Saya hanya orang biasa yang banyak dosa. Apalagi umur saya sudah banyak tentulah banyak pula dosanya. Saya orang rendahan, sebenarnya malu bercerita tapi tak apalah, semoga cerita ini ada manfaatnya untuk dimengerti dan jadi pelajaran. Tak jauh-jauh, cerita ini hanya tentang kisah seorang bapak yang mengayuh sepeda untuk mengejar asa bagi anaknya.
Kisah Seorang Bapak yang Mengayuh Sepeda
Pada tahun 1970, ketika saya berusia 7 tahun ibu saya meninggal dunia. Selama satu tahun saya langsung punya ibu sambung yang pertama. Pada tahun 1972 punya ibu kandung yang kedua, pada masa itu bersama empat saudara kandung saya mengalami kehidupan yang terpuruk sampai saya punya anak satu yang bernama Aliyatul Wahidah.
Putri pertama saya tersebut saya sekolahkan ke MI Al Islam Kauman Sukorejo dengan pertimbangan sekolah ini saya anggap maju dalam pelajaran tentang Agama Islam. Bukan tanpa kendala, ketika itu banyak ejekan dari orag-orang tidak senang pada saya, “lah gaya timen to lek-lek nyekolahake bocah nang sekolahane wong sugih-sugih!”.
Ternyata memang betul yang menyekolahkan di sana adalah orang yang mampu secara sosial ekonomi. Saya mengamati kebanyakan orang-orang mengantar anaknya menggunakan sepeda motor sedangkan saya, he he hanya pakai sepeda “onthel”.
Selama beberapa tahun dan satu satunya yang di luar Sukorejo adalah saya yang nggenjot sepeda “onthel” untuk mengantarkan anak sekolah. Alhamdulillah Allah SWT memberikan semangat pada anak saya dan selalu memperoleh peringkat tiga besar. Sampai puncaknya saat akhirussanah anak saya mendapat peringkat satu.
Anak Melanjutkan Sekolah
Pada tahun 2006 anak saya melanjutkan ke Pondok Darul Arqam Patean, Kendal. Hanya satu pertimbangan bahwa anak saya harus pandai Ilmu Agama Islam. Pada awal-awal tahun pertama saya benar-benar mengalami masa sulit, kebingungan dalam pembayaran. Biasanya hanya Rp15.000/bulan ketika anak masih belajar di MI Al Islam Kauman, kini berubah menjadi Rp185.000/bulan untuk biaya sekolah dan mondok.
Hampir dipastikan sejak tanggal 1 sampai 10 tiap bulannya saya tidak bisa tidur sore. Sebelum tidur saya selalu memohon kepada Allah SWT untuk diberi kelapangan rizki dan jangan sampai anak saya tahu kalau saya kesulitan bayar sekolah. Pada awal-awal ada rasa malu pada orang-orang yang sinis pada saya. Belum lagi kalau perpulangan hari Jumat anak saya mengadu pada ibunya, yang tentu ibunya tidak tega pada anaknya. Perasaan tidak nyaman ini saya jalani sekian lama.
Saya hanya punya alat transportasi berupa sepeda “onthel”. Maka setiap pertemuan wali santri saya harus kuatkan ngenjot atau bahasa sekarang nggowes Sukorejo-Patean (sekitar 40 km perjalanan pergi-pulang). Capek, letih, tidak saya rasakan demi masa depan pendidikan anak.
Alhamdulillah selama belajar di Madrasah Tsanawiyah yang bernaung di Pondok Darul Arqam Patean anak saya rangking 5 dari 120 santri. Pada jenjang selanjutnya, anak saya melanjutkan ke SMK Farmasi di pondok yang sama dan mendapat pengalaman magang di RSI Muhammadiyah Kendal. Berkat pertolongan Allah SWT selama belajar di SMK Farmasi anak saya selalu rangking satu.
Keterbatasan biaya tidak menyurutkan langkah anak saya untuk berhenti sekolah. Untuk melanjutkan kuliah, anak saya mencari beasiswa ke Magetan, Jawa Timur dan lolos seleksi. Namun, oleh Ustadz Ishaq Pimpinan Pondok Darul Arqom Patean, anak saya diminta menjalani masa pengabdian selama satu tahun.
Selama masa pengabdian tersebut, anak saya mencoba mendaftar kuliah dan diterima di Ar-Royah Sukabumi melalui tes yang diselenggarakan di Jogja. Saya sempat “mbrebes mili”; ketika mengantar ke Sukabumi saya mengajak pihak famili namun tidak ada yang bersedia. Justru ada yang mengatakan, “Bagaimana nanti kalau anak sakit, mau bagaimana?”. Lagi-lagi hanya karena melihat faktor keterbatasan ekonomi yang saya miliki.
Karena pertanyaan seperti itu, saya selesai shalat selalu berdoa kepada Allah untuk kesehatan anak saya dan juga agar lancar dalam menjalani kuliah.
IPK 4,0
Tidak mudah untuk bertahan belajar di Ar-Royah. Selain ada proses tes masuk, ada juga syarat dari Ar-Royah bahwa setiap tiga bulan nilainya harus memenuhi target yang ditentukan. Berkat pertolongan Allah SWT dengan doa-doa yang saya panjatkan usai shalat, anak saya dapat melampaui target capaian nilai dan pada semester 4 mendapat peringkat 3.
Kabar tersebut tentu disampaikan melalui surat karena saya tidak punya ponsel dan saya membacanya sambil mencucurkan air mata tanda syukur. Selama belajar di Ar-Royah Sukabumi saya hanya mampu memberi uang saku sebesar 2 juta untuk satu tahun (5000/hari), alhamdulillah anak saya diberi kesehatan dan kelancaran dalam menjalani belajar.
Pada puncak masa studi di Ar-Royah, anak saya mendapat predikat pembuat naskah skripsi terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif 4,0.
Sungguh tiada kata yang pantas yang saya ucapkan selain syukur alhamdulillah. Sebelum proses wisuda, anak saya telah diminta mengajar di Muhammadiyah Boarding School Yogyakarta Program Khusus (AR Fachruddin) yang memberikan fasilitas pendidikan gratis bagi anak-anak berpotensi namun kurang beruntung secara sosial ekonomi.
Sepeda “onthel” yang setia menemani jatuh bangun dalam berikhtiar menyekolahkan anak saat ini masih ada dan menjadi saksi.
Jika kita gali cita-cita kita semakin dalam disanalah kita temukan banyak permata.
*) Artikel ini merupakan kisah seorang Bapak di Kendal, Jawa Tengah yang menulis dengan tulisan tangan karena sangat bahagia saat anaknya menjadi lulusan terbaik. Lalu, cerita tersebut difotocopy dan disebarkan ke orang-orang yang pernah membantu dirinya.
Editor: Nabhan