IBTimes.ID – Konflik berdarah 40 tahun antara Bangsamoro dengan pemerintah Filipina menjadi salah satu wadah keterlibatan Muhammadiyah dalam aksi perdamaian internasional. Muhammadiyah menjadi salah satu anggota International Contact Group (ICG) dan selalu melakukan pendekatan kultural untuk menyelesaikan konflik di Filipina sejak tahun 2009.
Perundingan damai antara kelompok militan Moro (Moro Islamic Liberation Force disingkat MILF) dengan pemerintah Filipina sendiri terjadi pada tahun 2012. Setelah perundingan damai tercapai, Muhammadiyah terus menjalin hubungan baik dan kerjasama dengan Bangsamoro hingga sekarang.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam berpartisipasi di konflik Filipina, menurut Ketua Program Magister Hubungan Internasional UMY Surwandono disebabkan oleh pilihan Muhammadiyah menggunakan pendekatan kultural. Muhammadiyah tidak menyebut para militan Mindanao sebagai ‘teroris’ ataupun ‘bandit’ yang saat itu kerap digunakan oleh dunia internasional. Pendekatan ini dianggap merebut hati Bangsamoro.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa Muhammadiyah membangun perdamaian dengan pola humanitarian intervention dalam penanganan konflik Filipina. Dengan bantuan kemanusiaan akan bisa mengurangi distrust dan mistrust pihak yang berkonflik. Bahkan Prof Dibyo sangat dipercaya oleh teman-teman non muslim, beliau diasosiasikan pendeta yang sangat dipercaya,” ungkap Surwandono menyinggung tokoh Muhammadiyah dalam perdamaian tersebut, yakni Wakil Ketua Majelis Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah Sudibyo Markus.
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, dalam forum Centre for Development And International Studies UMY, Senin (30/8) Surwandono mengungkapkan bahwa Bangsamoro melihat ketulusan Muhammadiyah sehingga saat itu banyak militan MILF yang setuju dengan Muhammadiyah untuk menempuh perjuangan lewat jalur non-kekerasan. Muhammadiyah menurut Surwandono mengusulkan kepada bangsa Moro beberapa opsi pemberdayaan sosial, pendidikan, dan ekonomi.
“Sampai Prof. Dibyo mengusulkan agar Muhammadiyah menyalurkan sejumlah bantuan ekonomi untuk peningkatan kapasitas lokal di Mindanao. Sehingga menimbulkan antusiasme, sehingga banyak anggota MILF berbondong-bondong (ingin) menjadi anggota Muhammadiyah. Ketika itu ada euforia yang luar biasa,” kenang Surwandono. Sayangnya pada tahun tersebut baik Muhammadiyah dan Lazismu belum memiliki kapasitas yang baik sehingga berjalan tidak optimal.
“Tapi Pak Dibyo bekerja keras agar masyarakat Mindanao punya pilihan-pilihan moderat. Karena dengan opsi itu, maka opsi kekerasan tidak banyak dipilih,” imbuhnya.
Kini, proses perdamaian antara MILF dengan pemerintah Filipina telah berjalan selama 10 tahun. Transisi perdamaian yang masih menyisakan sekian masalah diharapkan Surwandono menjadi perhatian Muhammadiyah untuk lebih besar memberikan porsi kepada Bangsamoro.
“Saya dapat energi positif bagaimana teman-teman di Mindanao itu sangat percaya dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak bisa kita pungkiri melakukan intervensi di Mindanao menawarkan gagasan-gagasan yang luar biasa,” jelasnya.
“Dalam meyakinkan orang mau tidak mau kita memberikan harapan-harapan besar meskipun tidak sepenuhnya terpenuhi, tapi kemauan MILF melakukan politik moderat, itu jauh lebih baik,” pungkasnya melansir muhammadiyah.or.id.
(Yusuf)