Tubba’ (At-Tababi’ah) adalah julukan dari tokoh pendiri Dinasti Tubba di Yaman. Sang Tubba’ yang dimaksud di sini adalah Abu Karib Tiban As’ad, keturunan raja-raja Dinasti Tubba’ generasi terakhir (Abad ke-3 M). Sang Tubba inilah raja pertama yang memeluk agama Yahudi di Yaman. Sejarawan Ibnu Ishaq, mengisahkan bahwa sebelum memeluk agama Yahudi, Raja Tubba’ menganut keyakinan pagan (Ahlu Al-Watsan).
Harta Karun Kakbah
Ibnu Ishaq mengisahkan bahwa orang-orang dari Suku Quraish, khususnya dari Bani Hudail menawari Sang Tubba’ sebuah tempat berisi harta karun. Konon, harta karun tersebut tak ternilai jumlahnya. Tetapi tak ada satu pun orang Quraish yang berani menyentuhnya, apalagi mengambilnya. Yang dimaksud tempat harta karun tersebut adalah sebuah sumur yang berada di dalam Kakbah (Sirah Ibnu Ishaq, h. 11).
Sang Tubba’ penasaran mendengar tawaran yang aneh itu. Siapapun akan menganggap ini sebuah tawaran yang tidak wajar. Jika orang-orang menawarkan sesuatu yang amat berharga, tetapi mereka sendiri tidak mengambilnya, namun justru malah ditawarkan kepada orang lain, maka yang demikian sungguh amat tidak wajar. Dan Raja Tubba’ bukanlah orang yang bodoh.
Segera ditelusuri rahasia di balik tawaran orang-orang dari Bani Hudail tersebut. Raja Tubba’ mendatangkan rahib Yahudi dari kota Yatsrib (Madinah). Dia menanyakan perihal tawaran orang-orang Bani Hudail yang agak aneh itu.
Menurut pengakuan rahib Yahudi tersebut, memang benar, di tempat yang ditawarkan oleh orang-orang dari Bani Hudail terdapat harta karun yang ditimbun di dalam Rumah Suci, Ka’bah. Tetapi bukan itu maksud orang-orang dari Bani Hudail. Justru maksud mereka adalah akan membinasakan Raja Tubba’ yang dikenal kejam itu. Spontan Raja Tubba’ marah lalu dia menghukum orang-orang dari Bani Hudail (Sirah Ibnu Ishaq, h. 12).
Orang-orang dari Bani Hudail dan juga para kabilah Quraish, meyakini bahwa Kakbah dijaga oleh kekuatan yang tak kasat mata dan selalu melindunginya dari segala niatan jahat. Sang Tubba’ yang berniat mengambil harta karun di dalam Rumah Suci itu pasti akan mendapat hukuman dari penjaganya. Sejarah Bangunan Tua (Bait Al-‘Atiq) nan suci itu merupakan peninggalan nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim, yang tujuan pembangunannya sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Allah).
Manasik Sang Tubba’
Atas nasehat para rahib Yahudi, Sang Tubba’ disarankan melakukan ritual (manasik) di Kakbah dengan tata cara tertentu. Di antara tata cara ritual persis seperti dalam tradisi Ibadah Haji, ajaran peninggalan Nabi Ibrahim. Sang Tubba’ melakukan thawaf, memotong rambut, berkurban, menginap selama enam hari, dan bersedekah kepada penduduk di sekeliling bangunan tua nan suci itu.
Saat melakukan ritual haji, Sang Tubba’ mendapat ilham supaya menghias Kakbah dengan memberi atap dari dahan-dahan kurma yang telah dijahit dan menutup dindingnya dengan kain sulam produksi Yaman. Inilah peristiwa sejarah yang amat menentukan bagi struktur bangunan Kakbah berikutnya. Sebab, pada masa pertama kali pembangunan Rumah Suci ini tidak lain hanya berupa bangunan kubus berukuran 12 x 10 x 15 meter.
Setelah Dinasti Tubba ditumbangkan oleh orang-orang dari suku Himyar, bangsa Yaman (Arab Qathan) menerima dakwah yang disampaikan oleh sosok bernama Faimiyun (Phemmion) (wafat 521 M). Dia seorang Nasrani aliran Monophisit (Nestorian). Pengikut Al-Hawariyyun ini menyampaikan ajaran Nasrani Nestorian di Yaman pada sekitar tahun 500 M.
Faimiyun mendapati penduduk Yaman menyembah dewa pagan bernama Dzu Al-Khalasa. Berhala ini, konon, merupakan kreasi Amr bin Luayy, salah seorang pemimpin Suku Quraish yang memelopori paganisme ala baduwi di tanah Hijaz.