Feature

Kisah Soekarno, Mengkritik Ulama yang Haramkan Donor Darah untuk Non Muslim

3 Mins read

Pada bulan Juni 1941, Soekarno menulis tulisan berjudul “Bloedtransfusie dan Sebagian Kaum Ulama” yang berisi kritikan terhadap para ulama yang mengharamkan donor darah. Alasan para ulama mengharamkan donor darah adalah karena khawatir darah yang didonorkan ditujukan kepada musuh-musuh Islam. Menurut mereka, darah seorang Muslim itu suci, sedangkan darah seorang non Muslim itu tidak suci, sehingga haram hukumnya memasukkan darah seorang Muslim ke tubuh seorang non Muslim ataupun sebaliknya.

Penghayatan Islam Soekarno

Mengetahui argumen itu, Soekarno merenungkan penghayatannya terhadap Islam. “Apakah benar pendirian Islam begitu kejam kepada musuh? Apakah benar Islam menyuruh bunuh saja kepada musuh, tidak boleh menghidupi musuh?”, tulisnya

Lalu Soekarno menjawab sendiri renungannya tersebut, “Maka saya yakin, tidak!”. Dirinya menyodorkan beberapa data yang mendukung jawabannya. Pertama, Nabi Muhammad bersama pasukannya yang menaklukkan Makkah dan berkuasa untuk membunuh kaum kafir Quraisy yang telah mendzalimi kaum Muslim, namun beliau justru membebaskan mereka. Kedua, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang ketika memenangkan peperangan melarang pembunuhan dan perusakan terhadap musuh yang kalah, bahkan sampai memberikan hak dan perlakuan yang sama dengan orang-orang Islam.

Begitu pula dengan Umar bin Khattab hingga Salahuddin Al-Ayyubi yang mengirim obat dan dokter kepada musuhnya yakni Richard Leeuwenhart yang tak berdaya terserang penyakit di tengah peperangan, juga disebutkan oleh Soekarno. Semuanya mencontoh Nabi, dengan memberikan ampunan kepada pihak yang takluk.

“Bahkan meskipun umpamanya darahku itu masuk ke dalam tubuhnya orang kafir, orang pendurhaka, orang musuh, tetapi saya yakin itu satu pertolongan yang terpuji, walaupun pertolongan yang remeh seremeh-remehnya pun juga,” tulis Soekarno.

Dirinya juga mempertanyakan dalil “suci”-nya darah orang Islam dan “tidak suci”-nya darah orang non Islam tadi. Menurutnya, darah yang didonorkan adalah plasma hidup yang bersih dan murni, baik itu datang dari tubuh orang Islam maupun non Islam. Bahkan, daging babi dan alkohol bisa menjadi halal jika diperlukan untuk menolong nyawa, apalagi darah manusia. Bagi Soekarno, hukum asal donor darah adalah boleh, karena tidak ada teks Al-Qur’an atau hadis yang melarangnya secara eksplisit. 

Baca Juga  Penting

Singkatnya, menurut Soekarno, donor darah tidak dapat diharamkan secara mutlak karena ia sesuai dengan etika Islam yakni menolong sesama manusia yang sedang celaka, data historis menunjukkan bahwa para pemimpin Islam berbuat baik bahkan kepada musuh dalam peperangan, dan tidak ada teks Islam yang secara eksplisit melarangnya.

Argumentasi “Musuh Islam” Tidaklah Logis Bagi Soekarno yang Agamis sekaligus Nasionalis

Jika dicermati dengan baik, pandangan Soekarno terkait donor darah di atas adalah pandangannya sebagai seorang Muslim yakni pandangannya terhadap nilai-nilai Islam yang menjadi prinsipnya. Akan lebih menarik lagi jika pandangan tersebut dilanjutkan dengan pandangannya sebagai negarawan yakni pandangannya terhadap bangsa Indonesia yang majemuk suku, adat, hingga agamanya.

“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”, “Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Orang Sumatera dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa. Dan ini salah satu senjata yang immateriil,” tutur Soekarno.

Dengan pandangan nasionalisme Soekarno yang tercermin dalam penuturannya tersebut, ditambah penghayatannya terhadap etika Islam, tentu menjadi goncangan batin ketika dirinya mengetahui adanya pengharaman donor darah oleh ulama dengan argumentasi logika “musuh Islam” dan “darah muslim itu suci dan darah non muslim itu tidak suci”. Penghayatan terhadap agama dan negara yang bersatu padu dalam diri Soekarno memberontak terhadap argumentasi para ulama tersebut.

Soekarno tak lantas hanya berdiam diri saja setelah mengetahui hal tersebut. Dirinya menyodorkan data fakta historis Islam, yang bahkan dalam keadaan perang sekalipun masih bersedia memberikan “penghidupan” kepada “musuh”.

Baca Juga  Mengucapkan dan Menjawab Salam untuk Non-Muslim

Dalam logika etika Islam Soekarno, jika dalam keadaan perang saja Islam sangat memperjuangkan “penghidupan” sedemikian rupa, maka tidak ada alasan melarang donor darah dalam keadaan damai, apalagi dengan berdasarkan logika “darah muslim itu suci dan darah non muslim itu tidak suci”. Sedangkan dalam logika nasionalismenya, yang menghendaki bangsa Indonesia yang beragam suku, budaya, dan agamanya untuk bersatu, melarang donor darah dengan argumentasi “musuh Islam” tentu sangatlah tidak logis dan sukar diterima.

Nasionalisme dan Islam sama-sama mendorong persatuan, bukan permusuhan.

***

Kesimpulannya, penghayatan Soekarno terhadap etika Islam dan persatuan bangsa Indonesia membuatnya memberontak terhadap pengharaman donor darah yang berdasarkan pada argumentasi “musuh Islam” dan “darah muslim itu suci dan darah non muslim itu tidak suci”.

Bagi Soekarno yang argumentasinya mencakup ranah Islam dan nasionalisme, argumentasi para ulama yang mengharamkan donor darah tersebut terasa sangat dangkal karena terkesan buta terhadap realitas sekarang yang sudah bukan lagi dalam masa peperangan dan identitas agama yang beragam telah ditemukan titik persatuannya dalam identitas kebangsaan Indonesia, sehingga ujaran maupun tindakan yang mendorong pada permusuhan sudah tidak lagi relevan meskipun dinyatakan atas nama agama.

Islam yang mendeklarasikan diri sebagai rahmatan lil ‘alamin serta nasionalisme yang mendorong persatuan, dalam pandangan Soekarno, tentu akan sangat bertentangan jika dihadapkan pada fatwa pengharaman donor darah yang berdasarkan argumentasi logika “musuh Islam” dan “darah muslim itu suci dan darah non muslim itu tidak suci”. Tabik.

Editor: Soleh

Muhammad Alwi
11 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds