Tarikh

Tabuh, Surat, dan Kebimbangan Komunikasi Masa Lalu

4 Mins read

Pulau Sangkar, Kerinci pada suatu hari tahun 1981. Waktu zuhur sudah lama lewat dan waktu asar belum lagi masuk. “Dum… duum…. duuuum……” Suara tabuh meggelegar membelah suasana sunyi dusunku. Ini tentu keadaan tidak biasa. Sebuah kecelakaan telah terjadi. Seorang anak kecil hanyut di sungai Batang Merangin sungai yang membelah desaku.

Dalam waktu singkat ratusan penduduk begerak cepat menuju ke arah hilir. Sebagian berdiri di tepi sungai. Sebagian naik biduk dan memacunya menyusuri sungai. Beberapa menit kemudian jenazah seorang kemenakan jauhku anak Ngah H. ditemukan persis sebelum memasuki Air Gemuruh, ujung arus tenang Batang Merangin sebelum menjadi jeram deras menuruni Bukit Barisan.

Kemenakanku yang malang ini belum lagi berumur lima tahun. Nyawanya tidak terselamatkan. Tetapi jasadnya berhasil ditemukan. Dentuman tabuh bertalu-talu sebelumnya mengumpulkan warga dalam waktu dekat dan berujung pada ditemukannya jenazah si kecil. Tabuh menjadi alat komunikasi untuk situasi darurat di dusunku. Terutama pada era 1980-an dan sebelumnya.

Tabuh

Tabuh dibuat dari batang kelapa terbesar yang dibolongi di tengahnya. Jadi bentuknya memanjang. Ini berbeda dengan tabuh di masjid-masjid di Jawa yang lebih besar tetapi lebih pendek dan banyak terbuat dari kayu jati. Tabuh di dusunku diletakkan di atas penyangga yang agak tinggi di samping pintu masuk masjid.

Untuk memukul tabuh orang harus berdiri dan mengangkat pemukulnya di atas kepala. Tabuh yang panjang membuat dentuman suranya terdengar dari jarak yang lebih jauh. Bahkan sampai ke sawah dan ladang di lereng-lereng bukit yang megelilingi dusunku.

Secara rutin tabuh dipukul dengan irama tertentu di tiga masjid di dusunku waktu itu: Istiqamah, Mujahidin, dan Masjid Desa Baru. Dengan mendengarkan suara tabuh bisa diketahui masuknya waktu shalat wajib lima waktu. Bila tabuh berbunyi di luar waktu itu maka bisa dipastikan ada keadaan daruat. Biasanya terkait dengan kebakaran rumah. Atau ada orang hanyut sebagaimana aku ceritakan pada awal tulisan ini.

Baca Juga  Tobatnya al-Zamakhsyari dari Paham Mu’tazilah Karena Malam Pertama

Memukul tabuh merupakan salah satu kesukaanku pada masa kecil. Ini terkait dengan masuknya waktu dan isya di Masjid Mujahidin. Uniknya, masjid ini berada di seberang sungai dari rumah kami. Di dekat rumah ada masjid Istiqamah, hanya sepelemparan batu. Tetapi Upoak dan Indok tidak berjamaah di masjid ini. Orang tuaku berjamaah di masjid Mujahidin. Ini terkait dengan pengelompokan Muhammadiyah-Perti di dusun kami. Tentang ini lebih jauh akan ceritakan pada tulisanku lainnya.

Alat Komunikasi Masa Itu

Untuk bisa memukul tabuh aku harus berangkat lebih awal. Dua temanku Hamdani dan Azhar menjadi kompetirorku dalam hal ini. Siapa cepat dia dapat. Setelah shalat magrib berjamaah, aku bertugas membagikan asbak untuk menampung abu dan puntung rokok jamaah laki-laki. Lalu Upoak sebagai buya mulai mengisi pengajian dengan duduk di kursi menghadap meja yang diletakkan di antara jamaah laki dan jamaah perempuan. Selama ceramah ini aku terlelap di bawah meja sang buya. Ketika pengajian selesai, waktu isya segera masuk, aku dibangunkan jamaah. Waktunya bagiku untuk bersiap memukul tabuh lagi.

Selain tabuh, alat komunikasi massa lainnya di dusunku adalah canang. Canang adalah gong kecil yang digunakan untuk menandai pengumuman dari kepala dusun. Canang dijinjing berkeliling pemukulnya yang digelari tukang canang. Informasi yang disampaikan merupakan perintah kepala dusun atau hasil musyawarah dusun. Ini terkait kegiatan bersama seperti gotong royong.

Tukang canang yang aku ingat adalah Mamak Burhan dan Mamak Pah. Di sepanjang dusun kami ada beberapa titik pemberhentian pemukul canang. Salah satunya di tepi jalan, di pangkal tangga rumah kami. Canang dibunyikan pada malam hari. Sehingga sudah terdengar dari titik pemberhentian sebelumnya dan masih terdengar sama dari titik pemberhentian sesudahnya.

Baca Juga  Kekecewaan Natsir Kepada Nasionalisme

Ketika ada canang berbunyi, kami para anak-anak begegas mendekat dan mengikuti pegerakan pemukulnya dari satu titik ke titik yang lain. Apalagi ketika pemukul canangnya Mamak Pah. Setelah informasi resmi beliau sering menambah pengumuman dengan kalimat-kalimat yang lucu. Beliau memang dikenal sebagai pehumor di dusun kami. Setelah memukul canang sekeras-kerasnya maka Mamak Pah akan berteriak “ooooy denga lah di kayo apo perintah kepalo dusun malam ini…..”

Surat-menyurat

Tentu saja sejak kecil aku sudah mengenal surat sebagai sarana komunikasi. Surat pertama yang aku tulis adalah surat cinta kakak laki-lakiku nomor lima. Saat itu aku kelas tiga atau kelas empat SD. Kakakku merasa tulisan tanganku lebih bagus dari tulisan tangannya. Maka beliau mendikte dan aku menulis kalimat demi kalimat untuk gadis idamannya. Aku pun menjadi penulis yang baik walau belum lagi paham makna dari kata-kata kakakku yang tentu saja penuh makna itu.

Surat yang aku tulis berikutnya adalah untuk Buw, kakak nomor empatku yang kuliah di Jogja. Surat ini menumpang dalam satu amplop dengan surat Upoak bersama surat Indokku. Aku masih ingat tulisan pada amplop surat itu. “Kepada Ananda Muslih Zainuddin, Pengok PJKA Blok G No. 1, Yogyakarta.” Sedangkan di meja ruang depan rumah kami ada banyak surat Buw dari Jogja ini nampaknya banyak mempengaruhi alam bawah sadarku tentang betapa dahsyatnya kalau suatu saat nanti aku bisa sekolah di Jogja.

Tetapi surat-surat Buw dari Jogja tidak bisa dikirimkan langsung ke alamat kami. Belum ada jasa pos menjangkau dusun kami. Surat harus dialamatkan kepada saudara yang berdomisili di Sungai Penuh, kota kabupaten yang berjarak 33 kilometer dari dusun kami. Pada masa itu kantor pos Kerinci masih bagian dari kantor pos besar Padang-Sumatera Barat. Untuk itu aku berterima kasih pada para sudaraku yang berdomisili di Sunga ini Penuh. Melalui mereka surat-surat Buw, dan belakangan surat-surat dari aku juga, dihantarkan ke keluarga di dusunku melalui para sopir atau orang satu dusun lainnya yang sedang berkunjung ke kota kabupaten kami.

Baca Juga  Si Ryan, Kesederhaan, dan Kerinduan pada Makcik Haji Dahlan

Dengan perjalanan panjang itu diperlukan waktu paling cepat satu minggu untuk pengiriman surat dari Upoak untuk Buw di Jogja. Demikian juga sebaliknya. Itupun sudah menggunakan surat kilat khusus dengan perangko yang tentu lebih mahal. Tulisan Buw pada amplop surat-suratnya terbaca “Kepada Yth. Ayahanda H. Zainuddin/d.a. Kakanda H. Damhuri Gusti/Jln Sriwijaya, Sawahan Sei Penuh Kerinci/Via Sumatera Barat.”

Keterbatasan Surat-menyurat

Berbagai keterbatasan ini membuat aku tidak leluasa untuk berkirim surat. Apalagi surat itu untuk seseorang yang spesial di kampung halaman dengan isi yang bersifat khusus pula. Pertama, kalau surat dikirim dengan menulis nama dan alamat si buah hati maka terbukalah rahasia adanya hubungan khusus itu ke orang se dusun. Bahkan bisa juga viral ke orang satu dusun yang berada dimana saja.

Kedua, tidak ada jaminan isi surat itu tidak dibaca atau bahkan dibajak di tengah jalan dalam perjalanan panjangnya menuju si buah hati. Situasi ini bisa saja membuat si buah hati malu hati dan berujung pada berantakannya hubungan. Situasi ini juga melahirkan kebimbangan yang mendalam. Dalam hal ini sebuah lagu Kerinci yang sangat populer pada masa itu, bahkan sampai sekarang, berjudul Bimbea (bimbang) sangat tepat melukiskan suasana hati para remaja yang sedang kasmaran jarak jauh ini. Salah satu bait syair lagu ini berbunyi, “…. Bimbea alah bimbea rideak lahnyo lah dikudangea…. Randok dibupasan alah sayang ae rideak lanteh ni alah angan…… (bimbang oh bimbang, tiada kabar apapun aku dengar tentangnya. Hendak berkabar berita tetapi tidak ada keberanian).” Aduhai nasib…

(Bersambung)

Editor: Nabhan

Avatar
26 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *