Parenting

Kok Bisa Anak Ranking Tiga Dimarahi?

3 Mins read

Setiap orangtua, termasuk saya, selalu menginginkan anak-anaknya berprestasi. Namun, proses dan cara mendidik dan mengasuhnya berbeda-beda. Latarbelakang pendidikan, lingkungan, pola pengasuhan dari orangtua sebelumnya, motivasi orangtua, sekaligus harapan yang ditanamkan kepada anak setidaknya menjadi alasan mengapa mereka memiliki standar nilai yang berbeda dalam proses pengasuhan anak-anak mereka. Video seorang ibu yang memarahi anaknya karena ia ranking tiga dikelasnya, setidaknya memiliki pertautan dari faktor-faktor tersebut.

Bagi ibu itu, anaknya harus ranking satu. Ini karena, nilai yang dimiliki anak-anaknya sebelumnya selalu memiliki nilai 100 dibandingkan dengan dua temannya yang ranking 1 dan 2. Apalagi, sebagaimana ibu itu tekankan, saat mengerjakan soal, anaknya itu selalu cepat menyelesaikan soal dan keluar lebih dahulu dibandingkan dengan teman-temannya.

Melihat video tersebut sehingga menjadi viral merupakan bentuk keheranan. Sekaligus pertanyaan bagi sejumlah warganet, termasuk mereka yang memiliki anak. Ini karena, ranking 3 saja itu sudah merupakan bentuk prestasi. Mengapa kemudian mesti harus memarahinya? Kecuali melakukan riset lapangan dan wawancara mendalam dengan ibu tersebut, sulit untuk mendapatkan konteks untuk menjelaskan mengapa ibu itu memarahi anak-anaknya hanya dengan potongan video pendek tersebut.

***

Tingkat kesulitan ini yang membuat saya tidak bisa menyalahkan lebih jauh perihal tindakan ibu tersebut. Apalagi, bagi orangtua, pola pengasuhan dan membesarkan anak-anak tidaklah semudah konsep-konsep yang ditawarkan oleh para ahli psikologi dan pendidikan. Harus diakui, saya dan istri sendiri secara refleks juga pernah membentak Alesha dan Arziki. Mengingat keduanya dalam momen tertentu, tidak bisa diberitahu dengan baik. Kondisi capek dan kurang tidur, di sisi lain, menyulut emosi kami sebagai orangtua.

Apa yang terjadi dengan video viral tersebut, dengan demikian, harus dilihat kembali kondisi dari ibu tersebut dan bagaimana standar nilai yang diterapkan dalam mendidik anaknya. Ia mendidik keras anaknya, bisa jadi, memiliki harapan agar anaknya bisa berprestasi dengan baik dan tidak seperti dirinya sebagai orangtua. Dengan berprestasi, anak itu akan memiliki masa depan yang jauh lebih baik dari orangtuanya.

Baca Juga  PAUD adalah Anak Tiri dalam Kebijakan Pandemi

Ia memarahi anaknya barangkali karena ingin menunjukkan bahwasanya anaknya lebih baik dibandingkan dengan anak-anak tetangga dalam persoalan prestasi akademik di sekolah. Dengan cara memaki dan membentak tersebut, baginya itu satu cara agar anaknya terus bekerja keras. Dan tidak boleh merasa puas atas apa yang telah didapatkan. Mengingat orangtuanya telah mendidik dan mengajarkannya setiap hari. Apalagi, dengan merefleksikan dirinya saat didik oleh orangtuanya, sang ibu melihat bahwasanya itu dianggap cara yang tepat mendidik anak.

Dari pengandaian tersebut, yang ingin saya tekankan di sini adalah faktor-faktor itu sangat mungkin terjadi dari hilangnya konteks dalam potongan video dalam tersebut. Meskipun demikian, harus diakui, dalam pola pengasuhan tersebut ada satu hal yang luput dari standar nilai yang diterapkan oleh para orangtua, yaitu masa depan anak-anak mereka yang begitu lapang.

***

Maksudnya, menyiapkan anak-anak untuk berprestasi sejak kecil itu memang penting tapi yang jauh lebih fundamental adalah menyiapkan mental untuk tidak mudah menyerah sebagai fondasi membangun karakter mereka. Saat anak tumbuh hingga menjadi dewasa, ia akan memiliki sejumlah pengalaman di luar kendali orangtua mereka. Pengalaman traumatik yang dialaminya bisa membuatnya menjadi terperosok.

Begitu juga kondisi sebaliknya. Anak-anak yang sejak awal berprestasi bisa jadi saat dewasa justru menjadi orang biasa saja, khususnya dalam pekerjaan. Nasibnya bisa berbalik dengan anak-anak yang tidak berprestasi dan cenderung nakal. Mereka justru bisa berprestasi saat dewasa dan lebih gemilang dengan pekerjaan dan karirnya. Dengan kata lain, momentum pengalaman interaksi dengan orang serta sikap mental dalam merespon kejadian merupakan modal dirinya bagaimana berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan berusaha untuk bangkit atau menyerah.

Baca Juga  Ayah, Kenapa Allah Menciptakan Neraka?

Kondisi ini yang selalu saya dan istri implementasikan kepada anak-anak kami, yaitu Alesha (8 tahun) dan Ziki (6 tahun). Karena tahu bahwasanya masa depan hidup mereka berdua masih terbentang begitu luas, kami hanya menekankan pentingnya untuk terus berusaha sekeras mungkin. Ketika mereka sudah berusaha dan tidak mendapatkan hasil maksimal yang diinginkan justru kami tetap memberikan hadiah atas usaha yang dilakukannya, bukan hasil yang telah dicapai. Dalam momentum percakapan dengan Alesha, beberapa kali ia mengeluh bahwasanya dalam lomba pertemuan antar kelas, kelompoknya tidak mendapatkan kemenangan.

***

Padahal, ia sangat menginginkan kemenangan tersebut seraya membayangkan hadiah yang akan didapatkannya. Namun, yang saya katakan tetap sama, “Kakak Alesha sudah berusaha semaksimal mungkin, hal itu yang paling penting”. Ungkapan ini untuk meneguhkan atas kerja keras yang telah dilakukan tanpa perlu mementingkan arti kemenangan. Meskipun harus diakui, sebagai anak-anak dengan mental kompetisi yang dimiliki arti kemenangan tampak berarti bagi mereka.

Di sisi lain, saat ia mendapatkan nilai di atas 90 ataupun 100, saya dan istri tidak pernah memujinya berlebihan. Kami biasanya hanya mengacungkan jempol dan mengucapkan hal tersebut sebagai tindakan keren, “Good Job kakak”. Meskipun demikian, saat percakapan berdua saya dan istri kami memujinya setinggi langit. Ini kami lakukan bahwasanya apa yang telah dicapainya itu merupakan prestasi bagus tetapi sesuatu yang biasa saja. Bagi kami, prestasi dan kegagalan adalah dua kepingan mata uang yang harus disikapi sama.

Tentu saja, pola pendidikan yang kami terapkan ini tidak datang tiba-tiba. Selain membaca buku dan merefleksikan kehidupan kami sebagai orangtua sebagai anak dengan pola pengasuhan orangtua sebelumnya dengan standar yang berbeda cukup berpengaruh.

Baca Juga  Anak-anak Smartphone

Negosiasi untuk membangun kesepakatan-kesepakatan dalam pola pengasuhan dan pendidikan kepada Alesha dan Ziki terus kami lakukan sambil belajar bersama bahwasanya mendidik anak memang tidak semudah pujian dan cacian jempol warganet di tengah sistem pendidikan Indonesia yang menuntut kompetisi dengan menjunjung nilai angka tinggi ketimbang kolaborasi dan dukungan melalui apresiasi.  

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Parenting

Generasi Toxic Harus Dididik, Bukan Dihardik!

5 Mins read
Tulisan sederhana ini saya suguhkan, berangkat dari keresahan saya tentang fenomena “generasi toxic“. Ada rasa cemas ketika saya menyadari bahwa generasi muda…
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds