Oleh: Hasnan Bachtiar
Masalah konflik Papua sebenarnya rumit. Lebih rumit dari bayangan kita selama ini. Karenanya, hal ini tidak bisa didudukkan sebagai sekedar masalah pelanggaran HAM atau praktik rasisme.
Secara umum, publik luas memandang bahwa terjadi pelanggaran HAM dan rasisme pada orang Papua. Hal ini tentu tidak keliru. Memang kita selama ini menyaksikan berita-berita (cetak dan online) yang mencatat mengenai pelbagai kasus penembakan warga sipil oleh aparat keamanan negara. Di lain tempat, kita juga melihat bagaimana praktik rasisme menimpa orang-orang Papua, terutama bagi mereka yang sedang bermukim di kota-kota besar di Indonesia.
Namun secara lebih spesifik, sebenarnya masalah Papua juga mencakup pelbagai persoalan politik internasional, ekonomi politik global, dinamika politik regional dan juga politik dalam negeri.
Merujuk kepada sejarah, Papua memang sejak pra kemerdekaan diperebutkan. Konteks bipolaritas politik global (Amerika vis-à-vis Uni Soviet) juga memberikan pengaruh yang signifikan pada perebutan Papua.
Di tahun 1950an di Timur Tengah, Inggris dan Amerika sedang berlomba mendapatkan akses terhadap sumber-sumber energi (hasil bumi). Suplai minyak menjadi isu yang sangat penting, bukan hanya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya cadangan energi, tetapi juga agar supaya jangan sampai Soviet memiliki akses yang lebih besar ketimbang Amerika. Akibat dari kontestasi dua negara adidaya ini, bermacam-macam perang terjadi di kawasan tersebut.
Ternyata, kontestasi akan hasil bumi tidak hanya terjadi di tanah Arab-Persia, tetapi juga di Indonesia, terutama Papua. Atas dasar faktor Papua ini pula Indonesia mendapatkan jaminan kemerdekaan. Kesepakatan yang dicapai adalah tanah Papua yang memiliki kandungan emas, menjadi bagian Amerika. Sementara teritorial yang luas dari Sabang sampai Merauke merupakan kedaulatan Republik Indonesia.
Masalah Papua, juga berdampak pada dinamika politik nasional. Tumbangnya Orde Lama dan bergulirnya Orde Baru, juga disebut oleh para sejarawan menjadi bagian dari operasi intelijen yang menjadi skenario Amerika. Soekarno dianggap berorientasi kiri (Nasakom) dan pro Soviet, sementara Soeharto merupakan pemimpin yang lebih terbuka dan pro Amerika.
Menurut perspektif realisme dalam hubungan internasional, sebenarnya masih menguntungkan bahwa kita mendapatkan wilayah kedaulatan yang luas dan integrasi nasional yang solid, meskipun harus melepaskan daulat atas tambang Papua. Saya tidak tahu, apakah hal ini juga berkaitan erat dengan sejarah polemik penghapusan “tujuh kata” Piagam Jakarta, demi persatuan nasional wilayah Indonesia bagian Timur (Papua) yang dihuni mayoritas non-Muslim.
Sepanjang tiga dekade berjalannya pemerintahan Orde Baru, Papua dianggap “aman” oleh Amerika (Freeport). Pasca reformasi, di bawah kepemimpinan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono pelbagai negosiasi pembagian keuntungan Freeport juga masih aman. Akan tetapi, pada menjelang akhir kekuasaan Joko Widodo (baik demi kepentingan mendongkrak popularitas Pilpres 2019, maupun trend “nasionalisasi ekonomi” buah pikiran Menteri Sri Mulyani), keamanan eksploitasi emas Papua (oleh Amerika) agaknya terganggu.
Telah menjadi rahasia umum jika Amerika mendukung dan mendanai (secara rahasia) Gerakan Papua Merdeka. Huru-hara mudah sekali diciptakan. Tidak jarang pula Amerika meminjam tangan Australia untuk memuluskan kepentingannya: sustainabilitas ekspoitasi tambang emas Papua. Hubungan Amerika-Australia ini memiliki kompleksitas tersendiri, terutama menyangkut deal dagang dan pertahanan-keamanan. Australia dengan mudahnya memainkan peran regional melalui negara-negara di sekitar Papua, seperti Papua Nugini, Vanuatu dan Kepulauan Solomon.
Persoalan lainnya adalah, kini memang bipolaritas kekuatan global mulai bergeser menjadi multipolaritas. Alasannya adalah, negara adidaya di dunia ini bukan hanya Amerika dan Rusia (Soviet), tetapi juga Tiongkok, India, Jepang dan yang lainnya. Tiongkok dan Amerika misalnya, tengah terlibat dalam perang dagang dan militer. Secara ekonomi, atas adanya peperangan ini secara signifikan mempengaruhi pelbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Berkaitan dengan masalah ini, pada 2017 lalu, Tiongkok memasang pangkalan militer di sekitar wilayah negara-negara di timur Papua. Tiongkok ingin membayangi pelbagai pangkalan militer Amerika yang selama ini bertengger melingkari Indonesia. Tentu hal ini merepotkan Amerika dan Australia.
Merupakan hal yang lumrah jika Indonesia berkepentingan dengan banyak negara, termasuk Tiongkok dan Amerika itu sendiri (bermain dengan dua kaki). Namun, jika sewaktu-waktu konflik terjadi antara Amerika dan negara sekitar, terutama Indonesia, maka Tiongkok dianggap sebagai kekuatan yang patut diwaspadai (oleh Amerika). Tidak menutup kemungkinan Tiongkok memihak negara manapun yang menjadi musuhnya (seperti Amerika). Kasus ini dapat dianalogikan dengan posisi geostrategis yang dimiliki oleh Korea Utara. Maka, mau tidak mau, urusan Papua, juga berkaitan erat dengan ketegangan dan kontestasi Tiongkok-Amerika.
Jadi, persoalan konflik Papua yang memanas saat ini ternyata memiliki kompleksitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama faktor Amerika. Karena itu, menguraikan kompleksitas tersebut, akan memperjelas masalah yang dihadapi dan memudahkan dalam mencari segala kemungkinan penyelesaian masalah yang ada.