Beberapa waktu lalu saya membeli dan kemudian membaca sekilas buku Islam Sontoloyo karya Ir. Soekarno, Founding Father Negara Indonesia. Buku ini secara keseluruhan mengkritik pemahaman Islam yang kolot dan tidak kontekstualis. Soekarno juga turut memberikan pandangannya terkait Islam yang seharusnya relevan bagi masyarakat Indonesia. Namun ada bagian yang menarik dari buku ini yang saya dapat, yaitu ketika dirinya diundang di sebuah forum Muhammadiyah. Kisah ini bersumber dari hasil wawancara yang dilakukan Koresponden Antara.
Soekarno dan Tabir Pembatas
Pada saat itu, Soekarno diundang dalam sebuah rapat umum Pimpinan Muhammadiyah Bengkulen (sekarang Bengkulu). Soekarno memang seorang kader tulen Muhammadiyah, dirinya menyatakan untuk bergabung dalam Muhammadiyah untuk mengabdi pada Islam. Namun ketika sudah hadir dalam rapat, Soekarno memilih untuk meninggalkan forum karena melihat tabir pembatas perempuan.
Soekarno mengatakan, tabir itu adalah sebuah simbol perbudakan bagi kaum perempuan. Soekarno dalam hal ini beranggapan bahwa menggunakan tabir pembatas bukanlah perintah Islam. Itu adalah sebuah perbuatan yang dibuat-buat.
Kepada wartawan yang mewawancarainya, Soekarno mengatakan bahwa dirinya sudah berdiskusi terkait tabir tersebut dengan para Pimpinan Muhammadiyah setempat. Adapun yang tetap memasang itu adalah pengurus lain yang tidak sependapat dengan Soekarno.
Kepada para jurnalis media, Soekarno juga menjelaskan bahwa dalam Islam memang dilarang saling memandang, tapi bukan berarti perempuan dibatasi kebebasannya dengan adanya tabir. Islam memerintahkan agar keduanya tidak saling tatap. Tujuan Islam adalah meninggikan derajat perempuan bukan membatasinya.
Tabir Pembatas Lambang Perbudakan?
Pasca kejadian tersebut, Tuan Semaun Bakri bersama dengan H. Sujak menghampiri kediaman Soekarno dan kembali membahas masalah ini. H. Sujak juga menyetujui bahwa menggunakan tabir juga ditentang oleh KH. Ahmad Dahlan. Seringkali dalam menafsirkan perintah keagamaan, kita masih menyisipkan bias gender di dalamnya. Putusan-putusan ulama klasik masih banyak mendiskreditkan perempuan, sehingga kebijakan atau perbuatan salah itu seakan-akan mendapat legalitas, akhirnya persoalan ini tidak pernah selesai.
Allah memerintahkan dalam Q.S An-Nur 30 dan 31 bahwa laki-laki harus menjaga pandangan dan kemaluannya sedangkan perempuan harus menjaga aurat dan kemaluannya. Sebagaimana firmannya;
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”(QS An-Nur 30).
Sedangkan di ayat selanjutnya Allah berfirman:
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),….(QS An-Nur 31).
Jelas sekali pada ayat tersebut, ada pembagian peran dalam meminimalisir terjadinya maksiat. Laki-laki diperintahkan menjaga pandangan dan perempuan diperintahkan menjaga aurat. Namun dewasa ini, mengapa di banyak kasus kekerasan seksual hanya perempuan yang disalahkan karena tidak menutup aurat?Nahasnya lagi dalam beberapa kasus, perempuan yang sudah menutup aurat juga tak lepas dari pelecehan seksual.
Dalam konteks ini, kita harus kembali memahami bahwa masing-masing punya peran dan perintah untuk saling menjaga. Jangan kemudian kita menormalisasi bahwa pandangan mesum laki-laki kepada perempuan adalah fitrah dan suatu hal yang normal. Jadi yang perlu dikoreksi adalah pandangan liar kaum laki-laki pada perempuan yang mestinya tidak dilakukan.
Setelah kita mengetahui pembagian peran tersebut, kita lantas bisa memutuskan bahwa tabir adalah bukti bahwa pandangan masyarakat masih bias gender. Mengapa demikian? Untuk menjelaskan itu, Soekarno menjelaskan dengan analogi pencuri. Ia menjelaskan bahwa Allah melarang melakukan pencurian, namun kenapa Allah tidak menyuruh kita menutup semua rumah dengan penjagaan yang amat ketat, sehingga tak mungkin ada pencurian? Penggunaan tabir justru mengindikasikan bahwa perempuan harus diletakkan pada posisi berbeda karena dikhawatirkan mengundang syahwat.
Muhammadiyah Tidak Misoginis
Muhammadiyah sejak berdirinya sudah mencita-citakan “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” salah satu dari upaya mewujudkan cita-cita ini adalah memberikan ruang dan derajat yang sama bagi laki-laki dan perempuan di ranah publik. Sejak awal Muhammadiyah telah berkomitmen memberikan ruang pada perempuan dalam melakukan kerja publik. Muhammadiyah memiliki organisasi otonom yang diisi oleh perempuan, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah.
Pandangan yang misoginis (membenci perempuan) telah menghantarkan kita pada titik terjauh dari cita-cita Islam. Selain itu, pembatasan hak publik pada perempuan telah menutup potensi-potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, seperti yang dikatakan Aminah Wadud. Sudah saatnya perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki; pendidikan, politik, dan peran dalam masyarakat. Perempuan harus tampil dan Muhammadiyah harus mendorong itu semua. Wallahu’alam bisshawab.
Editor: Ahmad