan aku tidak bisa berkunjung langsung maka minimal suaraku mengahampiri beliau-beliau. Kata orang luar sana just say hello. Sekadar uluk salam.

Komunikasi Setelah Kemunculan Ponsel

Kemudahan menelepon makin menjadi-jadi dengan munculnya ponsel. Kebiasaan baruku pun muncul, yaitu mengirim sms. Pada sisi lain aku makin sering menerima telepon dan sms dari orang sedesaku. Ketika ada berita duka di desaku aku selalu mendapatkan informasi pertama. Bahkan pada suatu persitiwa tiga kali hapeku berdering oleh panggilan dari kampung halaman.

Baca Juga  Potret Kemajuan Islam di Baghdad

Panggilan pertama datang dari Kakak Syahruddin yang selalu mengabari aku bila ada kerabat kami meninggal. Baru saja ditutup hapeku berturut-turut berdering lagi. Panggilan dari lokasi yang sama, menyampaikan informasi yang sama, tapi dari orang yang berbeda. Sebagaimana biasanya aku segera menyebarkan berita ini ke orang sedesaku yang nomor kontaknya tersimpan dalam hapeku. Untuk ini kadang diperlukan waktu sampai satu jam.

Maka sering terjadi berita kematian diperoleh orang di desaku dari aku di Jogja sebelum berita duka melalui pengeras suara dari empat masjid yang ada di desaku berkumandang. Dalam hal ini aku pernah digelari “Menteri Penerangan” desaku. Belakangan grup-grup medsos melalui hape pintar yang lebih cepat dan hemat mengambil alih peran Menteri Penerangan ini.

Mempertemukan yang Terpisah

Hape sebagai alat komunikasi juga mempertemukan kembali aku dengan banyak sahabat masa kecil yang sudah bertebaran di berbagai penjuru. Salah satunya si Is, nama lengkapnya Isrul Husin. Wo Husin ayah Si Is meninggalkan kampung halaman pada 1960. Menguatnya PKI memaksa aktivis Muhammadiyah di Lakitan Sumatera Barat ini hijrah. Beliau berangkat bersama istri dan dua anak yang masih kecil Uda Safridal dan Uni Ima. Mereka menjadi bagian dari ratusan pendatang yang masuk ke desa kami seiring dengan tingginya harga kopi dan kulit manis masa itu.

Pada era itu, hampir separuh populasi dusunku adalah pendatang. Mereka umumnya menjadi petani penggarap. Sebagian menjadi penjahit, tukang dobi, dan membuka warung nasi. Mereka tinggal di rumah sudung yang bertebaran di sekeliling dusun. Sebagian mengontrak lantai satu rumah-rumah di dusun kami. Wo Husin sekeluarga tinggal di lantai satu rumah kami. Beliau menjadi tukang jahit dan berladang. Dua anaknya yaitu si Is dan si Safrul adiknya lahir di rumah kami dan menjadi teman aku bermain dan mengaji. Maka keluarga ini seperti saudara sendiri. Kami kakak beradik memanggil Husin dengan Wo, panggilan untuk kakak tertua di Kerinci.

Baca Juga  Islam Fundamentalis: Siapa dan Bagaimana Mereka Muncul?

Sejak 1979 kami berpisah karena aku melanjutkan sekolah ke Jogja. Ketika sesekali pulang kampung aku tidak lagi bertemu mereka. Wo Husin sudah hijrah tidak lagi tinggal di desa kami. Kemudahan menelepon menghubungkan kembali aku dengan keluarga ini. Awalnya aku mendapat nomor kontak Is yang menjadi guru sekaligus buya di Padang. Dari dia aku tahu bahwa keluarga besarnya kini menetap di kampung halamannya, Lakitan.

Pada 2009, dalam perjalanan pulang kampung ke Kerinci melalui Padang, aku menetapkan sasaran penting yaitu Lakitan, 136 kilometer ke arah selatan Padang. Maka bertemulah aku dengan Uni Ima, Uda Saidina suaminya, dan ayahnya, yaitu Wo Husin. Sayangnya Safrul sudah wafat beberapa tahun sebelumnya. Ini pertemuan pertama kami setelah tiga puluh tahun berpisah. Kami saling berbagai cerita, panjang-lebar. Sambil mengontak Wo Husin yang di dusunku dulu juga dikenal sebagai tukang urut memegang-pegang bahu dan tanganku. Ucap beliau penuh kehangatan, “Ambo indak batanago kini. Indak talok mauruik Mahli lai (saya sudah tidak bertenaga, tidak kuat lagi memijat Mahli)…” Setelah menginap semalam aku melanjutkan perjalanan pulang ke Kerinci.

***

Jogja, jam dua siang medio 2019. Aku sedang mengajar di salah satu ruang di Kampus Terpadu UMY. Tiba-tiba hapeku bedering. Sebuah panggilan vidcall muncul. Saihu, sahabat masa kecilku mucul dengan wajah riang di layar hapeku. Di belakangnya nampak jelas Jembatan berayun. Air sungai Batang Merangin mengalir lembut di bawahnya.

Saihu adalaah saudara sekaligus teman bermain masa kecilku. Rumah kami di kampung halaman berhadap-hadapan. Pada jam seperti ini dulu kami baru pulang sekolah dan berlanjut dengan mandi lompat dari Jembatan Berayun. Sahabatku ini sedang memprovakasi rasa rinduku pada kampung halaman. Kini komunikasi audio-visual live seperti ini bisa kami lakukan kapan dan di mana saja. Sehingga serasa tidak ada lagi jarak 1.500 kilometer lebih antara desaku di pedalaman Bukit Barisan dengan Jogja.

Maka aku minta ijin kepada adik-adik mahasiswa untuk menjawab hapeku. “Ntek lu, kantai sdong mangko di sawah. Bentoa agiy, kitao mandi lumpat (tunggu dulu, aku sedang mencangkul di sawah. Sebentar lagi kita mandi lompat)…”

Editor: Nabhan

Avatar
31 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds