Oleh: Wawan Kuswandi*
Koncoisme politik bernuansa keagamaan antara Arab Saudi, Inggris serta Amerika Serikat (AS) untuk memerangi muslim Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) memiliki sejarah panjang yang kotor dan penuh darah.
Arab Saudi sangat ambisius ingin menjadi penguasa dunia dan daratan Timur Tengah sebagai pemilik tunggal ajaran Islam dengan mazhab Wahabisme. Konflik sengit antarnegara Islam pun terus terjadi tanpa henti hingga hari ini.
Di sisi lain, Inggris dan AS tertawa melihat umat muslim saling bunuh karena berhasil menghancurkan nilai-nilai Islam Rahmatan ‘Lil Alamin.
Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah Al’Arabiyah as-Su’udiyah) sejak masa Dinasti Saud hingga sekarang, tidak pernah mengadopsi paham Ahlussunah Wal Jama’ah yang dibawa para Imam mazhab. Dalam sejarah keislaman, Dinasti Saud menyebut Aswaja sebagai kelompok kafir.
Di awal kemerdekaan Arab Saudi (23 September 1932), Dinasti Saud berhasil merebut wilayah Riyadh, Nejd, Hasa, Asir, dan Hijaz. Ketika itu, Raja Arab Saudi, Abdul Aziz mempolitisasi pemahaman Wahabi yang dicetuskan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mendukung kekuatan politiknya.
Raja Abdul Aziz merupakan generasi penerus Dinasti Saud yang berkomplot dengan Inggris untuk memerangi Kekaisaran Islamiyah Turki Ottoman.
Tahun 1902, ketika kekuatan Islamiyah Turki Ottoman melemah, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan bantuan Inggris. Di tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300 pucuk senjata otomatis dan hadiah 20.000 keping emas dari Inggris.
Setelah itu, Abdul Aziz melakukan perundingan dengan utusan Inggris Percy Cox untuk menentukan perbatasan negara Arab Saudi.
Di masa-masa awal perundingan, Inggris juga membantu Dinasti Saud, (cikal-bakal lahirnya Kerajaan Arab Saudi) melawan Duwaish (salah satu suku dari Nejd di Arab Saudi) yang tidak suka dengan kehadiran Inggris.
Sekitar tahun 1927 hingga 1928, Angkatan Udara Inggris dan pasukan Dinasti Saud mengebom suku Nejd. Kemenangan Dinasti Saud mengalahkan suku Nejd ini, membuat Inggris memberi gelar kebangsawanan “Sir“ untuk Abdul Aziz bin Abdurrahman.
Cecunguk AS
Koncoisme Arab Saudi dengan AS berawal dari ditemukannya ladang minyak berlimpah di negeri gurun pasir itu. Tanggal 29 Mei 1933, Standart Oil Company California, AS memperoleh konsesi eksplorasi minyak dari Arab Saudi selama 60 tahun.
Kemudian, tahun 1934 perusahaan ini berubah nama menjadi Arabian Oil Company (Aramco). Awalnya AS cuek kepada Arab Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak mentah yang ada di Arab Saudi, AS semakin agresif berkomplot dengan Arab Saudi. Tahun 1944, Departemen Luar Negeri AS menyebut Arab Saudi sebagai ‘’hadiah terbesar dalam sejarah dunia”.
Untuk kepentingan minyak ini, wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menemui Presiden AS Roosevelt di bulan April 1941. Dengan tujuan agar AS memberi utang ke Arab Saudi.
Tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS akhirnya memberi hutang ke Arab Saudi sebesar 100 juta dolar. Hutang inilah yang akhirnya membuat Arab Saudi menjadi ‘cecunguk’ AS.
AS juga terlibat langsung membangun Arab Saudi menjadi negara modern dengan memberi pinjaman dana sebesar 100 juta dolar. Dana itu digunakan untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Riyadh dengan wilayah pantai timur dan barat Arab Saudi.
Konsesi lain dari koncoisme Arab Saudi AS adalah pada tahun 1943. Pangkalan udara Dhahran Arab Saudi menjadi basis militer AS terbesar dan terlengkap di Timur Tengah. Konsesi itu terus berlanjut hingga sekarang. Pangkalan ini menjadi basis strategis militer AS untuk menyerang Irak saat Perang Teluk II.
Penguasa Arab Saudi sangat dikenal kejam terhadap kelompok-kelompok Islam non-Wahabisme yang mengkritisi kekuasaannya. Sejumlah ulama Aswaja yang mengkritik keluarga kerajaan langsung ditangkap dan dipenjara.
Gaya hidup kapitalisme keluarga kerajaan Arab Saudi juga sangat kental terlihat dalam pergaulan politik dan ekonomi dunia. Mereka hidup mewah, tetapi mereka tidak peduli dengan umat muslim di Palestina.
Selain itu, diduga kuat, hampir seluruh penjajahan, pemberontakan dan terorisme di wilayah Timur Tengah seperti di Iraq, Libya, Iran, Kuwait, Palestina, Qatar, Yaman, Mesir dan Suriah merupakan efek dari koncoisme Arab Saudi dan AS.
Dekrit Raja Arab
Kini pertanyannya ialah apakah benar Arab Saudi sebagai negara Islam? Jawabannya hanya bisa Anda simpulkan dari empat indikator di bawah ini yaitu:
Pertama, dalam pasal 5.c Konstitusi Arab Saudi, tertulis raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit. Otomatis keturunan raja (dinasti) seperti anak, cucu, dan keluarga dekat kerajaan akan terus memimpin Arab Saudi.
Kedua, dalam pasal 5.a Konstitusi Arab Saudi, tertulis sistem pemerintahan Arab Saudi adalah Kerajaan. Berarti kedaulatan mutlak milik raja. Raja punya hak penuh membuat hukum. Jadi, dekrit raja lebih berkuasa dibandingkan Alquran dan hadis (as-sunnah).
Ketiga, Saudi Arabia menggelontorkan dana 72 miliar dolar US dalam kontrak kerjasama militer dengan AS untuk tujuan keamanan keluarga kerajaan. Sekitar 5000 militer AS tinggal di Arab Saudi. Kerajaan Saudi lebih percaya AS dibandingkan dengan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim.
Keempat, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Berdasarkan bagian b pasal 1 Undang-Undang Arab Saudi yang dikeluarkan Raja (no.M/5 1386 H). Buktinya Arab Saudi memberlakukan riba (bunga) dalam transaksi nasional maupun internasional. Maka tak heran kalau banyak bank ribawi beroperasi di Arab Saudi diantaranya American-Saudi Bank, Arab-National Bank dan The British-Saudi Bank.
*Mantan Editor NewsNet Asia Jepang