Salah satu tujuan spiritual dari puasa adalah pembersihan hati dari sifat-sifat tercela. Orang yang berpuasa maka hatinya akan lebih sensitif dan peka terhadap perbuatan yang buruk. Di antara perbuatan buruk yang harus ‘dibersihkan’ saat berpuasa adalah Hasad atau perasaan dengki.
Apa itu Hasad?
Menurut Syekh Sya’rawi dalam Tafsir Khawatir asy-Sya’rawi Hawla al-Qur’anul Karim, sifat hasad ini nyata dan berbahaya bagi kehidupan. Hasad ibarat sebuah benda tak kasat mata namun berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Diriwatkan oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِياَّ كُم وَالحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَاْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَاْ كُلُ النَّارُ الحَطَبَ
Artinya: “Jauhkanlah dirimu dari sifat hasad (dengki) karena sifat hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”.
Al-Ghazali dalam Bidayat wa al-Hidayah memberikan pengertian bahwa hasad itu sikap batin dimana seseorang tidak senang terhadap kebahagiaan atau pencapaian orang lain. Hasad selalu hadir dari zaman ke zaman.
Hasad adalah penyakit hati yang berbahaya karena dapat menghapus amal kebaikan seseorang. Sebagaimana hadits Nabi Saw di atas, amalan yang dilakukan selama ini dan bisa saja bertahun-bertahun bisa saja hilang disebabkan karena sifat hasad. Ibarat api yang melahap habis kayu-kayu kering dalam sekejap.
Belajar dari Kisah Sahabat Anshar
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Anas bin Malik dikisahkan bahwa suatu waktu ketika Rasulullah Saw sedang duduk bersama beberapa sahabatnya, beliau mengatakan bahwa sebentar akan datang salah satu calon penghuni surga.
Tidak berselang lama dari arah depan kemudian datanglah salah seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Laki-laki tersebut baru saja selesai berwudhu terlihat dari jenggotnya yang masih basah.
Keesokan harinya laki-laki tersebut datang kembali dan Rasulullah Saw mengucapkan hal yang sama seperti hari sebelumnya bahwa sahabat Anshar tersebut adalah calon penghuni surga.
Kemudian di hari berikutnya setelah Rasulullah Saw berdiri lalu meninggalkan Majelis, karena dilatarbelakangi oleh rasa penasaran entah amalan apa yang dilakukan laki-laki tersebut sehingga dijamin masuk surga membuat Abdullah bin Amr bin Ash ingin juga melakukan hal yang sama dengan sahabat Anshar tersebut.
Akhirnya Abdullah bin Amr menemui laki-laki itu.
“Wahai sahabatku, aku sedang berselisih dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak bermalam selama tiga malam di rumah ayahku. Jika berkenan izinkan aku menginap di rumahmu selama tiga hari”.
“Oh iyya, Silakan”. Jawab laki-laki itu.
***
Abdullah kemudian diperbolehkan untuk menginap di rumahnya selama tiga hari. Sepanjang malam Abdullah terjaga dari tidurnya agar bisa melihat ibadah yang dilakukan sahabat Anshar yang terlihat hidup sederhana.
Namun diluar ekspektasi Abdullah, ternyata yang dilakukan orang Anshar tersebut saat terjaga dari tidurnya adalah bolak balik berzikir dan takbir di tempat tidurnya hingga kemudian masuk waktu subuh. Dan hal tersebut tidaklah ‘spesial’ menurut Abdullah.
“Wahai Fulan saya ingin berterus terang kepadamu, sebenarnya saya tidak punya masalah dengan ayahku. Namun aku sengaja menginap di rumah karena ingin tahu amalan apa yang kamu lakukan hingga Rasulullah saw menjaminmu masuk surga. Hal itu yang mendorong aku untuk menginap bersamamu. Akan tetapi aku tidak melihat kamu melakukan banyak amalan” Tanya Abdullah.
“Sebenarnya amalan apa yang kamu lakukan yang mengantarkanmu pada derajat min ahil jannah?” Lanjut Abdullah bertanya.
“Sebagaimana yang kamu lihat saya hanya berzikir”.
Kemudiaan keesokan harinya saat Abdullah bin Amr hendak pamit pulang laki-laki itu pun melanjutkan ucapannya:
“Amalanku seperti yang engkau lihat akan tetapi selama hidup saya tidak pernah merasa dengki dengan keberhasilan dan kebaikan yang Allah berikan kepada orang lain”. Tangkas sahabat Anshor.
Dengan perasaan puas atas jawaban yang diberikan lalu Abdullah menimpali:
“Nah inilah amalan yang mengantarkan engkau sebagai ahlil jannah dan sifat dengki itulah yang berat bagi kami untuk ditinggalkan dan kami tidak mampu”. (HR. Ahmad: 12236)
Hikmah dari Kisah Sahabat Anshar
Kisah sahabat Anshar di atas penting bagi kita untuk diteladani dalam kehidupan saat ini. Dibandingkan dengan sahabat lain, yang mungkin saja ada yang rajin Qiyamul Lail, Puasa Senin-Kamis, sedekah dan amalan-amalan lainnya, akan tetapi jika amalan-amalan tersebut disusupi oleh sifat hasad maka sia-sialah amalan tersebut.
Sahabat Anshar yang tidak disebutkan namanya tersebut konsisten selama hidupnya untuk tidak ‘pusing’ dengan hidup orang lain. Seperti ungkapan orang lain beli kipas kita yang berputar, orang lain beli kulkas kita yang kedinginan, orang lain yang beli sambel kita yang kepedisan.
Hasad adalah sebuah tantangan bagi seorang muslim. Ini bisa terjadi ketika kita memiliki seorang teman yang hidupnya mapan, rumah tangganya harmonis lalu membandingkannya dengan hidup kita yang biasa-biasa saja. Lalu kemudian menganggap bahwa Tuhan tidak berlaku adil. Padahal kita sama-sama sujud kepada-Nya.
Orang yang hidupnya mapan bisa jadi karena kerja keras, tekun dan disiplin. Lalu kemudian tawakkal kepada Sang Ilahi. Ketika ada orang yang sukses seharusnya kita belajar dari usahanya yang dia lakukan bukan malah membuat cerita-cerita yang tidak baik yang bisa memutus tali silaturahmi.
Sifat hasad didasari oleh kebencian dan permusuhan kepada orang lain. Hasad juga terjadi karena menganggap diri sendirilah yang paling baik, paling benar, dan paling hebat.
Oleh karena itu, sebaiknya kita hindari sifat hasad karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an untuk menghindari hasad dapat melakukan berbagai kegiatan:
•Mengutamakan rasa syukur kepada Allah Swt
•Menyadari bahwa hasad dapat menjadikan seseorang menderita batin
•Menyadari bahwa hasad dapat menimbulkan permusuhan
•Menyadari bahwa hasad dapat menghanguskan amal yang selama ini dilakukan
•Bersikap realistis menghadapi kehidupan
•Jangan mudah diprovokasi orang lain dan
•Senantiasa berdoa meminta perlindungan Allah Swt
Editor: Soleh