Perspektif

Teori Konspirasi: Cacat Komunikasi, Jauh dari Sifat Ilmiah!

2 Mins read

Maraknya Pembahasan Konspirasi

Komunikasi konspirasi – Belakangan ini cukup sering kita lihat di media pembahasan tentang konspirasi. Dengan berbagai dalih, konspirasi bahkan membuat orang yang mempercayainya secara ekstrem mengambil kesimpulan bahwa Covid-19 hanyalah kepentingan media atau elite global/lokal belaka.

Dalam pandemi ini, asumsi dari konspirasi yang liar seperti itu bisa fatal dan membahayakan. Bahkan, ekstremnya orang-orang tidak percaya akan adanya pandemi. Jika banyak orang percaya dengan konspirasi, maka segala langkah yang diambil berlandaskan keilmuan (umum ataupun agama), akan terabaikan.

Konspirasi dalam Sudut Pandang Komunikasi

Para Ulama dan Ilmuan pastinya sudah mengkaji secara mendalam terkait dengan pandemi ini. Mereka melakukan hal tersebut sebagai upaya memberikan tuntunan kepada masyarakat bahwa pandemi ini adalah sesuatu yang nyata dan tak bisa disepelekan.

Mereka melihat nyawa manusia bukan hanya sekadar angka, namun harus dijaga. Namun demikian, sepertinya tidak sedikit yang lebih percaya konspirasi dibandingkan fatwa ulama ataupun kajian ilmiah. Untuk mempermudah melihat kejanggalan dalam konspirasi, saya mendeskripsikannya sebagai sebuah proses komunikasi.

Dalam proses komunikasi setidaknya ada tiga unsur penting, yakni: Pengirim, Pesan, dan Penerima. Pertama, pengirim merupakan orang yang membuat pesan dan meramu pesan tersebut agar tersampaikan kepada penerima. Untuk melihat kredibilitas dari sebuah pesan,  sebenarnya kita bisa lihat dari kapasitas pengirimnya.

Tidak sedikit dari Pengirim konspirasi tidak memiliki kapasitas atas apa yang mereka bicarakan. Misalkan artis yang bukan seorang ahli epidemiologi atau virologi seolah lebih ahli tentang Covid-19. Rasulullah SAW pernah bersabda “…Sesuatu yang diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Kedua, pesan adalah informasi yang dibawa untuk disampaikan. Konspirasi sangat menarik karena informasi yang ditawarkan adalah sesuatu yang tidak biasa, rahasia, dan menggegerkan.

Baca Juga  Nabi Ayub, Cerita Konspirasi, dan Kita

Namun demikian, kita perlu melihat kualitas pesan yang disampaikan tersebut. Kualitas pesan ini bisa kita lihat dari cara pengirim meramu pesan dan dari mana sumber pesan itu diambil.

Saat ini, tidak sedikit dari konspirasi mereferensikan argumentasinya kepada jurnal-jurnal. Yang perlu kita telusuri, apakah jurnal yang mereka gunakan dimaknai secara utuh interpretasinya atau hanya mencopot sebagian dari isi jurnal tersebut.

Kemudian juga, bisa dilihat apakah jurnal yang digunakan betul-betul kredibel atau tidak. Lebih lanjut, konspirasi juga disandarkan kualitasnya sebagai teori. Memang salah satu fungsi teori adalah untuk memprediksi. Namun secara ilmiah, membuat sebuah teori itu ada tahapan-tahapannya.

***

Sedangkan, konspirasi tidak melalui tahapan-tahapan sesuatu disebut teori dan bahkan lebih kepada spekulasi dibandingkan prediksi. Namun demikian, karena sudah melebur makna “teori konspirasi” dalam konteks bahasa sehari-hari sehingga boleh saja untuk digunakan. Untuk dianggap sebagai teori ilmiah, jelas tidak sesuai. Dari sisi kualitas informasi pun konspirasi agak lemah.

Ketiga, dilihat dari sisi penerima pesan. Penerima pesan sangat terpengaruh oleh informasi yang sering diterima dari lingkungannya dan preferensi subjektif penerima. Jika dalam lingkungannya sering memberikan informasi konspirasi berulang-ulang, maka akhirnya informasi tersebut dianggap sebagai kebenaran.

Jika Covid-19 hanya diasumsikan terus menerus sebagai kepentingan media dan elite global/lokal, maka Covid-19 tidak akan dilihat sebagai pandemi yang membahayakan nyawa manusia.

Jutaan korban meninggal secara global hanya akan dilihat sebagai angka statistik. Kemudian preferensi subjektif penerima pesan juga akan mempengaruhi kepada kepercayaan terhadap konspirasi.

Ketika kita memiliki kepentingan yang sama dengan informasi yang diberikan dalam konspirasi, maka kita akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah kebenaran. Untuk menghindari kedua hal tersebut, penting bagi kita untuk membaca berbagai perspektif dan sumber yang kredibel sehingga kita tidak langsung membenarkan informasi yang kita dapatkan.

Baca Juga  Urgensi Hajitorium sebagai Haji Science Center

Konspirasi Jauh dari Kata Ilmiah

Dari ketiga unsur dalam proses komunikasi tersebut, terlihat bahwa konspirasi jauh dari kata sempurna, apalagi ilmiah! Jika sudah sampai pada tahapan menegasikan ilmuan dan ulama, konspirasi tidak usah diharapkan.

Apalagi jika sudah sampai tahapan melihat fenomena Covid-19 sebagai kebohongan, bagi saya ini membahayakan! Stalin pernah berkata “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik”. Jangan sampai kutukan Stalin ini jadi bagian dari kita!

Semoga bermanfaat!

Editor: Rozy

Avatar
4 posts

About author
Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Banten. Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds